Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bersama Pacar

Setelah selesai belajar soal-soal persiapan menghadapi Ujian Nasional di meja belajar di dalam kamarnya, Andien keluar kamar untuk kencan dengan Rio. Pada pukul 20.00 WIB saat ini, hanya ada Mamanya di ruang tamu sedang menonton tivi ditemani seorang pembantu setianya, Bik Imah. Pak Yana masih di kantor dan baru pulang menjelang pukul 9 malam seperti biasanya. Andien minta izin ke Mamanya untuk keluar dengan pacarnya. Rio sedang menunggunya di depan pagar rumah Andien.

“Ma, Andien keluar sebentar ya.”

“Keluar ke mana dan sama siapa?”

“Sama Rio, Sisil, dan Mila, Ma.”

“Ke café, Ma.”

“Jangan malem-malem loh pulangnya ya Ndien. Biar Papa nggak marah!”

“Iya, Ma.”

“Jam berapa nanti kamu pulang?”

“Kira-kira jam 9, Ma.”

“Kamu sudah ada uang?”

“Belum, Ma.”

“Tunggu sebentar ya.”

Mamanya segera membuka dompetnya untuk mengambil lima lembar uang seratus ribu.

“Segini cukup kan?”

“Tapi ditraktir Rio, Ma.”

“Nggak apa-apa. Ambil aja. Buat beli apa-apa di luar.”

“Terima kasih banyak, Maa!”

Andien mengucapkan terima kasih ke Mamanya dengan memeluknya, lalu mencium pipi kanan dan kirinya dengan sangat sayangnya. Setelah Andien mulai melangkahkan kedua kakinya keluar dari rumahnya.

“Hei..tunggu dulu, Ndien!”

“Kenapa, Ma?” Andien menoleh ke belakang.

“Kamu sudah belajar kan?”

“Sudah, Mamaa! Malahan Andien menambah latihan-latihan contoh Ujian Nasional, Ma.”

“Yaudah…pergi sana!”

“Hati-hati..!”

“Iya, Ma.”

Lima menit kemudian, Andien dan Rio bertemu di luar rumah. Malam ini Andien kencan dengan Rio mengenakan rok selututnya, T-Shirt putih tidak terlalu ketat bergambar Minions di dadanya, jaket sweaternya diikatkan di pinggangnya, bersepatu kets wanita berwarna biru cerah tanpa berkaos kaki, dan tak lupa membawa tas selempang merah muda kesayangannya. Rambut panjang hitam agak bergelombangnya terurai dan diselipkan di belakang kedua telinganya. Penampilan Rio kali ini cukup rapi tidak seperti biasanya kencan dengan Andien hanya berkaos oblong, berjaket jeans, bercelana jeans sobek-sobek, dan bersepatu kets cowok.

“Kok lama amat, sayang?”

“Minta izin dulu sama Mama.”

“Nanti pulangnya jam sembilan ya sayang.”

“Kok sebentar amat, sayang?”

“Gue nggak mau kena omel, Papa.”

“Oke.”

Rio menjawabnya dengan membuka pintu mobil Cabrioletnya untuk Andien, lalu berjalan menuju ke posisinya sebagai sopir setelah Andien sudah masuk. Tidak beberapa lama kemudian, Rio mulai berangkat menuju ke café yang dituju.

“Tumben kok banget rapi, sayang?” Andien bertanya dengan sangat terkejut. “Kenapa?”

“Gue pengin aja tampil rapi sekali-kali.”

“Kirain ada apa.”

“Gue makin cakep kan sayang kalo kayak gini?”

“Iya, makin cakep.”

“Kayak gini terus dong mau gue, sayang.”

“Enggak ah.”

“Loh kok enggak?”

“Kenapa, sayang?”

“Takutnya cewek-cewek ngejar gue lagi.” Rio menjawab dengan tersenyum-senyum.

“Heemm…yaudah! Sekali-kali buat nyenengin hati gue ya sayang kayak gini.”

“Siap, bos!”

Andien dan Rio sejenak terdiam.

“Loe nggak ikutan lomba nulis cerpen?”

“Waaaduuhhh…gue pasti kalah ama loe kalo ikut, sayang.”

“Enggak ikut ah, sayang!”

“Dulu pernah ikut sewaktu kelas 1 SMA. Pemenangnya loe!”

Andien tertawa-tawa setelah mendengarnya.

“Loe pasti kalah ama gue, sayang!”

“Iya dech percaya.” Rio menjawabnya dengan tersenyum, lalu sejenak menoleh ke pacarnya itu. Andien juga tersenyum.

“Gue tetep menampilkan cerpen gue yang terbaik!”

“Bagus tuh! Jangan lupa traktir ya sayang kalo nanti menang!” Rio memohon.

“Iya, sayang. Jangan kuatir.”

“Perlu didoain nggak biar menang, sayang?” Rio menawarkan diri.

“Nggak perlu, sayang. Gue pasti menang kok.”

“Baiklah, boss!”

Tidak beberapa lama kemudian, mereka berdua sudah sampai di café yang dituju. Andien keluar lebih dulu dari mobil Cabriolet tak berkap milik Papanya Rio itu dan menunggunya di depan café, sedangkan Rio mencari tempat parkir yang pas. Rio dan Andien masuk ke dalam café bersama. Untungnya, malam ini tidak terlalu banyak pengunjung, sehingga Andien dan Rio bebas memilih meja.

Di dalam café sambil menunggu pesanan datang..

“Sayang, jangan baca terus dong!” Rio mengambil sebuah novel karangan Agatha Christie yang sedang dibacanya, lalu menyembunyikannya di dalam jaketnya.

“Duuhh…loe kenapa sih pake ngambil bacaan gue segala?”

“Kenapa? Cepet balikin sekarang?”

“Lagi seru-serunya yang gue baca, loe tahu nggak?”

Rio masih diam dengan menatap kedua mata Andien dengan penuh harap. Rio tak menjawab pertanyaan-pertanyaan kekasihnya itu yang sudah dipacarinya sejak menjelang kenaikan kelas 3, tapi menggenggam kedua tangan Andien dengan kedua tangannya.

“Loe kenapa sih kayak gini?”

“Sayang, ada yang gue mau omongin!”

“Sekarang?”

“Enggak! Besok aja!”

“Kalo besok, lepasin tangan gue sekarang dong!”

“Ya sekaranglah…sayang!”

“Masak gue udah berusaha kayak gini sekarang ngomongnya besok?”

“Tapi nggak pake pegangin dua tangan gue kayak gini dong!”

“Gue mau ngapa-ngapain jadinya nggak bisa!”

“Buat apa kayak gini sih?”

“Lepasin! Terus ngomong aja langsung!”

“Iya…dech, sayang.” Rio segera melepas kedua tangan Andien perlahan.

“Loe mau ngomong apa, sayang?”

“Katanya mau ngomong?” Andien nanya berbarengan dengan seorang pelayan café mengantarkan pesanan-pesanan mereka berdua.

“Entar dulu ah. Ada pelayan.”

“Yeeeee…malu yaa??”

Andien menggodanya dengan mengambil dua kentang goreng yang sudah dikasih saos sambal di atas meja. Andien mengamat-amati wajah Rio yang terlihat akan mengatakan kepadanya sesuatu yang serius.

“Ngomong aja langsung nggak apa-apa, bang!” Si pelayan menyuruh Rio.

“Resek nih anak!” Rio jengkel ke seorang pelayan laki-laki yang kira-kira seusia dengannya. “Cepetan pergi sanaaa!”

“Mau nembak ya bang?” Si pelayan nanya dengan tersenyum setelah barusan selesai menaruh pesanan yang terakhir. Andien melihat Rio dengan tersenyum-senyum sejak tadi sambil menikmati irisan-irisan kentang goreng.

“Dia udah jadi pacar gue, bego!”

“Mana gue tahu soal itu, bang?” Si pelayan menjawabnya.

“Terus abang mau ngomong apa’an pake malu segala ke pacarnya? Kalo ngomong ya ngomong aja langsung nggak pake malu-malu segala kayak anak kecil yang ………” Si pelayan sengaja nyerocos.

“Udah…udah…menjauh sana! Gangguin mulu!” Rio berdiri dengan mendorong pelayan itu hingga menjauh dari mejanya. Andien melihatnya dengan ketawa-tawa.

“Udah loe mau ngomongin apa ke gue, sayang?” Andien nanya dengan tersenyum-senyum ke pacarnya. “Gue dengerin kok!”

“Kapan kita bertunangan, sayang?” Rio nanya dengan sangat berharap.

Andien langsung terdiam, lalu menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi. Andien cemberut.

“Kok diem, sayang?” Rio nanya. “Kenapa, sayang?”

“Kita itu belum apa-apa loe udah minta kita bertunangan! Sebel dech jadinya gue ke loe!” Andien agak mendongkol.

“Maunya kapan, sayang?” Rio nanya lagi.

“Tau dech! Lihat entar aja!” Andien sekarang sewot.

“Jangan lama-lama ya sayang.” Rio berpesan.

“Sepuluh menit lagi anterin gue pulang ya sayang.” Andien mengatakannya dengan melihat ke arlojinya.

“Loh kok sepuluh menit?” Rio nanya dengan menyeruput Cappucinonya, lalu memakan irisan-irisan kentang goreng yang sudah diberi saos. “Kan sekarang masih jam setengah sembilan!”

“Papa bisa marah kalo gue telat pulang!” Andien menjawab dengan menikmati sepotong kue yang di atasnya ada buah cerrinya.

“Janjinya loe tadi kan pulang jam sembilan, sayang!” Rio mencoba menawar.

“Enggak! Sepuluh menit lagi aja!” Andien berusaha mengelak.

“Oke, sayang.” Rio mengabulkan permintaan Andien.

“Sekarang habisin Cappucino, kentang goreng, dan kue-kuenya ya sayang. Gue udah cukup.” Andien menyuruh Rio sambil bersiap-siap pulang dengan memakai lagi tas mungil merah muda selempangnya. Setelah itu, Andien pergi keluar dari café.

“Tunggu bentar dong, sayang! Duuhh..!” Rio segera meneguk Cappucinonya hingga tiga kali, lalu beranjak dari kursinya menuju ke kasir untuk membayar.

Andien sekarang sudah menunggunya di dekat mobilnya Rio. Dua potong kue masing-masing ada buah cerri di atasnya dan lima iris kentang goreng bersama saos sambal di sampingnya masih tersisa di atas meja. Si pelayan tadi dengan gerak cepat segera menuju ke mejanya Andien dan Rio tadi untuk membungkusnya.

“Sayang, loe marah ke gue ya?” Rio nanya ke Andien ketika dia sudah di dekatnya.

“Enggak!” Andien menjawabnya singkat. “Cepet bukain pintunya dong!”

“Selain itu, gue entar nulis cerpen lagi di rumah.” Sambung Andien.

Rio terdiam sambil membukakan pintu mobilnya untuk pacarnya itu. Setelah itu, Rio segera menuju ke pintu mobilnya yang dekat dengan setir. Tanpa berkata, Rio segera berangkat. Di sebuah jalan di samping kanan dan kiri sebuah perumahan, Rio menghentikan mobilnya, lalu mematikan mesinnya.

“Loh kok loe berhenti di sini?” Andien terkejut. “Apa maksud loe, sayang?”

“Sayang, gue mau kita berciuman di sini! Kan selama ini kita belum pernah, sayang!” Rio menjawabnya.

“Apa??” Andien sangat terkejut mendengar perkataan-perkataan Rio barusan.

“Enggak…enggak..! Gue nggak mau!” Andien menolaknya dengan tegas. “Apa-apa’an sih loe?? Pake begitu segala??”

“Anterin gue pulang atau kita putus sekarang!” Sambung Andien dengan marah.

“Iya…iya….sayang! Maaf!” Rio ketakutan.

Rio segera menghidupkan mesin mobilnya lagi, lalu tancap gas. Setelah mengantarkan pacarnya pulang, Rio tidak segera pulang, tapi ke sebuah diskotek bersama dua temannya hingga larut malam. Untungnya, Andien tidak kena omel Papanya ketika sudah di rumah, karena Papanya belum pulang dari kantor. Ada beberapa urusan penting dengan Papanya Rio yang harus diselesaikan. Di dalam kamar, Andien segera menulis cerpen lagi di meja belajarnya.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel