Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 13- Tombo Kangen

Ikranagara

Malam ini kubiarkan mataku memanas hingga terasa kebas. Kubiarkan pula lututku bersimpuh hingga aku merasa tak mampu berdiri. Lebih tepatnya tak pantas lagi. Lelah berkutat dengan masalah, membuatku tak lagi utuh menjadi seorang hamba. Sekian waktu aku melalaikan kewajibanku. Menjalankannya seperti rutinitas biasa, tanpa benar-benar mengisi nurani. Lembar demi lembar halaman putih yang tertumpuk rapi kubuka kembali, selepas melakukan dua rakaat malam. Aku ingat, di sana kuselipkan pesan cinta dari gadis bermata senduku yang semakin hari semakin menunjukkan cintanya. Membuat api semangat terpercik untuk menyala.

“Bagaimanapun juga aku harus memulainya, memulai kembali sesuatu yang sudah lama terhenti.” Kutempelkan pesan cinta itu pada monitor laptopku. “Targetku malam ini cukup merapikan berkas saja. Betul Fethisa?” Aku mengusap layar monitor yang sengaja ku-setting foto kami berdua. “Oke, semangat Aimar Ikranagara.” Berdialog dengan diri sendiri itu perlu, saat kita merasa tak ada lagi yang bisa memotivasi. Hal itu biasa kulakukan.

“Mar, koe ki lagi opo to? Kok omong dewe ra jelas. (Mar, kamu lagi ngapain? Kok bicara sendiri tidak jelas.)” Mbah yang setiap hari menemaniku sudah berdiri di belakang, ikut melihat walpaper laptopku. “Oh, lagi omong karo pacarmu sing ayu kui to? Kapan dijak rene? (Oh, sedang bicara sama pacarmu yang cantik itu? Kapan diajak ke sini?)” Mbah meletakkan tangannya dipinggang. Setelah sedikit membungkuk, Mbah kesulitan untuk meluruskan kembali badannya.

“Mbah belum tidur? Kirain udah Mbah.” Aku menutupi laptop dengan tubuhku.

“Wong koe le omong seru, ya Mbah tangi to. Rep garap skripsi lagi pow? (Wong kamu bicara keras, ya Mbah terbangun. Mau kerjakan skripsi lagi?)” Mbah mengambil minum di meja makan di depan kamarku.

“Iya Mbah, mau mulai lagi penelitiannya. Doakan ya Mbah.” Mbah adalah satu-satunya keluargaku di sini. Setelah kepergian Mbah Kakung di awal semesterku dulu. Beliau selalu menyiapkan keperluanku meski aku sungkan menerimanya. Semua anaknya tidak ada yang tinggal bersama Mbah. Keputusanku untuk kuliah di kota ini, benar-benar tepat bagi keluarga. Aku bisa menemaninya.

“Jelas Mar, Mbah doakan. Yow wis ndang dirampungke yow, lak bisa cepet mulih nang Tangerang. Mamakmu wes khawatir koe ra mbalik. (Jelas Mbah doakan. Ya sudah cepat selesaikan, biar bisa balik ke Tangerang. Mamah kamu khawatir kamu tidak balik.)” Mbah menegak habis minumannya. Ia terkekeh, kemudian melangkahkan kaki menuju kamar depan.

Kutatap kembali monitor. Benar kata Mbah, Fethisa memang berparas ayu. Jelas dibandingkan dengan Nana, ia jauh lebih jelita. Sepertinya ketidaksengajaanku menatapnya di ruang kuliah dulu, memang sebuah pertanda. Bahwa aku tak sekadar terpesona dengan matanya, tapi aku jatuh cinta sejatuh-jatuhnya. Ponselku bergetar pertanda sebuah pesan datang. Nomor yang hanya berbeda satu angka denganku tepat diangka paling belakang.

085********* : Mas, jangan lupa bab 4nya selesaikan. Kamu tinggal olah data yang dari aku, kan?

Aku hanya membacanya. Sebuah pesan lain menyusul dari pengirim yang sama.

085********* : Mas ... aku kangen sama kamu. Besok aku belikan siomay Tombo kangen Mas. Kesukaan kamu.

Tombo Kangen, kenapa ia tiba-tiba membahas Tombo Kangen? Sebuah kedai makanan yang terletak tak jauh dari tempat kost-nya dulu. Kedai yang menyajikan makanan kesukaanku. Makanan yang sesuai dengan lidahku. Entah, aku paling tidak bisa beradaptasi dengan masakan Jawa Tengah. Lidahku telanjur suka dengan makanan Jakarta juga Jawa Barat. Kedai itu salah satu tempat favorit kami. Lebih tepatnya karena sesuai dengan seleraku. Ponselku kembali bergetar dengan dibarengi nada dering yang kencang. Aku buru-buru menekan tombol terima.

“Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarokatuh, selamat malam dengan siapa ya?” Aku bisa mendengar suara di ujung sana terkekeh. “Ehm ... mohon maaf, yang punya HP sedang tidak bisa dihubungi, kebetulan saya menemukannya di sawah.” Aku kembali membuat nada bicaraku seformal mungkin. Suara di ujung sana semakin tertawa.

“Wa’alaikumsalam, apaan sih Yang? Udah tahu, kan kalau aku yang nelpon. Pakai acara begitu segala.” Ia berusaha ketus, tapi lebih terdengar manjanya.

“Kamu belum tidur Fe? Ini sudah jam dua lho. Apa teleponku tadi sore masih kurang?” Lepas Asar tadi aku menghubunginya. Mengingatkannya untuk mandi. Karena aku mengerti gadis cantik pujaan hatiku, ternyata kerap malas mandi.

“He ... Iya Mas, aku nggak bisa tidur. Hari ini nggak ketemu kok kangen ya.” Suara Fethisa terasa ringan sekali ditelinga.

“Yang bener tuh Mas apa Sayang? Nggak konsisten kamu.” Sebuah alasan membuatku tidak suka kalau Fethisa memanggilku dengan sebutan Mas.

“Ya, sayangku ... aku merindukanmu.” Fethisa terdengar begitu tulus mengucapkannya. Jiwaku yang sedang semangat ini serasa mendapatkan nutrisi. Terisi penuh dengan hangatnya kata sayang dari Fethisa.

“Aku juga merindukanmu Fethisa sayang. Besok pagi aku bawain nasi uduk buat sarapan.” Aku membayangkan nikmatnya sarapan di dekat pohon rindang di alun-alun.

“Fe, halo Fe. Belum tidur, kan?” Sejurus kemudian kudengar suara dengkuran. “Ini mah namanya bukan kamu yang nemenin aku Fe, kalau kamu tidur duluan.” Aku tetap berbicara, berharap Fethisa masih di sana. “Kisah hidupku pencarian cinta sejati. Engkau yang hadir di saat kubutuhkan cinta di hidupku. Mungkin semua ini akan jadi yang terindah di sepanjang perjalanan cintaku.” Kulantunkan syair lagu kesukaanku dari Basejam 2007. Aku tahu tidak akan ada jawaban lagi. Sambungan udara terputus dengan mesra.

Fetisa Lusiana. Suatu hari nanti aku akan bicara padamu lengkap dengan kedua orang tuaku. Setelah aku berhasil menuntaskan semua tanpa sedikit pun sisa. Tunggu aku di ujung sana, di tempat pertama kita menyapa. Bersama hari indah yang menghampiri, tanpa lagi rasa saling terlukai. Selamat tidur kekasihku.

ɧ

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel