Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

5. Sebuah Perjalanan

Ikranagara

Seperti menemukan kehangatan keluarga yang lama kurindukan. Setelah hampir dua tahun aku tidak pulang, bercakap dan bercengkerama dengan mereka serasa bersama Mamah, Bapak, juga Dewi.

"Tidak mungkin, 'kan? kamu yang boncengin aku?" Aku mengambil kendali saat Fethisa berusaha mengendarai motor MX milik bapaknya. Fethisa, yang sudah siap, urung. Mengerucutkan bibir, setuju dengan perkataanku.

"Ini perjalanan terseru di hidupku. Aku tidak akan pernah bosan untuk datang ke sini!" Kutinggikan suara, mengalahkan suara motor juga angin yang menderu.

"Perjalanan terseru yang cuma buat ngadu kalau aku bolos kuliah?" tanya Fethisa kesal.

"Aku hanya mengungkapkan fakta. Kamu memang harusnya ada jadwal, ‘kan?" Kubalikkan kata-katanya.

"Berarti tujuanmu ke sini cuma untuk itu? Mengadu dan membuat jelek citraku di mata orang tua?" Fethisa semakin kesal.

"Tujuanku tak hanya itu, Fethisa, kamu tahu sendiri kenapa aku ke sini. Pengakuanku masih sama, dan ternyata aku butuh jawabannya."

Lengang. Tak ada jawaban ketus yang ia diucapkan seperti biasanya. Fethisa membisu hingga motor yang kami naiki terparkir di pemberhentian minibus. Fethisa tak menanggapi pengakuanku lagi.

"Baiklah, aku tidak akan memaksamu. Aku tahu ini minibus terakhir yang akan membawaku ke kabupaten. Kemungkinan besar aku tidak mendapatkan kendaraan untuk kembali ke Purworejo. Akan tetapi, kamu harus tahu, Fethisa, aku ke sini karena aku benar-benar menyukaimu. Aku ingin hadir di kehidupanmu." Kuamati wajahnya yang sedikit basah terkena rintik hujan. "Mungkin bagimu ini gila, tapi aku akan mengusahakan kegilaanku. Ketidakmungkinan yang bagiku pasti mungkin." Kuhela napas panjang. Aku siap dengan dua kali penolakan. Matanya begitu teduh dan kali ini terlihat sendu. Ia masih tak menyuarakan jawabannya.

"Oke Fethisa, aku pergi dulu. Pastikan kamu besok berangkat, karena kamu ada jadwal kuliah. Ingat, sebentar lagi ujian semester. Jangan sampai awal semestermu di kampus sudah tidak mulus." Minibus terakhir semakin memberi kejelasan waktu keberangkatan.

"Aku pamit dulu, nanti kuhubungi jika aku sudah sampai." Kali ini aku tak menghiraukan respons nya.Tepat saat minibus berjalan, kulambaikan tangan. Melihatnya semakin menjauh, mengecil, kemudian menghilang. Hari ini aku tetap tidak mendapat jawaban.

***

Fethisa

Pernahkah kau bermimpi hal yang sama berkali-kali? Pernahkah kau tidak memikirkannya, tapi kejadian-kejadian itu terasa nyata? Kejadian yang sebenarnya tidak ada dalam perjalanan hidupmu, tapi berulang-ulang kau merasa melewatinya.

Tubuhku kaku. Hujan yang tiba-tiba mengguyur membuatku enggan menepi, meski rumahku masih jauh. Aku tidak memikirkan apakah nanti akan flu atau batuk seperti sebelumnya. Yang kutahu adalah hatiku bak tersayat sembilu. Melihatnya merayuku membuatku muak. Aku benar-benar tidak percaya laki-laki lagi. Tidak peduli dengan kata cinta lagi.

"Nduk, kan ada mantel di bagasi. Kenapa malah hujan-hujanan begini?" Bapak terlihat menyayangkan sikapku yang memilih terguyur hujan deras.

"Tadi nanggung, Pak, hujannya pas mau nyampe rumah." Kulangkahkan kaki mengambil handuk di gantungan belakang. Bapak pasti tahu, tidak mungkin aku kehujanan dari jarak sedekat itu. Namun, Bapak selalu memilih mengamati. Beliau sama sekali tidak pernah ingin mencampuri urusan putrinya ini. 

Selesai membersihkan diri, tubuhku terasa dingin. Selimut hangat akan sangat membantuku saat ini. Kurebahkan tubuh di ranjang. Di kamar berornamen kertas emas berbentuk bintang yang kubuat bersama Rara. Aku selalu ingin mengubah suasana kamar sesering mungkin. Karena aku tipe orang yang cepat bosan. Entah kenapa hatiku bertahan pada satu harapan yang sebentar lagi lepas dari genggaman? Membawaku larut dalam mimpi ; merajut benang menjadi bordir indah. Bordir yang saat kupandang hasilnya menunjukkan seberapa keras usaha untuk membuatnya. Namun, dalam membuat bordir itu kadang benang-benang yang dirangkai kusut, menyatu dan sulit terurai. Hingga jalan terbaik adalah membuatnya putus. Memulai dari awal dengan motif berbeda, jauh lebih sempurna.

"Kamu tidak makan, Sa? Dari tadi di kamar mulu?" Ibu menghampiriku.Kuseka pipiku yang basah. Menatap Ibu pasrah.

Ya Allah Gusti kamu menangis? Ibu semakin mendekat, mendekapku erat.

Aku bergeming, bulir bening dari pelupuk mata kian terasa deras alirannya. Kutumpahkan segala rasa tanpa kata. Membenamkan kepala dalam peluknya. Wanita dengan luapan cinta tiada batas.

Mungkin karena melihat kami tak kunjung keluar, Bapak membuka tirai kamar. "Kalau Bapak boleh usul, Bapak lebih suka kamu dekat dengan Ikranagara. Setidaknya dia mau menyambung silaturahmi. Jauh-jauh datang ke rumah. Kalau Romi ... sudah jelas keliru dari awal dia mendekatimu." Kalimat Bapak menggema di langit kamar. Bak menghujaniku dengan peluru. Menambah sesak, menyadarkanku akan kekecewaan, kegagalan, kesalahan mengartikan sebuah hubungan.

"Sudah, tidak usah dipikirkan. Lupakan yang sudah berlalu." Bapak menyandarkan dirinya pada kusen pintu. "Tugasmu sekarang adalah belajar. Jalan kariermu masih panjang. Urusan jodoh kasih saja sama Tuhan.” Bapak menegakkan kembali tubuhnya. "Sekarang makan dulu, ya, ndak enak kalau di meja makan tidak lengkap." Bapak menutup tirai, meninggalkan kami.

"Ibu tunggu lima menit, ya, setelah itu pastikan kamu makan bersama kita." Ibu menyusul Bapak yang sudah menunggu bersama Rara.

Aku menengadahkan kepala. Sebisa mungkin menahan bulir bening ini, agar tak jatuh lagi. Aku telanjur menaruh separuh hatiku pada tempat yang bukan semestinya. Tempat yang sebenarnya sudah ada pemiliknya. Anganku terlalu jauh mengudara. Bermimpi menjadi permaisuri dalam istana raja dan ratunya.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel