4. Kejutan untuk Fethisa
Fethisa
Suara sepeda motor berhenti di depan rumahku. Aku yang mengira bahwa itu Bapak, segera membuka pintu.
"Mbak Tisa, ini ada temannya dari kota. Naksir katanya,ya, Mbak?" Pak Anto, tukang ojek langganan Ibu menerima lembaran rupiah dari penumpangnya. "Monggo, Mbak, saya duluan." Ia membelokkan motornya tanpa menunggu jawaban dariku.
"Nggih, makasih, Pak." Suara penumpang yang memberikan rupiah tadi menggema di telingaku. Suara laki-laki yang berusaha kuhindari.
"Assalamu'alaikum, Fethisa, gimana kabarmu?" Tubuhku bergeming. Tidak percaya dengan sosok lelaki yang kini tepat berada di hadapanku. "Salam wajib dijawab kali. Kamu akan membiarkanku berdiri terus, setelah perjalanan panjang yang pernah kamu ceritakan?" Jarinya menyentil jahil hidungku.
"Eh, wa’alaikumsalam, Ikra." Ikra melewatiku, hingga berada tepat di depan pintu rumah.
Sebentar. Rumah? Rumahku? Berarti ia adalah tamu. Ibu selalu bilang kami wajib memuliakan tamu. Kupersilakan ia masuk dengan tetap membuka pintu. Hari ini aku hanya sendiri. Sembari mencerna apa yang sebenarnya terjadi, aku berbasa-basi. Kubuatkan minum untuknya, teh aroma melati kuletakkan di meja. Hening mengambil alih suasana. Tak ada percakapan seperti biasa. Ikra menjadi tidak cerewet. Lelah terpancar pada rona muka. Pengalaman pertama datang ke desaku jelas membuatnya mabuk. Tidak mungkin ia baik-baik saja. Kuamati tubuh kurus itu, mencari maksud kedatangannya.
Di luar, terlihat Bapak bergegas masuk. "Assalamu'alaikum."
“Wa'alaikumsalam." Kami kompak menjawabnya.
Ikra berdiri, menyapa dengan mencium punggung tangan Bapak. "Perkenalkan, saya Ikranagara, Pak, teman kampus Fethisa. Kebetulan saya sedang jalan-jalan ke Dieng. Sekalian mampir."
"Jalan-jalan kok sendiri? Ke Dieng pula. Ah paling sampean sengaja mau samperin Fethisa, to?" Bapak menimpali jawaban Ikra dengan senyum jahil. Seolah mengerti apa maksud sebenarnya pemuda di hadapannya.
Aku menyelinap ke belakang, mengambilkan minum untuk Bapak. Membiarkan Ikra bertemu tuan rumah sebenarnya. Gayanya begitu luwes, tak canggung sama sekali. Ia seperti terlatih untuk bicara. Apa saja keluar dari mulutnya, dan Bapak begitu asik menanggapi. Mereka macam sedang bertemu teman lama saja. Aku hanya menyimak dengan sesekali menimpali.
Menjelang waktu Zuhur, Rara dan Ibu pulang. Ibu sama ramahnya seperti Bapak. Menyambut baik kedatangan Ikra. Sudah kubilang, bagi kami tamu wajib dimuliakan. Apalagi ini tamu jauh, setelah menempuh perjalanan kurang lebih lima jam dengan kendaraan umum yang jauh dari kata nyaman. Rumah terasa lebih ramai. Ikra pandai membuat asik suasana. Obrolannya dengan Ibu tak kalah seru, pun caranya bercerita dengan Rara.
"Setelah salat kita makan dulu, ya, Ibu sudah menyiapkan hidangan." Ibu mengintruksikan padaku untuk mengarahkan Ikra. Membimbingnya ke tempat wudu kemudian mengarahkan menuju mushola kecil di rumah kami.
"Jadi ngrepotin ini, Bu, saya nggak enak." Ikra menggaruk kepalanya, terlihat sungkan.
"Tidak apa-apa, Nak. Kami sudah biasa menerima tamu. Kehormatan bagi kami, saat ada yang singgah di sini." Ibu menambahkan satu kursi yang diambil dari dapur.
"Terima kasih, Pak, Bu, atas sambutannya. Mohon maaf jika kedatangan saya menganggu waktu keluarga ini." Ikra menerima piring yang diberikan Ibu. Sekali lagi ia pandai berbasa basi.
"Tidak, Nak Ikra, kami malah senang ada teman Fethisa yang jauh main ke rumah. Jangan sungkan dan jangan kapok untuk datang kembali. Terima kasih juga untuk laporannya, kalau ternyata Fethisa ada jadwal kuliah, tapi malah pulang." Kalimat terakhir Bapak menggema di ruang makan.
Jadi ketika tadi mereka ngobrol, itu yang dibicarakan? Itu yang dibahas? Menyebalkan.
"Pak, boleh ndak Fethisa antar teman Fethisa sampai kecamatan, pinjam motor Bapak?" Aku menyergap kalimat Bapak. Aku harus berhasil bicara dengan lelaki menyebalkan ini.
"Ya sudah, ndak apa-apa. Daripada Ikra ngojek belum tentu ada, sudah sore. Kuncinya di atas TV, ya." Bapak menunjukkan letak kunci motor satu-satunya di rumah kami.
"Ayo, Nak Ikra, dimakan hidangannya."
"Ya, Pak, terima kasih." Ikra menikmati masakan sederhana Ibu. Tempe kemul, telur dadar ditambah sayur pare yang aku sendiri tidak begitu suka.
***
