7. Rambut Ikal Bermata Biru
Fethisa
Setelah memutuskan kembali ke kota yang sangat tidak kurindukan, aku harus memulai aktivitasku sebagai mahasiswa. Menjejali diri dengan ilmu-ilmu pendidikan yang katanya akan sangat berbeda saat nanti bekerja. Objek yang dipelajari adalah manusia, yang bahkan dalamnya hati juga pikirannya, tidak pernah bisa diketahui secara pasti. Bukankah tidak ada yang lebih mengerikan selain itu? Aku sudah memilih program studi ini, sesuai dengan kondisi juga kemampuanku saat itu.
Belum lama aku merebahkan tubuh di kamar bercat hijau, suara lelaki yang semakin akrab di telingaku terdengar kembali. Ikra. Aku jengah dengannya. Ia selalu muncul tiba-tiba. Memaksaku bertemu lagi, lagi, dan lagi. Pasti semua tentang perasaanya.
"Aku tidak akan mengajakmu keluar, hanya saja sepertinya ini akan membantu." Satu bungkus makanan ia bawakan.
"Aku tidak lapar dan sedang tidak ingin makan," jawabku ketus. Entahlah, aku enggan sekali menanggapi. Meski sebenarnya dia terlihat tulus.
"Terimalah dulu. Nanti setelah tiga jam kamu tetap tidak mau, kamu bisa membuangnya." Ia meletakkan bingkisan tas keresek hitam di meja tamu yang disediakan oleh pemilik kost. "Aku pamit dulu. Jangan lupa besok ada kuliah pagi, ya." Tubuhnya beranjak meninggalkanku.
Kenapa dia bisa paham jadwal kuliahku? Sebegitu besarkah usahanya mendekatiku? Apakah pesonaku begitu paripurna?
Ikra menuntun motor bututnya sampai gang. Ia pasti tidak mau membuat keributan. Kuletakkan bingkisan dari Ikra serampangan. Tidak bernafsu.
"Fe, di dalam, kah? Suara Fanni terdengar dari luar.
"Masuk, Fan." Aku mempersilakannya.
"Fe, maaf menganggumu. Ada hal yang ingin kubicarakan." Fanni berhenti sejenak, terlihat meraba seperti apa aku bereaksi. “Kemarin saat kamu pulang Ikra datang. Ia mencarimu karena kamu tidak kuliah. Aku yang memberikan alamat rumahmu."
"Ya, aku mengerti, Fan. Terus?" Sengaja kuberi Fanni ruang bercerita.
"Selama ini aku tidak pernah memesan brownies ketan hitam yang diantar Ikra. Sebenarnya ia memberikan cuma-cuma padaku, hanya demi melihatmu. Sungguh, kalau dari kacamataku ia tulus mendekatimu. Ini waktu yang tepat, Fe, untuk melupakan ... Romi." Fanni memelankan suaranya. Dia sahabatku, jelas dia tahu tentang kisahku.
Nama itu kembali muncul setelah Bapak juga Fanni menyebutnya. Entah. Apakah kisahku dengannya sudah selesai? Atau masih belum?
"Fe, kemarin ada paket untukku. Setelah kubuka ada untukmu juga." Fanni menyodorkan kertas terbungkus plastik bening.
Siluet wajah berhidung mancung dengan rambut ikal yang tersisir rapi, bersitatap dengan paras manis bergamis, terpampang di halaman muka. Saat tanganku tepat menggengam paket itu, saat aku hendak memastikan apakah ia Romi yang kukenal, ponselku berdering. Sebuah nomor yang tidak pernah tersimpan di memori telepon, tapi tersimpan jelas diingatanku. Aku meraihnya. Sorot mataku meminta Fanni untuk pergi.
Halo, Fe? Kamu baik-baik saja? Pasti kamu sedang menerima undanganku, kan?
Suara yang biasanya terdengar merdu, kini menyayatku.
Fe, maafkan aku. Itu ulah Widya. Dia yang mengirimkannya. Aku sebenarnya ... aku tidak mau menyakitimu. Selama di sini HP-ku disita. Aku tidak bisa menghubungimu.
Mendengar ia bicara membuat bulir bening menetes dari pelupuk mata.
Fe, kamu masih mendengarku, kan? Halo, Fe?
Kubiarkan lengang menyelinap. Aku tak bisa langsung menjawab.
Sungguh aku tidak bermaksud begitu, Fe. Aku lebih mencintaimu.
Kugigit bibir, mengumpulkan energi untuk menguatkan diri. Merangkai kata yang wajib keluar saat ini.
"Kita akhiri saja. Sudah jelas siapa yang menjadi raja dan ratu. Aku tidak akan bermimpi lagi menjadi permaisuri. Aku sudah tahu jawabannya, Romi, sejak kamu memutuskan pergi ke sana.”
Tapi, Fe, aku lebih mencintaimu. Seandainya kita bertemu lebih awal. Seandainya aku tidak telanjur melamarnya. Fe, Fethisa. Dari hati terdalamku, aku ... lebih memilihmu.
Suaranya terisak, aku yakin hatinya juga koyak.
"Cukup, Romi! Bagiku ini sudah cukup! Aku tidak mungkin menjadi perebut calon suami orang. Sejak awal aku yang keliru. Please, Rom, hatiku sudah sakit, jadi jangan tambah lagi sakit itu dengan kamu terus merayuku. Kita akhiri saja."
Suaraku bergetar. Aku sendiri tidak yakin dengan apa yang kuucapkan. Mengakhiri? Apa yang diakhiri, aku dan Romi tidak pernah terikat suatu ikatan. Hubungan kami hanya sebatas suka sama suka tanpa ungkapan langsung.
"Aku akan menutup teleponmu, dan pastikan ini kali terakhir kamu menghubungiku." Tanpa menunggu jawaban Romi, kutekan tombol merah. Menyelesaikan segala kisah.
Kuedarkan pandangan pada sekeliling kamar. Mataku nanar menangkap gambar diri dengan siluet wajah Romi sebagai background. Foto yang sengaja ia edit dan kirimkan lewat email. Foto yang menemaniku setiap malam, saat panggilan suaranya terdengar. Saat kami bercerita banyak dari jam sembilan hingga sebelas, yang selalu kami akhiri dengan suara berat untuk menutup sambungan.
Satu bulan aku bersembunyi di balik rasa cinta. Tidak paham betul dengan siapa aku jatuh cinta. Belum utuh aku mendefinisikannya, belum sempurna aku merasakannya. Mulai hari ini ia berada di palung hati terdalam. Berkejaran dengan angan, lalu lalang menjejakkan luka.
