Pustaka
Bahasa Indonesia

Cinta di Ujung Semester

31.0K · Tamat
Hamira Irrier
37
Bab
606
View
8.0
Rating

Ringkasan

Ikranagara, mahasiswa semester sembilan yang berusaha menuntaskan mimpinya. Lulus, menjadi sarjana dan pergi dari kota tempatnya menimba ilmu. Ia tak pernah putus asa meskipun harus memulai kembali penelitian dan penyelesaian skripsi yang tertunda. Lewat momen iseng mengisi waktu luang, ia bertemu Fethisa Lusiana. Gadis bermata sendu yang berhasil menarik hatinya. Ia mencoba mengenal lebih dekat dan nekat membuat pengakuan. Apakah cintanya diterima? Dapatkah keduanya membelokkan arah hidup mereka?

RomansaCinta Pada Pandangan PertamaKampusSweetBaperCLBK

1. Sebuah Pengakuan

Ikranagara

Aku tak mengerti apa yang membuatnya begitu memikat hati. Dari segi wajah maupun perawakan, dia biasa saja. Jelas teman di sebelahnya jauh lebih memesona. Aku juga tak paham kenapa hatiku terpaut olehnya. Ya. Mata teduhnya, mata teduh yang kadang terlihat sendu, memunculkan tanya juga rasa ingin tahuku, mengenalnya lebih dekat hingga mampu mengisi hatinya.

"Aku tak butuh jawabanmu saat ini, Fethisa, aku hanya mengungkapkan apa yang kurasakan selama tiga bulan ini. Aku ingin memiliki hatimu." Rinai hujan menjadi saksi pengakuanku padanya. Gadis di depanku mematung mendengarnya. "Kalau kamu tidak yakin kamu tidak perlu berkata apa-apa. Kita pulang saja." Kusodorkan mantel plastik berwarna kuning, memintanya bergegas naik. Menyelah motor king bututku yang siap meraung di rinai hujan sore ini.

Hingga malam tiba, hatiku tak tentram. Aku terjaga demi melihat balasan pesan dari Fethisa, tapi setelah pengakuanku, dia tidak merespons s sama sekali. Apakah dia gusar? Apakah aku berlebihan membuat pengakuan? Ah, peduli apa? Akumemang menyukainya.

ɧ

Bulan Desember bulan penuh kepadatan bagi mahasiswa reguler di kampus. Bulan untuk ujian akhir semester. Aku memastikan diri mengenakan outfit terbaikku hari ini. Bertemu Fethisa adalah misi besarku. Kusambangi kelas yang biasa kami pakai untuk mengikuti mata kuliah, dia tidak terlihat di sana. Aku menuju perpustakaan, barangkali Fethisa sedang belajar, dia pun tak ada. Kemudian kulangkahkan kaki menuruni tangga, membelokkan tubuh ke arah lobi ruang rektorat yang sinyal wifi-nya kencang, tak tampak juga wajah Fethisa. Terakhir, aku mengendarai motor menuju kost putri bercat hijau dengan pohon jambu di halaman terasnya. NIHIL. Fethisa tidak di kost juga.

Handphone Samsung ber-body hitam kuandalkan untuk mencari keberadaan Fethisa. Abjad F kutekan. Tidak terhubung, hanya suara operator perempuan yang merespons. Semoga Fethisa tak sengaja mematikan ponselnya. Semoga hilangnya Fethisa dari jangkauanku bukan karena pengakuanku padanya.

Assalamualaikum. Kuucap salam sekeras mungkin. Berharap masih ada penghuni kost yang belum berangkat kuliah.

"Wa'alaikumussalam." Suara perempuan menyahut dari dalam. "Mas Ikra? Ada apa, Mas?" sapa Fanni, teman satu kost Fethisa.

"Fethisa ada di kost tidak, Fanni? Aku cari di kampus tidak ada, padahal harusnya dia kuliah. Aku hubungi nomor teleponnya juga tidak aktif." Mulutku detail menceritakan aktivitasku sebelum sampai di kost bercat hijau.

"Fethisa pulang kampong, Mas, mudik berangkat lepas subuh." Jawaban Fanni membuatku lemas juga limbung.

Pulang kampung? Pegunungan itu? 

Motor bututku menurut saja saat aku membawanya menuju gang. Aku tak mau ia membuat kebisingan. Seperti hatiku yang gaduh memberi tahu, untuk menyusul Fethisa menuju pegunungan itu.

***

Fethisa

Aku tak peduli ini bukan hari liburku. Bukan akhir minggu, juga bukan jatahku untuk pulang. Aku ingin sekali berada di sana, sejenak menenangkan hati dan pikiran. Kukemasi barang-barang berharga juga beberapa buku yang ingin kubaca. Di pagi buta, aku menuju perempatan alun-alun kota demi mendapatkan angkot pertama. Saat angkot kuning bertanda A yang mengantarkan penumpang menuju Plasa, tidak 'ngetem' begitu lama. Mereka berebut menjadi yang pertama di terminal pasar Purworejo. Setelah ini aku harus berganti kendaraan. Sebuah minibus berjajar dengan kondektur berteriak kencang, "Wonosobo, Mbak, Wonosobo!"

Langkahku terhenti. Melihat sejenak minibus yang masih berdiam diri. Sepi. Baru ada tiga penumpang termasuk aku. Bisa dua jam aku di sini. Sayangnya tak ada pilihan lain. Satu-satunya jalan pulang, ya, dengan menaikinya. Kursi penumpang yang sudah tidak empuk lagi siap kududuki sampai satu jam ke depan. Perjalanan panjang yang cukup melelahkan. Pertama kali merantau, membuatku mudah terserang penyakit. Homesick atau rindu kampung halaman. Di setiap minggu bahkan waktu. Alunan lagu yang hanya bisa kudengar sendiri sedikit menghibur. Membuatku tak buru-buru menyumpah pada nasib buruk yang kualami. Kuliah di kota yang tidak pernah kudengar sebelumnya. Tambah lagi naik angkutan umum yang tidak hanya macam siput jalannya, tapi juga membuat pusing kepala. Bersama kambing, ayam, kantong besar juga setumpuk dedaunan. Mau seriuh apa pun sekelilingku, aku tetap tak peduli. Aku hanya ingin terlelap tanpa gangguan berarti. Mode pesawat membuatku tetap bisa mendengar lagu tanpa perlu membaca pesan ataupun mengangkat telepon dadakan. Hari ini aku sengaja tidak memberitahu keluarga dan tidak mengabari teman-teman untuk izin meninggalkan perkuliahan. Satu-satunya orang yang tahu aku pulang adalah Fanni. Subuh tadi dia melihatku.