Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

8. Sepenggal Kisah dari Banjarnegara

Fethisa

Banjarnegara, Juli 2012

“Pastikan semua yang kita siapkan terbawa. Jangan sampai satu perlengkapan apa pun tertinggal!” Suara merdu dari pemuda di depanku menegaskan. “Fethisa, kamu bagian membawa buku-buku, ‘kan? Kenapa belum diambil?” Matanya mendelik, mengarah pada barang yang kubawa.

"Oke, yang lain silakan berangkat dulu. Nanti biar Fethisa sama aku saja. Buku-buku itu penting." Setelah memastikan barang-barang yang dikemas terbawa, juga meletakkan barang bawaanku ia melepas kontingen kami.

"Ayo, Fethisa, ikut aku ke balai desa lagi. Konsekuensi karena kamu malah melupakan apa yang menjadi tugasmu." Ia memimpin langkahku.

Terkadang aku memang tidak fokus dengan perintah. Ceroboh, satu kata yang tepat untuk menggambarkan seperti apa diriku. Aku juga tipe orang yang suka membangkang. Anehnya kali ini aku begitu patuh. Selama kebersamaan kami, ia memang seorang leader yang patut disegani. Kata-katanya adalah perintah, tapi tidak memaksa. Caranya berbicara juga bergaul sungguh menyenangkan.

Ruangan berukuran 6x6 meter itu sepi. Beberapa rekan sudah berangkat menuju bumi perkemahan. Aku tergabung dalam kemah bakti Karang Taruna, sembari menunggu pengumuman SNMPTN (Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri) jalur undangan. Harapanku, aku bisa kuliah di kampus dengan program studi kesukaan, tanpa melewati banyak tes. Ini momen langka, karena baru pertama aku terlibat langsung urusan desa.

Romi, Resa Romi. Ketua Karang Taruna di desa kami. Perawakannya tinggi kurus dengan rambut ikal. Aku sudah pernah mendengar namanya dari Bapak juga Ibu yang kadang terlibat urusan desa. Namun seperti apa dia sebenarnya, aku baru tahu setelah tergabung dalam tim ini. Jambore Kemah Bakti Karang Taruna yang merupakan event tahunan desa di kabupaten, menarik minatku. Karena tak hanya aku yang bergabung, beberapa rekan yang baru selesai ujian SMA juga ikut. Kami tergabung dalam tim lomba cerdas cermat bersama Romi. Selama kurang lebih dua minggu mempersiapkan diri, kedekatanku dengan Romi semakin terlihat. Aku suka caranya menjelaskan suatu hal, dan yang paling aku suka adalah caranya menatapku. Sorot matanya tajam sekaligus menenangkan.

"Fe, rencana mau kuliah di mana?" tanyanya sambil mencari buku.

"Daftar di Semarang sama Jogja, Mas," jawabku tersipu.

"Jogja aja, ya, biar kalau aku jemput nggak kejauhan. Boleh ya, nanti kalau aku main?" Aktivitasnya terhenti sejenak, Romi menatapku.

"He, boleh, Mas." Kupamerkan gigi tak rataku.

Kegiatan kemah bakti memunculkan puncak rasa. Membuat getar di dada semakin terasa. Sepertinya, aku tak mampu mengelak pesona yang ia tampakkan. Aku ... terpikat.

***

17 Agustus 2012

“Proyek kita hari ini adalah lomba Ibu-Ibu menghias tumpeng. Gimana caranya itu bisa terlaksana!” Kali ini rapat karang taruna tak lagi di bBalai dDesa. Segalanya bermutasi di rumahku. Bapak juga Ibu mengiyakan, asal tujuannya positif tidak masalah rumah menjadi basecamp.

Bagiku, menungguinya mengerjakan tugas sudah sangat menyenangkan. Meski tak ada interaksi langsung di antara kami berdua. Bagiku, sekadar membuatkan minum untuknya sudah sangat istimewa. Meski sekali pun kata cinta tak pernah terucap. Aku mengerti, rasa cinta terkadang muncul begitu saja, tak terkira. Tanpa permisi saat mulai singgah di hati.

Saat semua teman-teman memilih berada di dekat panggung di malam tirakatan itu. Saat sebagian warga desa begitu menyimak acara rRuwatan, yang menghadirkan pagelaran wayang kulit. Saat keramaian yang hanya beberapa meter saja jaraknya dari rumahku, aku lebih memilih pergi. Menepi di ruang tamu rumah. Mengingat kabar berita yang membuatku kembali meneteskan air mata. Aku gagal masuk perguruan tinggi negeri. Gagal meraih impianku dan di hadapkan pada kenyataan bahwa rekan satu desa ada yang lolos. Padahal peringkatnya di sekolah jauh di bawahku. Kepalaku sudah membayangkan bagaimana nanti cemoohan orang. Bagaimana mereka menjadikanku sebagai contoh buruk bagi anak-anaknya. Pintar itu tidak ada gunanya., Ttoh, gagal juga masuk kampus negeri. Siapa contohnya? Ya itu, si Fethisa. Aku tertun, Nduk lesu memikirkan banyak hal yang belum tentu suatu kenyataan.

"Ehem, ngelamunin apa, Fe?" Romi membuyarkan anganku. Aku meliriknya sekilas, kemudian kembali tepekur dengan pikiranku. "Fe, aku tahu kamu masih sedih tentang kabar itu, tapi mau tidak mau kamu harus tetap melanjutkan kuliah di tempat yang jauh dari pilihan pertama. Kita tidak pernah tahu, Fe, apa yang akan terjadi nanti. Bisa jadi itu yang terbaik buat kamu." Romi menatapku dalam. Sebuah meja memisahkan kami.

"Besok jika kamu sedih atau kesepian, aku akan menghampirimu. Aku akan sering menjengukmu, juga menjemputmu di tempat di mana pun kamu berada." Ia begitu lihai membawa kata-kata. "Fe ... kenapa kita tidak dipertemukan lebih awal, ya?" Romi menunduk dalam.

Aku tak paham apa yang akan ia sampaikan. Hanya saja malam ini, aku sepakat membuka hatiku untuknya. Mulai merangkai mimpi menjadi lebih sederhana. Kuliah, menjadi sarjana, lalu pulang. Menikah dengannya.

***

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel