Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Lomba Menulis Cerpen Sekolah

Lima menit kemudian, Bu Endah datang ke Sekretariat Majalah Sekolah dengan membawa lima lembar kertas berisi tentang lomba menulis cerpen sekolah. Andien, Sisil, dan Mila segera menemuinya di dalam ruang Sekretariat. Ketiga adik kelasnya tadi juga ikut menemui bu Endah. Karena ini sifatnya khusus hanya untuk Andien sebagai pimpinan redaksi majalah bulanan sekolah, bu Endah akan memberikan penjelasan-penjelasan seputar lomba menulis cerpen sekolah yang kali ini temanya tentang Cinta hanya untuk Andien. Bu Endah segera mengajak Andien masuk ke dalam ruang kerjanya. Sisil, Mila, dan ketiga adik kelasnya menunggu di luar.

Bu Endah adalah Wali Kelasnya Andien, Sisil, dan Mila. Sepuluh menit yang lalu, bu Endah baru selesai merapatkan lomba menulis cerpen di ruang guru bersama Dewan Juri lainnya yang juga selaku guru bahasa dan sastra Indonesia di sekolahnya Andien ini. Di dalam ruang kerjanya sekarang, Andien menyimak dengan seksama penjelasan-penjelasannya bu Endah.

Kira-kira sepuluh menit kemudian, bu Endah keluar dari dalam ruang kerjanya Andien setelah dirasa cukup olehnya memberikan penjelasan-penjelasan. Bu Endah pun pamit kepada siswi-siswi yang menunggu di luar ruang kerjanya Andien. Setelah itu, Andien memberitahukan kepada Mila, Sisil, dan ketiga adik kelasnya mengenai lomba menulis cerpen sekolah.

“Teman-teman, bu Endah ke sini tadi menjelaskan tentang lomba menulis cerpen sekolah yang mulai diadakan besok hingga dua minggu ke depan. Beliau barusan sudah menjelaskannya dengan gamblang sekali ke gue di ruang kerja. Ini adalah agenda kegiatan wajib kita selama dua minggu ini. Besok di jam istirahat pertama kita rapatkan dengan seluruh anggota redaksi.” Andien memberitahukan ke Sisil, Mila, dan ketiga adik kelasnya.

“Tolong diberitahukan juga ke anggota-anggota lainnya ya dik. Besok di jam istirahat pertama kita rapat di Sekretariat.” Andien berpesan ke ketiga adik kelasnya.

“Ya, kak!” Ketiga adik kelasnya menjawab dengan serentak.

“Kali ini gue sangat optimis lagi juara pertama seprovinsi.” Andien membanggakan diri lagi dengan tertawa kecil.

“Kakak-kakak, kita pamit ke kelas ya.” Salah satu adik kelasnya sebagai perwakilan dua temannya pamit ke Andien, Sisil, dan Mila.

“Iya, silakan.” Andien menjawabnya dengan membaca-baca lagi lembaran-lembaran kertas Folio berisi tentang lomba menulis cerpen sekolah yang tadi dibawa oleh bu Endah.

“Awas kalo kalian nggak ngelaksanain tugas yang diberikan Pimred ini. Gue bakal nggak ngijinin kalian di sini lagi.” Mila berpesan ke ketiga adik kelasnya itu yang kini barusan keluar dari pintu Sekretariat Majalah Sekolah.

“Baik, kak.” Salah satu adik kelasnya menjawabnya.

“Loe apa’an sih kasih tahu ke mereka kayak gitu?” Sisil bertanya ke Mila dengan cemberut.

“Biar mereka itu disiplin melaksanakan tugasnya.” Mila beralasan. Andien masih mencermati lembaran-lembaran tentang lomba menulis cerpen sekolah.

“Iya…tapi enggak kayak gitu ngomongnyaaa! Pake ngancem lagi!” Sisil membela ketiga adik kelasnya tadi yang sudah tidak terlihat. Sisil masih cemberut.

“Emangnya kenapa? Loe kasihan ama mereka bertiga tadi ya?” Cewek setengah tomboi itu bertanya ke Sisil.

“Kalo gue merasa kasihan ke mereka, kenapa?” Sisil balik nanya dengan setengah marah.

“Itu urusan loe, Sil!” Mila menjawabnya sambil duduk di kursi di dekatnya dengan mendongkol.

“Asal loe tahu ya Sil! Kalo adik kelas kita itu dilembutin terus, bisa nglunjak!” Mila menyambung omongannya.

“Nglunjak gimana maksud loe, Mil?” Sisil nanya ke Mila dengan berjalan mendekatinya.

“Udah ah!” Andien menyela setelah membaca-baca dengan cermat lembaran-lembaran kertas Folio dari bu Endah tadi. “Kalian berdua ini ribuuuttt mulu dari tadi!”

“Mila tuh yang kasar ke adik kelas kita tadi, Ndien!” Sisil mengadu ke Andien.

“Loe yang bawel aja!” Mila membantah. “Loe nggak tahu maksud gue ke mereka tadi!”

“Udah…udah!” Andien menyela lagi. “Kalo kalian berdua nggak akur, gue nggak bakal traktir-traktir lagi!”

Mila dan Sisil terdiam.

“Ngerti nggak?” Andien nanya ke dua sahabat karibnya itu dengan suara agak keras. Andien pura-pura tegas kali ini ke mereka berdua.

“Iya, gue ngerti kok.” Mila menjawab pelan. Sisil tersenyum-senyum.

“Malah senyum-senyum lagi!” Mila nyeletuk dengan melirik dan sewot.

“Cepetan kalian berdua baikan lagi!” Andien menyuruh Sisil dan Mila akur lagi.

Sisil masih tersenyum-senyum di dekat Andien, sedangkan Mila masih duduk dan sewot. Tidak beberapa lama kemudian, Sisil mendekati Mila dengan mengulurkan tangan kanannya untuk mengajak Mila bersalaman. Sisil tersenyum.

Mila pun tersenyum, lalu berdiri dari kursinya dengan menggapai telapak tangan kanannya dengan telapak tangan kanannya juga untuk bersalaman.

“Maafin gue ya Mil!” Ucap Sisil dengan memeluk Mila erat-erat.

“Maafin gue juga ya Sil!” Balas Mila dengan memeluk Sisil erat-erat juga.

Keduanya pun berpelukan dan tersenyum-senyum.

“Nah gitu dong!” Andien berkata sambil menyaksikan kedua sahabatnya itu dengan terharu.

Setengah menit kemudian, bel istirahat kedua atau terakhir berbunyi. Andien, Sisil, dan Mila segera ke kelas. Sebelum masuk kelas, Andien menutup pintu Sekretariat Majalah Sekolah dan menguncinya dari luar, karena Andien yang pegang kuncinya. Mereka bertiga berjalan beriringan menuju ke kelas untuk mengikuti pelajaran berikutnya, Sejarah. Setelah pelajaran usai, siswa dan siswi waktunya pulang. Seperti biasanya sejak kelas 1 SMA, Andien mengantarkan Sisil dan Mila pulang terlebih dahulu dengan mobil pribadinya sebelum Andien pulang.

Pukul 13.30 WIB di dalam rumahnya Andien…

Andien terlihat sangat bersemangat dan riang gembira. Mama dan Papanya sudah di ruang makan seperempat menit yang lalu. Kedua orang tua Andien itu masih menikmati makan siang bersama duduk berhadapan.

“Kamu kok kelihatannya seneng banget, Ndien?” Mamanya nanya ke putri satu-satunya itu setelah Andien mencium pipi kanan dan kirinya. “Ada apa nih?”

“Kamu dapet nilai bagus?” Papanya nanya ke Andien sambil makan.

“Enggak, Pa!” Andien menjawab pertanyaan Papanya setelah mencium pipi kanan dan kirinya seperti ke Mamanya tadi.

“Terus apa dong?” Mamanya nanya.

“Andien ikut lomba menulis cerpen lagi, Ma!” Andien menjawabnya dengan tersenyum-senyum sambil duduk di sebuah kursi di samping Mamanya.

“Mulai kapan?” Mamanya nanya.

“Besok, Ma.” Andien menjawabnya bersamaan dengan mengambil nasi di tengah meja makan.

“Sampai kapan?” Papanya nanya dengan serius.

“Seperti biasanya sampe dua minggu, Pa!” Andien menjawab dengan mengambil lauk dan pauk di dekat sebuah wadah nasi.

“Ujiannya kapan?” Papanya nanya masih serius.

“Sebulan lagi, Pa.” Andien menjawab dengan entengnya dan mulai makan.

“Tinggalin dulu nulis cerpen! Kamu harus belajar rajin mulai sekarang!” Papanya menyuruhnya. Pak Yana barusan selesai makan siang, tapi masih duduk di kursinya untuk menasehati Andien.

“Andien tetep ikut lomba cerpen, Pa!” Andien membantah. Bu Lina masih diam menyimak sambil menikmati makanannya.

“Kalo kamu nggak lulus, gimana?” Pak Yana bertanya dengan tegas.

“Pa, percayalah kalo Andien nanti bisa lulus kok! Andien pasti giat belajar sambil menulis cerpen, Pa!” Andien menjawab dengan bersemangat.

“Ini lomba terakhir buat Andien di sekolah, Pa! Andien pasti menggenapinya tiga kali juara pertama!” Andien menyambung. Papanya diam.

“Pa, percayalah dengan omongannya Andien. Dia udah janji rajin belajar kok.” Bu Lina mencoba meredam amarah suaminya.

“Tapi kalo sampe nggak lulus, Papa akan angkat tangan membiayai Andien sekolah, Ma! Seterusnya!” Suaminya berpesan ke istrinya sambil berdiri dari kursinya.

“Ma, Papa ke kantor lagi sekarang.” Pak Yana pamit ke istrinya, lalu pergi ke mobilnya di luar yang diparkir di halaman depan sejak jam 1 tadi.

“Papa kok gitu sih, Ma?” Andien nanya ke Mamanya. “Papa marah ke Andien ya Ma?”

“Papa nggak marah ke kamu! Tapi Papa menyuruh kamu jangan lupa belajar aja!” Bu Lina menjawabnya dengan lemah lembut ke satu-satu putrinya itu yang sangat dia manja.

“Oke dech, Ma. Andien janji kok ke Mama dan Papa kalo Andien akan selalu belajar giat.” Andien berjanji ke Mamanya.

“Yaudah…nanti Mama kasih tahu Papa kamu.” Mamanya menjawab dengan lemah lembut.

“Tapi Mama minta nanti kamu harus lulus ya, Ndien! Mama nggak pengin kamu nggak lulus ujian gara-gara ikut lomba menulis cerpen!” Mamanya berpesan ke penyuka ayam bakar dan ayam goreng itu.

“Siap, Ma!” Andien menjawab dengan menghormat ke Mamanya.

“Mama sekarang ke kamar ya Ndien! Mama ngantuk!” Mamanya bilang ke Andien sambil beranjak dari kursinya.

“Iya, Ma.” Andien menjawabnya sembari menikmati sisa-sisa makanan terakhir di piringnya.

Lima menit kemudian, Andien selesai makan siang. Andien segera ke kamarnya untuk berganti pakaian. Setelah itu, Andien mulai mengkonsep sebuah cerpen di meja belajarnya. Biasanya, Andien menulis maksimal lima cerpen di lomba menulis cerpen sekolah. Andien hanya memilih satu cerpennya yang dianggap terbaik untuk diikutkan di lomba menulis cerpen sekolah, karena hanya diperbolehkan mengirim satu cerpen saja. Di sela-sela menulis cerpen, Rio, pacarnya menelponnya. Di obrolan-obrolannya dengan Rio di HP, Rio mengajak Andien nanti malam keluar ke café seperti biasanya mereka berdua kencan.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel