Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 9 - Memudar Padam

Ikranagara

Bagiku yang sejak kecil tinggal di kota besar, menikmati pemandangan luas seperti ini adalah kebahagiaan. Meski sebelumnya aku tidak yakin apakah aku bisa melewati hari-hariku. Ini tahun kelima, harusnya aku sudah menyandang gelar sarjana, kemudian kembali ke kota. Nyatanya aku masih di sini, di kota kecil dengan kesunyian abadi. Aku kembali pada realita setelah sejenak kubiarkan kenangan mensubstitusi kenyataan.

Ponselku berdering. Senyumku seketika merekah saat nama itu muncul pada layar. Pesonaku jelas tak mampu ia elakkan.

“Assalamu'alaikum, hallo Fe?”

Suara di ujung sana terdengar sedikit serak, “Wa'alaikumsalam, Ikra.”

“Kamu baik-baik saja Fe? Kamu terisak?” Tak kudengar kata dari sambungan udara. Hanya isak yang entah kenapa terasa begitu sakit rasanya. Aku seperti ikut merasakan. “Aku jemput sekarang Fe, kamu siap-siap ya.” Kembali tak terdengar jawaban. Kututup sambungan telepon, bangkit dari rumput hijau, menamcapkan kunci, lalu menyelah motor bututku. Melewati gang sebelah SD Maria, menyusuri jalan Plaosan. Kost putri bercat hijau tujuanku saat ini.

Hidup itu kita sendiri yang menciptakan mau seperti apa jalan ceritanya. Kalau kita mau, kita bisa menjadi penulis sekaligus pelaku dari kisah hidup kita. Menghimpun definisi tanpa melanggar titah Illahi Rabbi. Aku memulainya di sini, di tempat pertama aku bicara. Memberitahu semesta tentang bagaimana nanti kehidupanku bersama gadis bermata sendu.

Fethisa berdiri di bawah pohon jambu, di depan kost bercat hijau. Matanya sembab. Tangisnya bukan gerimis lagi melainkan hujan deras. Tangannya menggenggam bingkisan hitam pemberianku. Ia mengekor tanpa berbicara. Setelah ujung gang terlewati, raungan motorku membelah sunyi. Membawa kami pada paru-paru kota. Tempatku bercerita akan segala rasa. Berharap caraku dapat meredakan tangisnya. Meski aku tak begitu mengerti apa yang membuatnya begitu lara.

Kalian tahu apa yang menjadi semangat hidupku? Apa yang membuatku bertahan sampai sekarang? Aku hanya berusaha menyelesaikan study yang memaksaku tinggal lebih lama di kota kecil ini. Sebuah rasa sakit yang begitu dalam, ternyata mampu membuatku bertahan. Fethisa terdiam, menatap jauh sebuah kekosongan. Persis seperti tatapanku satu tahun lalu.

“Aku yakin kamu belum makan. Sekarang habiskan dulu makanan itu. Belum pernah nyoba, kan?” Kubuka bingkisan kresek hitam, mempersilakannya makan. Tangannya enggan meraih daging tusuk yang bercampur bumbu kacang. Sepertinya ini kali pertama ia mencoba sate lontong. “Cara makannya pake tusukkan satenya. Kemudian potongan lontong di masukkan ke mulut kita.” Kusodorkan tusukan sate itu.

“Biar aku saja.” Tangannya sigap merebut. Jelas ia bisa makan sendiri.

Satu porsi sate lontong cukup membuatnya kenyang. Sepertinya ia benar-benar belum makan. Sembari menunggu gadisku, anganku mengudara. Memunculkan Tanya, “Samakah dengan sakit yang kurasakan waktu itu? Yang meski sudah berlalu tetap menyesakkan dada, atau bahkan lebih. Yang jika teringat detail ceritanya membuat kembali sempit semesta?” Aku berswa sangka.

Aku tak mau terbelenggu terus oleh perasaanku. Aku sudah memantapkan diri untuk lebih memikirkan hidupku sendiri, yang hampir empat tahun lamanya tak pernah benar-benar kuprioritaskan. Memilih mengutamakan kesejahteraan hidup orang lain, sementara hidup sendiri berantakan. Mengutamakan segala kepentingannya. Namun setelah apa yang dia inginkan berada ditangan, aku diabaikan. Tekadku sudah bulat. Tidak mau terus menerus hidup dalam kubangan nestapa, aku harus memulainya. Sebuah hidup baru penuh semangat juga hasrat untuk diriku. Menjadi lebih baik lagi bersama gadis bermata sendu di sebelahku. Aku berjanji akan menghapus luka yang ia punya, juga segala luka yang masih mendera pada dada. Kuingin segalanya memudar, hingga benar-benar padam.

***

Fethisa

Aku memang perempuan bodoh. Kemampuanku hanyalah sebatas nilai akademik saja. Untuk urusan cinta, aku sama sekali tidak punya pengalaman. Saat malam tirakat itu, harusnya aku bisa menerka, mengira seperti apa situasinya. Saat mulutnya merangkai kalimat andai. Pengandaian adalah sebuah asumsi yang mungkin tidak akan pernah terjadi. Memang benar, pertemuanku dengannya hanyalah kebetulan semata. Kebetulan dia sedang jauh dengan kekasihnya, kebetulan aku adalah bunga yang baru mekar dari kuncupnya. Semerbak wangi bagi kumbang yang ingin mengambil serbuk sari. Bodohnya lagi, aku sama sekali tidak memerhatikan bahwa dijari manisnya sudah ada tanda.

Kembaliku ke kota ini benar-benar awal aku memulai hidup berat. Angan dan khayalku terlalu jauh, berharap Romi benar-benar bisa menjadi 'Mantu idaman' Ibu. Bulir bening merembas, membuat pipi basah. Terbayang wajah Ibu yang begitu riang menyambut kedatangan Romi, begitu antusias saat aku membicarakan program kami. Ya Robbi ... kenapa aku harus mengalami semua ini? Kenapa awal pertamaku jatuh cinta sudah begitu lara? Aku bersenandika. Memandang lurus pohon beringin tepat di tengah hamparan rumput hijau.

“Aduh!” Kupegang rahangku yang terasa ngilu.

“Makanya kalau makan ya fokus makan. Nggak usah sambil melamun, apalagi nangis.” Ikra memberiku minuman.

“Terima kasih.” Aku meringis antara senyum juga menahan sakit.

“Fe, Fethisa Lusiana.” Ikra memanggilku lembut.

“Hemmmm … Apa?”

“Apa kamu bisa melihat orang yang berada di sana?” Ikra menunjuk dua pasang muda mudi yang jaraknya tak jauh di samping kami. Kuanggukkan kepala.

“Kalau yang di sana bisa lihat?” Kali ini menunjuk sekelompok anak SD yang sedang berolahraga dekat pohon beringin di tengah alun-alun.

“Bisa.”

“Sekarang, apakah kamu melihat orang yang di sana?” Bergeser sedikit dari tengah pohon beringin, ke arah kanan. “Itu lho di ujung. Berseberangan dengan kita.”

“Bisa, tapi tidak begitu jelas.”

“Kenapa?” tanyanya sambil menatapku.

“Ya, kan lebih jauh.” Aku menjawab mantap.

“Semua itu tergantung pada jarak pandang kita. Jarak pandang dalam melihat sesuatu.” Ikra menatap jauh rumput hijau. Membiarkan pikiranku bekerja bersamaan dengan perkataannya.

“Jika kita melihatnya dengan dekat, kita akan sangat paham apa itu. Jika dengan jarak menengah, kita berada pada posisi nyaman untuk melihatnya, dan jika jauh sekalian, lama-lama itu tidak akan kelihatan ... hilang." Ikra menjeda.

“Perkara ilmu agama, kemudian mata kuliah karena kita mahasiswa kita harus melihatnya dari jarak pandang terdekat. Biar apa yang kita pelajari, benar-benar mendalam. Tapi perkara hal-hal tidak nyaman, yang mungkin penyebabnya adalah diri kita sendiri, kita harus mengatur lensa mata kita dulu.” Aku yang masih belum paham arah pembicaraannya, hanya menganggukkan kepala. “Aku tidak tahu pasti apa yang menjadi masalahmu saat ini. Aku juga tidak paham, kenapa kamu bisa makan sambil nangis. Yang jelas pasti adalah, jika itu memberatkanmu dan membuatmu sesak lebih baik kamu melihat dari jarak pandang yang jauh. Bahkan terjauh. Biar lama-lama bayangan itu, yang berseliweran dimatamu bisa hilang, kabur, dan padam dari pandangan.” Ikra menikmati hembusan angin di area luas ini. “Karena tanpa kamu tahu, ada banyak hal indah menunggumu. Menunggu untuk kaulihat dari jarak dekat.” Ikra menolehkan pandangan, menatapku dalam. Tepat dikedua bola mata.

Aku gelagapan, saat mata kami beradu begitu syahdu. Seolah ia mengerti, hatiku sedang patah. Aku yang sejak awal tidak peduli dengannya, tiba-tiba menelepon jelas sebuah tanda. Jika saat ini aku boleh menyombongkan diri, ia tak rela melihat pujaan hatinya terluka.

“Oke, sudah makannya? Ayo kita lanjutkan ke perjalanan selanjutnya. Pastikan sampahnya dibuang di tempat sampah.” Ia meninggalkanku. Tak memberi kesempatan untuk menimpali celotehnya. Buru-buru menuju motor, memberi kode untuk cepat naik.

Kulipat kertas koran pembungkus sate lontong. Melemparkannya pada bak sampah di pinggir alun-alun. Kami pun melanjutkan perjalanan, dan berhenti tepat di ujung gang kost bercat hijau. Ternyata, hanya muter komplek saja.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel