Bab 11- Sekretaris Pribadi
Ikranagara
Purworejo, 2009
Bisa dibilang ini adalah awal kisah kami yang begitu menarik warga kampus. Aku mengenalnya saat mengikuti seleksi ketua himpunan Mahasiswa Pendidikan Matematika. Ia juga mencalonkan diri dengan kualifikasi sama. Seorang perempuan yang bercita-cita menjadi anggota dewan. Yang memang pandai berargumentasi juga berani dalam menyuarakan pendapatnya. Kaila Natasya, aku memanggilnya Nana. Gadis chubby dengan wajah hitam manis. Ia pandai bahkan sangat pandai karena bisa menjadi asisten dosen di prodi kami. Ia satu angkatan denganku, hanya saja beda kelas.
Pemilihan umum selesai. Aku keluar sebagai pemenang dengan suara terbanyak. Nana menjadi sekretaris, karena jumlah suara yang diperolehnya nomor 3 dari 4 kandidat. Semua program Himpunan yang berjalan pada masa baktiku adalah hasil karya kami. Pemikiran kami yang lahir di ruang lantai dua gedung Unit Kegiatan Mahasiswa. Gedung yang berada di belakang gedung berlantai tiga yang menjadi pusat pelayanan administrasi mahasiswa. Sebuah gedung bersejarah bagi kami.
"Na, mulai hari ini kamu bukan hanya sekretaris di Himpunan saja, kamu akan menjadi sekretaris pribadiku." Kala itu aku menyemai rasa untuknya.
"Maksudnya?"
"Ya. Kita akan selalu bersama. Kita akan melewati masa-masa ini hingga baju toga tersemat ditubuh kita." Aku melihatnya yang sedang mengerjakan proposal kegiatan kami. "Na ... mau ya jadi pacarku?" Aku memandangnya lekat, Nana mengangguk. Sejurus kemudian kami berhadapan, mengiyakan sebuah kesepakatan.
Saat teman-teman satu organisasi paham bahwa kami terlibat cinta lokasi semua mendukung penuh tanpa kecuali. Dengan catatan tidak ada program yang terhambat. Harus profesional. Urusan profesionalitas aku juaranya. Meski ke mana pun kami bersama, aktivitas yang kami kerjakan memang untuk menunjang kegiatan kami sebagai mahasiswa. Nana selalu mendapatkan IPK terbaik setiap semester. Memang, dia aslinya rajin ditambah support dariku yang sering memfasilitasinya. Ya, aku selalu mengedepankan keberhasilannya.
ɧ
Goa Seplawan, Awal Tahun 2012
“Terima kasih Ikra, Ibu senang sekali dengan kulkas dan peralatan yang dititipkan di rumah. Kata beliau bisa untuk keperluan dapur juga.” Nana membuka percakapan kami disalah satu tempat tertinggi di kabupaten Purworejo. Perbukitan gunung menoreh, lukisan Tuhan yang menyejukkan jiwa. Mengijinkan Indra penglihatan kita menikmati tatanan apik Sang Maha Pencipta. Hamparan hijau yang terbentang luas di bawah juga sekelilingnya.
“Nanti kalau program kita udah selesai, biarkan di tempatmu saja. Aku bukan tipe orang yang telaten ngopeni barang-barang.” Aku memang selalu seperti itu. Membiarkan apa milikku, menjadi miliknya juga.
“Makasih Kra, kamu selalu baik sama aku dan keluarga.” Nana menyunggingkan senyum termanisnya. Aku melihatnya, kemudian mengedarkan pandang.
Netraku menangkap megahnya gunung Merapi dan Merbabu di arah timur. Juga gunung Sindoro Sumbing di arah lain. Bahkan jika beruntung gunung Slamet yang berjarak cukup jauh pun, bisa terlihat dari gardu pandang ini. Gardu pandang yang menjadi daya tarik komplek wisata Goa Seplawan. Setiap satu minggu sekali aku datang ke daerah ini. Mengambil susu kambing etawa murni. Susu dari kambing Jamnapari India yang dibawa oleh pemerintah kolonial Belanda ke Kaligesing, untuk disilangkan dengan kambing lokal, kambing Jawa Randu atau Kacang. Hasil persilangan ini dikenal sebagai kambing etawa ras Kaligesing yang pada awalnya dikembangkan sebagai breeding dan produksi susu. Hal itulah yang membuat kami tertarik membuat proposal Eskrim Kambing Etawa. Proposal pengajuan Program Kreativitas Mahasiswa kami berhasil di danai Dikti. Kami mendapat modal untuk berwirausaha.
Begitu banyak waktu yang kuluangkan juga kumaksimalkan untuk berjalannya program ini. Namun sayang, aku tidak berhasil menuntaskan masalahku sendiri. Aku yang hanya mengedepankan perasaanku, kalah dengan segala pertempuran hidup sesungguhnya. Aku yang kerap lebih mengutamakan orang lain, mengorbankan apa-apa yang menjadi milikku. Waktu akhirku di kampus yang harusnya kugunakan untuk menyelesaikan skripsi, malah habis untuk mengantarnya ke sana kemari. Masa-masa yang harusnya kuoptimalkan untuk mengejar segala ketertinggalan materi, karena sibuk di organisasi menguap begitu saja. Masa berhargaku yang justru habis untuk bermain-main tanpa henti. Saat bulan Oktober tiba, aku gagal memakai toga. Sedang Nana melenggang anggun bersama predikat cumlaude-nya. Aku terperosok jauh dalam nestapa.
ɧ
“Aku tidak akan memintamu batal mengikuti wisuda. Aku tahu usahamu jauh lebih keras dibanding aku. Tapi setidaknya bantu aku untuk memulai kembali penelitian yang tertunda ini.” Aku memohon pada Nana dengan segala harap. Nana berkacak pinggang dengan mata bulat yang nyaris keluar.
“Aku gak bisa. Aku harus fokus ke bimbelku juga. Tidak mungkin waktuku kuhabiskan untuk menemanimu. Jadwalku sudah penuh untuk saat ini.” Nana melihatkan selebaran berisi rangkaian kegiatan bimbel tempat ia bekerja. Sejak sidang pendadaran, ia mulai mengisi waktu luangnya dengan menjadi tentor di sebuah lembaga bimbingan belajar. “Harusnya kamu lebih keras dalam menyelesaikan skripsimu itu. Jangan terlalu sering membuang waktu dengan kegiatan tidak jelas.” Perempuan satu ini tidak pernah mau disalahkan. Egonya selalu tinggi dan ia merasa dirinya paling benar. Bahkan dalam empat tahun hubungan kami, begitu banyak cekcok kami lewati. Adu mulut juga argumen.
“Kamu bilang kegiatan tidak jelas? Kamu bilang aku membuang waktu? Bukankah selama ini waktuku selalu kuhabiskan denganmu? Untuk menemanimu, bahkan untuk mengutamakan segala urusanmu. Kamu lupa siapa yang mengantarmu! Siapa yang menjemputmu setiap waktu!” Aku berteriak pada Nana. Tak peduli jika suaraku terdengar hingga dalam. Yang jelas perempuan di hadapanku ini benar-benar membuatku naik pitam.
“Aku tidak pernah meminta itu semua. Salah sendiri kamu mau mengurusi urusanku. Kenapa tidak kamu urus urusanmu saja?” Nana mendongak, merasa begitu congak.
“Seandainya dulu aku tidak fokus pada penelitianmu, sudah pasti aku akan berhasil melewati ini. Seandainya aku tidak mengedepankan urusanmu, aku tidak akan setertinggal ini!” Kuambil selebaran kertas ditangannya. Menyalurkan emosi, merobeknya kasar.
“Apa-apaan kamu! Ini punyaku kenapa main robek aja!” Ia merebut paksa sisa kertas. Aku menyobeknya lebih keras.
“Jadi selama ini aku hanya menjadi kacungmu? Dalam hubungan kita sama sekali tidak ada rasa tulus?” Aku mencoba menurunkan nada suara.
“Yang jelas selama ini aku tidak pernah meminta itu semua. Kalau kamu memang membutuhkan bantuanku, kamu bisa menemuiku saat aku benar-benar santai. Sudah sana, kamu urus saja urusanmu. Sebentar lagi aku ada kelas.”
Sesak itu mengumpul menjadi satu. Aku memandang gadis yang selalu kuperjuangkan. Wajahnya benar-benar menampakkan kesombongan atas segala keberhasilan yang ia dapatkan. Ia membelalakkan mata, beberapa detik kemudian memutar badan. Nana berencana melangkah kembali ke tempatnya bekerja.
"Baiklah. Hari ini kita selesaikan saja. Kamu ingkar dan aku akan pergi.” Aku memberi ruang untuknya berpikir. “Kita PUTUS!” Kalimatku menghentikan langkahnya. Aku tak menanti bagaimana reaksinya.
Kuselah motor bututku, mengencangkan gas pada tangan kanan. Melesat pergi dari jalanan yang kulewati setiap hari, tak peduli pada Nana lagi. Segala rasa yang ia hantarkan di malam keakraban kala itu, hanyalah dusta. Kini semua menjelma menjadi luka dan semua waktu yang kuhabiskan di kota sunyi ini, sia-sia. Tak bermakna.
