Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 10 - Brownies Ketan Hitam

Fethisa

Suhu udara di sini hampir 30°C setiap hari. Terbiasa berada di udara dingin, membuatku sulit beradaptasi. Setiap hari aku harus membawa tisu guna mengelap keringatku yang tak mau tahu. Aku tak sama dengan mahasiswa lainnya. Sibuk memikirkan dandanan, atau baju kekinian. Fokusku segera menyelesaikan study. Biar cepat pulang, kembali ke tempat asal. Pergi jauh dari kota ini. Hari-hariku sekarang tak hanya berputar di sekitar kampus juga kost. Hadirnya Ikra membuat tempat bermainku bertambah. Paling sering kami ke perpustakaan, sekadar menyelesaikan tugas. Ya, lagi-lagi aku ini memang perempuan bodoh. Bahkan membaca situasi saja tidak bisa. Mungkin aku adalah orang yang paling mudah ditipu.

“Mas Ikra, browniesnya mana? Saya udah pesen lho Mas.” Seorang perempuan dengan kerudung cukup lebar menghampiri kami. Ikra dibuat kikuk olehnya.

“Hayo, hayo, kok ganti? Wah, sekarang nyari adik tingkat nih?” Wajah perempuan berkerudung lebar mengolok Ikra.

“He.” Ikra membenarkan letak kacamatanya.

“Ya sudah nanti di antar ke kost aja ya Mas. Dilanjutin tuh berduaannya.” Ia meninggalkan kami, yang sejurus kemudian juga meninggalkan pertanyaan dikepalaku.

Sejak menerima pengakuan Ikra, aku memang tidak benar-benar mengenalnya. Aku bahkan tidak berusaha mencari tahu siapa sebenarnya lelaki di sampingku. Aku sekadar menjalankan apa yang berjalan saja. Jangan-jangan penerimaanku, sebagai bentuk pengalihan rasa. Ada yang begitu perhatian, begitu baik, kenapa tidak dimanfaatkan? Aku hanya terbawa suasana.

“Kadang orang itu lucu ya. Baru ketemu kok langsung mengolok. Mbok ya tanya kabar dulu apa gimana gitu ya?” Ikra berusaha mengembalikkan suasana. Saat hening sepersekian detik menguasai.

“Apaan? Yang tadi? Mbak Khusnul, kan dia?” Aku membolak-balik halaman buku.

“Kamu kenal sama dia?”

“Iya. Dia pemandu ospekku. Anak matematika juga, kan?”

“Wah, hebat ya kamu. Kenal banyak orang.” Ikra berusaha melucu.

Aku mengambil buku juga tas, “Yuk keluar, udah selesai aku bacanya.” Meski sekuat hati mengabaikan, pertanyaan Mbak Khusnul tetap mengusikku. Aku harus meminta penjelasan Ikra.

"Oke, yuk cus keluar.” Ikra mengikuti saja langkahku.

***

Ikranagara

Berbohong adalah sebuah tindakan yang tidak sesuai dengan apa yang sebenarnya terjadi. Saat berbohong otomatis kita memanipulasi sebuah fakta sesuai dengan prasangka yang kita inginkan. Biasanya, jika sekali berbohong, maka akan terus ditutup dengan kebohongan selanjutnya. Berhenti dari kebiasaan itu, cukup sulit. Kelihaianku dalam berbohong tak berlaku hari ini. Kejadian tak terduga yang tidak kuprediksi sebelumnya.

“Fe, kamu kenal dengan perempuan tadi?" Aku bertanya dengan penuh hati-hati. Wajahnya kecut setelah kami keluar.

“Udah tak jawab, kan? Kalau kenal.”

“Iya deh, kenal. Dia satu tingkat di bawahku.” Kuedarkan pandangan pada bangunan berlantai tiga di depan kami. Salah satu tempat bersejarahku.

“Satu tingkat? Terus kamu dua tingkat di atasku dong?” Wajahnya yang lugu semakin lucu.

“Eh, keliru. Kita seangkatan ya?” Aku menggaruk rambutku yang tak gatal. Bodoh. Malah membuka kartu sendiri.

“Kra, serius deh. Apa maksudmu?” Wajah Fethisa memerah. “Kra, kamu bohongin aku? Selama ini!” Nada suaranya meninggi.

“Hey, tenang dulu. Kedengeran sebelah tuh. Aku bisa jelasin semua.” Sesal muncul tiba-tiba. Kenapa aku tak bercerita lebih awal?

“Masa bodo. Biarin denger semua!” Fethisa memalingkan wajah. Melihat beberapa mahasiswa lain yang sedang berkumpul.

“Udah Fe, gak usah gitu. Aku bisa jelasin. Serius ini gak seburuk yang kamu pikirkan.”

Fethisa melipat kedua tangan, mendekatkan pada dada. “Terus, semua yang kamu ceritakan dulu bohong Kra? Kamu bukan anak semester satu kayak aku? Bukan juga orang yang ditinggal mati pacarnya, Iya?” Suaranya semakin kencang. “Kok aku bodoh banget ya Kra. Percaya aja.” Fethisa mulai menangis, merengek layaknya anak kecil yang kehilangan permen.

“Kok malah nangis? Jelek ah. Udahan ya.” Sesalku semakin menjadi. Merayunya membuatku semakin bersalah.

“Ya Allah, bener Kra kamu bohongin aku?” Fethisa mendongak.

“Nangisnya udahan ya. Ingusnya keluar loh.” Aku mencoba menghiburnya, mengoloknya yang semakin kesal.

Penilaianku tak keliru. Ia memang gadis yang berbeda. Mungkin jika dihadapkan pada gadis lain, masalah ini sudah sampai meja hijau. Atau jika Nana yang kuhadapi, pasti sudah membuat naik tensi. Fethisa begitu lugu, polos dengan segala kesederhanaan.

“Setiap orang pasti punya masa lalu. Masa-masa yang sudah terlewati sebelumnya. Seperti saat kita kecil, saat kita di taman kanak-kanak misalnya, itu juga masa lalu. Intinya sudah berlalu.” Fethisa menyimak penjelasanku. “Sebenarnya masa lalu tidak harus berkaitan dengan siapa hubungan kita sebelumnya. Namun entah kenapa, frase itu kerap digunakan sebagai kisah lampau kita dengan seseorang.” Aku menjeda kalimatku. Berat bagiku mengakui kisah itu. “Ya, dulu aku punya masa lalu. Orang sebelum kamu.” Ya Tuhan, sungguh aku tidak ingin membahasnya. Aku berusaha kuat menahan agar bukan dia yang kuceritakan.

“Oh ... jadi maksud kok ganti itu karena masa lalu? Bukan karena dia mati ditabrak kendaraan?” Fethisa masih ingat saja cerita awal PDKT kami.

Aku menyunggingkan senyum, “Dasar-dasar geometri bukan mata kuliah utamaku. Aku mengulangnya karena dulu dapat nilai D. So … kita gak seangkatan.”

“Terus kamu semester berapa?” Fethisa semakin penasaran.

“Kasih tahu gak ya?” Aku kembali meledeknya. Benar-benar menggemaskan.

“Terserah. Bodo amat!” Fethisa mengerucutkan bibir.

“Ya Allah, jangan gitu Fe. Bikin merinding.”

“Emangnya aku hantu?” Kali ini pukulan keras mendarat dilenganku. “Jawab Ikra!”

“Iya, iya. Kayak atlit pencak silat aja kamu. Aku semester melayang, alias gentayangan. Harusnya udah lulus, tapi ada hambatan. Jadi ya belum lulus. Paham?” Kuusap lenganku yang panas. Jangan-jangan ia benar-benar atlit silat, lagi.

“Hemm, nyebelin. Lanjut lagi ceritanya. Awas kalau bohong, kualat kamu.” Nadanya berubah mengancam.

“Dalam sebuah kehidupan wajar bukan kalau kita punya masa lalu? Aku yakin kamu juga pasti punya. Seperti orang yang membuatmu menangis dan kemudian mencariku. Orang yang tega meninggalkanmu hingga membuatmu mau jadi pacarku. Hingga kita bisa berjalan bersisian seperti ini.” Kubiarkan angin berhembus di antara kami. “Kalau tidak ada masa lalu pasti masa sekarang tidak akan berjalan.” Kubiarkan Fethisa memikirkannya. “Kamu mau bahas siapa orang yang meneleponmu, sekarang? Menceritakan segala getir yang telanjur tertelan?” Aku menatap Fethisa dalam. Berharap bukan iya jawaban yang akan disampaikan. Karena aku, belum mau Nana hadir di antara kami. Aku sedang menikmati perjalanan baruku yang belum seberapa lama.

“Pulang aja yuk, kayaknya mau hujan nih.” Fethisa mengalihkan pembicaraan kami.

Dengan sigap kuterima ajakannya. Kami menuruni tangga, melesat pergi dari kampus tercinta. Meninggalkan riuh rendahnya. Selepas ini aku harus mengantarkan pesanan-pesanan brownies ketan hitam, disertai pertanyaan-pertanyaan yang pasti akan cepat sekali kabar beritanya. Sampai kemana-mana.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel