3. Nekat
Ikranagara
Entah apa yang merasuki tubuhku saat ini. Setelah mendengar penjelasan dari Fanni, memastikan denah yang dia berikan tidak keliru, aku memutuskan pergi menyusul tambatan hatiku. Sebuah ide gila yang butuh usaha gila untuk mewujudkannya. Ini perjalanan terparah yang tidak pernah terprogramkan sebelumnya. Dataran tinggi Dieng, aku biasa mendengar ceritanya dari beberapa teman seangkatan yang memang asli sana. Destinasi wisata yang memikat banyak mata. Termasuk teman-temanku itu, sekadar ingin melepas penat setelah ujian. Mencari ketenangan dan kesejukan lewat suguhan alam.
Motor king butut kesayanganku terparkir di sebuah tempat penitipan. Kulangkahkan kaki menuju minibus yang membuatku langsung mengaduh. Bau solar dari asap knalpotnya, juga bau bauan yang sempurna membuat perut teraduk. Beda sekali dengan bus yang biasa kutumpangi untuk pulang kampung. Aku terpaksa menunggu di luar dengan sesekali meludah. Mengeluarkan rasa tidak nyaman pada kerongkongan.
Nomornya belum bisa dihubungi. Pesan-pesanku juga belum mendapat balasan. Sudah kupastikan untuk memberitahunya bahwa aku akan menyambanginya. Mencari tempat ia tinggal dengan bekal seadanya. Pukul 08.00 WIB, tepat dua jam aku menunggu. Minibus ini tak kunjung berpindah barang sejengkal. Penumpang yang sudah penuh pepak, sesekali mengumpat, menyumpahi minibus yang lama.
"Sapuran! Sapuran! Wonosobo ... naik-naik!" Suara kondektur membuat riuh penumpang. Waktunya minibus jalan.
Aku duduk di bangku sebelah jendela sembari melihat rute jalan yang akan kulewati. Fethisa, kenapa kamu tidak menghubungiku? Fethisa, aku tidak tahu apa yang kamu pikirkan? Aku sibuk dengan pikiranku sendiri. Hingga otakku memerintah untuk memejamkan mata. Gelap, aku terlelap.
ɧ
Setelah melewati beberapa pemberhentian juga pergantian angkutan umum, aku berhasil menemukan kota kecamatan yang dituliskan Fanni. Satu jalan lagi harus kulalui. Naik ojek. Ini hal paling risi terisih dalam hidupku. Aku tidak pernah mau duduk di jok belakang motor. Prinsipku berada di depan, memegang kendali, jauh lebih keren.
"Ojek, Mas? Bantar, Sikenong, Suwidak?" Salah satu tukang ojek mendekatiku. Mengerti sekali aku kebingungan harus ke arah mana.
"Bapak Muhammad, Desa Bantar RT empat, Pak? Bapak paham?" Aku bertanya dengan logat khasku. Jelas sekali aku berasal dari kota.
"Siapa, Mas? Pak Muhammad banyak, Mas!" Suaranya seperti sedang berbicara untuk orang di belakangku. Nada bicaranya juga tinggi seolah membentakku.
"Fethisa, Pak, bapaknya Fethisa Lusiana." Aku meluruskan maksud pertanyaanku yang ambigu.
"Oh Mbak Tisa? Ya, ya, ya saya ngerti." Tukang ojek tadi berkata mantap, lalu mengambil motor, memintaku untuk menumpang.
Tak ada helm sebagai standar aman mengemudi. Bapak ini menggunakan jaket kulit ditambah aksesoris sarung melingkar dibahunya. Udara di sini memang terasa dingin, mungkin itu untuk menghangatkan tubuhnya. Aku kembali memikirkan diriku yang sepertinya sudah mulai gila dengan keputusanku hari ini. Kuabadikan momen langka ini dengan ponselku. Nanti saat kami sudah resmi, bisa jadi memori indah yang merangkum setiap kisah. Kilometer perjalanan panjangku bersama Fethisa, gadis bermata sendu. Manis sekali kedengarannya.
"Mas, sampean waras, to? Kok, ngguya ngguyu dewe? (Mas, kamu nggak gila, kan? Kok ketawa sendiri?)" Tukang ojek memerhatikan tingkahku dari sepion.
"Saya waras, Pak. Doain perjalanan saya lancar ya, Pak." Aku menepuk pelan bahunya.
"Mau ngapain, Mas? Nggak ngelamar Mbak Tisa, kan?”
"Doain, Pak, bisa sampai ngelamar. Sebelum ngelamar kenalan dulu to, Pak, sama calon mertua." Aku memamerkan gigi putihku.
"Welah. Sampean naksir sama Mbak Tisa? Wah ... Pak Muhammad bentar lagi ndue gawe, nih. (Pak Muhamad sebentar lagi punya hajat.)” Pak Anto masih saja berceloteh di atas kemudinya.
"Aamiin." Kuangkat kedua tangan, mengusapkannya pada wajah. Berharap Sang Pemilik segala doa mengabulkan.
