2. Pulang
Fethisa
Terminal Wonosobo
Ini kendaraan ketiga yang berhasil membawaku. Dua jam perjalanan tidak terasa. Aku sempurna nyenyak dalam tidur. Berangkat pagi memberi keuntungan banyak untukku. Tidak perlu mabuk perjalanan. Setelah ini aku harus menaiki bus besar untuk mencapai terminal di kabupaten. Empat puluh lima menit lagi sampai di kota dengan sebutan Dawet Ayu. Beruntung, laju bus kali ini sama kencangnya dengan minibus tadi. Mereka seolah buru-buru sepertiku, yang ingin cepat sampai di kamar. Dari terminal Banjarnegara, masih ada satu perjalanan lagi yang harus kutempuh. Kembali dengan minibus dengan rute kelok yang ampuh membuat banyak orang mabuk. Biasanya aku akan memilih tempat duduk paling depan. Namun, kali ini aku memilih di bangku paling belakang. Entah. Aku tak mengerti pasti perasaan apa ini. Akhir-akhir ini hatiku kacau. Tidak bisa fokus. Terlebih setelah orang yang baru aku kenal selama tiga bulan membuat pengakuan.
Kuputar playlist favoritku. Membiarkan lagu salah satu boy band asal korea selatan mengentak keras. Memberi energi positif yang menjalar ke seluruh badan. Meyakinkanku bahwa aku masih hidup, di kehidupan yang belum tentu sesuai keinginan. Aku tetap hidup, di kehidupan yang aku sendiri enggan, dan masih harus bertahan sampai beberapa tahun ke depan.
***
I’m still alive
I’m still alive
I’m still alive
I’m living that
I’m living that good live
I’m still alive
I’m still alive
I’m still alive
We living that
We living that good live
(Still Alive-Big Bang)
***
Pagi di Rumah
Embun di desaku terasa sejuk sekali. Tanpa perlu mencari tempat sepi hatiku akan tenang. Segala permasalahan hidup yang dialami akan mudah cair dengan indahnya pesona alam di sini. Negeri di atas awan, mereka sering menyebutnya demikian. Sebuah kota kecamatan yang berada sejalur dengan kaki dataran tinggi Dieng.
"Lain kali wajib kasih kabar, Nduk, ndak boleh kamu pulang tiba-tiba begini." Ibu membuatkan menu favoritku, menyajikan dengan segelas kopi hitam pekat.
"Tidak ada yang lebih enak selain tempe kemul buatan Ibu," pujiku dengan mulut penuh tempe panas.
Bapak yang sedang menikmati siaran televisi berkata, "Adaptasi itu memang susah, Nak, tapi kamu harus terbiasa. Karena di sana kamu kuliah. Bukan dolan ora genah. (Bukan main tidak jelas)” Seolah bisa membaca pikiranku, Bapak sempurna menebak gelagat putri pertamanya. "Masalah itu untuk diselesaikan, bukan dihindari kemudian bikin frustrasi. Ending-nya kamu merusak dirimu sendiri. Kamu sudah memilih, jadi kamu harus yakin dengan pilihanmu itu." Bapak menenggak habis kopi hitam di cangkirnya.
“Nggih, Pak. (Ya Pak) Aku menunduk lesu. Enggan menanggapi kalimat Bapak yang mengusikku. Semalam Bapak sudah membuka obrolan kenapa aku pulang dadakan. Namun, aku lebih memilih menghindar.
"Yo, wes, Bapak berangkat dulu, ya." Bapak menyodorkan punggung tangannya pada kami berdua.
"Ibu ndak berangkat?" tanyaku saat melihat Ibu belum siap.
"Nanti ada rapat di sekolah lain, jadi Ibu berangkat agak siang." Ibu menerima gelas kotor yang kuserahkan.
"Oh, naik ojek, Bu?"
"Baru tiga bulan ndak di rumah, sudah lupa berapa jumlah motor kita?" Ibu melangkahkan kaki menuju tempat cuci piring.
Aku tersenyum sendiri, sadar akan bagaimana sebenarnya kondisi keluarga. Kuaktifkan ponsel yang sejak kemarin sengaja kubuat dalam mode pesawat. Ponsel biru buatan negeri tirai bambu yang sudah sering lowbat. Muncul penanda waktu yang membuat merekah senyumku. 22 Desember 2012. Aku kembali ke dapur mencari wanita kesayanganku. Hari ini banyak yang menganggapnya sebagai hari ibu, meskipun menyayangi ibu kita tak cukup hari ini saja.
"Terima kasih Ibu, sudah menjadi ibuku. Aku sayangsayang Ibu." Kupeluk tubuh wanita berambut panjang nan legam dari belakang. Mendekapnya menghadirkan kelegaan rasa di dada. "Buk, jangan capek jadi ibuku, ya, pokoknya aku sayang banget sama Ibu."
Ibu yang sedang membilas piring kotor menghentikan aktivitasnya. Berbalik, kemudian menggenggam erat tanganku, "Ya, Nduk. Ibu juga sayang kamu." Nada bicaranya terdengar mirip denganku.
"Mbak Isa ngapain, sih, itu kan ibu Rara," ujar Rara setelah selesai mandi. Melihat kami berpelukan pasti membuatnya juga ingin ikutan. Dia berusaha menyingkirkanku, lalu memeluk Ibu.
"Hey, apaan ini? Mbak Tisa duluan, ‘kan? Aku mengacak rambut bobnya, gantian mendorong tubuhnya yang bongsor. "Hari ini Ibu punya Mbak Tisa." Kulepas tawaku dibarengi dengan tawa Rara juga Ibu.
Berkumpul bersama keluarga adalah obat segala duka. Ada beberapa orang yang bahkan tidak bisa jauh sebentar saja dari bagian terpenting dalam hidupnya. Ingat sekali awal mengantarku ke Purworejo, Ibu menangis sesenggukan. Tidak berhenti mengingatkanku untuk menghubunginya, sesibuk apa pun itu. Ibu juga memintaku untuk sering pulang.
***
“Pokoknya kalau ada kuliah yang kosong, kok, sempat pulang, pulang ya, Nduk. Nggak usah mikir ongkos, nanti Ibuk ganti. Ibu menaruh lipatan terakhir bajuku di lemari. "Kamarnya sempit dan harus berbagi dengan temanmu. Ndak masalah ya, Nduk. Besok kalau Bapak ada rejeki lebih, kamu boleh minta pindah kost.”
"Iya, Buk." Aku mengunci pintu lemari baruku. Kudekatkan tubuhku pada Ibu, bersebelahan duduk di dipan. "Buk, Ibuk ndak usah khawatir. Tisa bisa kok jaga diri. Tisa udah gede, udah bisa mandiri. Salah satu jalannya ya dengan begini, Buk." Aku meraih tangan Ibu. Berharap bisa membuat Ibu lebih tenang.
"Sebenarnya Ibu lebih senang kamu di Purwokerto, lebih dekat dari rumah. Kalau mau pulang juga gampang, tapi ya sudahlah. Kamu punya pertimbangan sendiri kenapa memilih di sini. Ibu nggak bisa maksa." Ibu menyeka sedikit air matanya yang keluar.
"Bismillah, Tisa akan bertanggung jawab dengan pilihan Tisa, Buk. Doakan Tisa bisa fokus kuliah dan cepat selesai. Nanti kalau sudah jadi sarjana bisa ngajar dekat sekolah Ibuk, to? Di Madrasah Aliyah?" Aku mengingatkan janji besar kami.
“Ya, Ibuk percaya. Pokoknya hati-hati, ya, Nduk. Ibuk cuma bisa doa yang terbaik aja buat kamu." Ibu terlihat masih sangat berat melepasku. Terlebih ini kali pertama kami berjauhan.
"Mbak Tini, ayo siap-siap. Nanti kemalaman pulangnya. Bu Lasmi, atasan Ibu di kantor menghentikan obrolan kami. Anaknya adalah kakak tingkatku di SMA. Beliau berbaik hati memberi kami tumpangan sampai Purworejo, saat tahu aku juga kuliah di universitas yang sama. Beliau langsung menawarkan pada Ibu. Anaknya juga yang mencarikanku kost ini.
“Ya, Bu.” Ibu berdiri, mengajakku keluar kamar. Mobil sedan milik Bu Lasmi kembali mengantar Ibu pulang.
***
Banyak yang bilang bahagia dan sedih itu hanya sedikit sekali selisihnya. Kadang tidak sampai sekian detik. Bahkan Ibuku sendiri juga sering bilang Jangan terlalu mengumbar gelak tawa, takutnya nanti kamu dirundung duka. Ucapan itu terbukti hari ini. Bahagiaku tak bertahan lama, saat aku mulai meraba kembali perasaan-perasaan. Saat aku memberinya ruang untuk hadir sejenak.
Rara beranjak pergi dengan seragam merah putihnya. Ibu kembali menyelesaikan tugas domestiknya. Sedang aku, memainkan ponsel yang tadi sempat kuletakkan sembarangan. Banyak pesan masuk dari satu nama pengirim, Ikranagara. Lelaki yang akhir-akhir ini mengusik ruang heningku. Lelaki yang secara terang-terangan ingin melihat lebih dalam ruang rahasia itu. Ia seenak sendiri menerobos masuk tanpa terlebih dahulu permisi. Netraku menangkap pesan yang berbeda. Sebuah pesan yang harus kubaca berulang-ulang. Aku mendekatkannya, menatap tulisan pada layar.
Ikra : Aku dalam perjalanan menuju rumahmu
Lelucon macam apa ini? Tidak mungkin ia bisa sampai di sini. Aku tidak pernah menceritakan detail alamat rumahku. Bagaimana ia bisa tahu? Menyebalkan sekali. Aku tetap tak tertarik membalas pesannya. Hingga sambungan suara di udara memperjelas semua. Tubuhku kaku, demi mendengar penjelasannya. Ia sudah setengah perjalanan menuju rumah.
