Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Jalan-Jalan Bersama Sheryl

Saat itu pesawat telah mendarat dengan sempurna di bandara Rainy City. Begitu keluar dari bandara, Sean langsung memberhentikan taksi lalu meluncur menuju kediaman bibinya. Selain ponsel dan kartu ATM yang diberikan Tuan Jensen, tidak ada barang lain yang dia bawa saat itu 

Setelah 35 menit berlalu dalam perjalanan, Sean pun tiba di sebuah rumah yang terletak di pemukiman warga biasa. Dia berjalan kearah sebuah rumah yang tidak terlalu besar, setelah mengetuk pintunya beberapa kali.

"Kak Sean?" Seorang gadis berusia enam atau tujuh belasan tahun membukakan pintu dan bertanya.

"Sheryl…" Sean mengangguk.

Setelah mengetahui bahwa yang berdiri di depan pintunya Sean, Sherly dengan cepat menghambur ke pelukannya.

Sheryl telah bersama Sean selama hidupnya, hanya berpisah setelah Sean kuliah di Mountain University. Bahkan sejak kecil pemuda itu yang selalu berada di samping dan menjaganya. Karena itu, Sherly begitu dekat dan bahkan menganggap Sean sebagai kakak kandungnya sendiri.

"Sheryl, dimana bibi?" tanya Sean setelah beberapa saat.

"Ibu ada di dalam, ayo masuk, Kak!" jawab Sheryl seraya melepaskan pelukannya.

Ketika Sean dan Sheryl masuk kedalam rumah, tepat ketika itu seorang perempuan berusia empat puluhan tahunan baru saja keluar dari dapur dengan sebuah panci di tangan.

"Sean! Kapan kamu datang?" Perempuan itu dengan segera menyapa dan bertanya.

"Saya baru saja tiba, Bibi Diana," jawab Sean seraya berjalan ke arah wanita itu. Benar, dia adalah Diana, bibi yang sudah dianggap ibu oleh Sean.

"Kamu duduk saja! Kebetulan Bibi baru selesai masak. Setelah menempuh perjalanan jauh, kamu pasti lapar bukan?" 

Diana dengan segera menyuruh Sean duduk didepan meja makan, kemudian ia menata makanan diatas meja. Tidak ada yang spesial dalam menu makanan itu, hanya makanan rumah biasa saja. Menu makanan itu pula yang telah membuat Sean tumbuh seperti saat ini.

Bersama bibi dan Sheryl, Sean pun makan dengan lahap masakan yang dibuat Bibi Diana itu. Dia memang telah lapar, apalagi sejak tiga tahun yang lalu dia tidak pernah lagi mencicipi makanan bibinya itu. Karena itu, hanya tempo sebentar, sebagian besar makanan itu telah berada di perutnya.

Setelah selasai makan, ketiganya kemudian mengobrol di ruang keluarga. Kesedihan masih kental terasa dalam setiap obrolan mereka, apalagi ketika menyinggung masalah meninggalnya suami Diana, pamannya Sean.

"Bibi Diana tenang saja, saya telah memiliki pekerjaan di Mountain City. Meski sebagai pekerja paruh waktu, tapi gajinya lumayan. Karena itu mulai sekarang saya yang akan memenuhi kebutuhan sehari-hari rumah ini dan membayar biaya sekolahnya Sheryl," kata Sean setelah mereka cukup lama berbincang dan kemudian menyinggung masalah kebutuhan sehari-hari.

Sean terpaksa berbohong dengan mengatakan hal seperti itu, dia merasa tidak mungkin mengatakan saat itu dirinya memiliki banyak uang. Baik itu uang yang dia terima dari system maupun yang di terima dari Tuan Jensen. 

Dia pun berkata seperti itu ketika Bibi Diana menyatakan dirinya akan bekerja apapun demi menghidupi keluarga, bahkan jika dengan menjadi buruh cuci untuk tetangganya.

Memang tidak ada yang salah dengan pekerjaan itu, namun Sean tentu tidak akan tega mengetahui bibinya harus bekerja. Bahkan jika pun saat itu dia masih Sean seperti tiga hari yang lalu dimana rekeningnya hanya ada sepuluh dolar, dia pasti yang akan menggantikan tanggung jawab sebagai kepala keluarga, bukan bibi Diana. Bukankah dia juga pernah berpikir untuk berhenti kuliah demi kekuarga itu?

"Benarkah? Kak Sean bekerja dimana di Mountain City? Kalau aku nanti kuliah, aku juga ingin kuliah di kampusnya Kak Sean, biar bisa sambil bekerja juga," kata Sheryl dengan penuh antusias.

"Kak Sean bekerja paruh waktu di sebuah hotel bintang delapan. Kalau kamu ingin kuliah di Mountain University, kamu harus banyak belajar," ucap Sean seraya membelai puncak kepala Sheryl yang duduk di sampingnya.

"Kamu tidak perlu memikirkan kebutuhan keluarga, Sean. Urusan kebutuhan keluarga biarkan Bibi yang menanggungnya, kamu harus memusatkan perhatian pada belajarmu. Jika ada uang, tabungkan sebagian dan gunakan untuk kebutuhan kamu sendiri," kata Diana.

Sean mengerti akan maksud bibinya, tampaknya bibinya itu tidak mempercayai dirinya sudah bekerja dan memiliki gaji yang cukup lumayan, apalagi akan mampu memenuhi kebutuhan keluarga serta membiayai sekolah Sheryl. Sean sadar, bahkan sejak di pesawat orang-orang tidak mempercayai dirinya merupakan penumpang penerbangan kelas bisnis ketika melihat pakaiannya.

Sean merasa tidak berdaya, namun dia juga tetap tidak bisa mengatakan dirinya memiliki banyak uang. Jika dia berkata dengan jujur bahwa rekeningnya telah di isi dengan 16 deretan angka serta memiliki ATM berisi lima milyar, bukankah hal itu malah akan memicu permasalahan yang lain? Lagi pula, apakah bibi Diana akan memahami sebuah system yang dia sendiri juga belum memahaminya sedikipun? Sean memilih diam, dia tidak tahu harus menjelaskannya dengan cara apapun.

"Sudahlah, kalian pusatkan saja perhatian pada belajar, biarkan aku yang memikirkan masalah kebutuhan keluarga," ucap bibi Diana.

Saat itu akhirnya malam menjelang di Rainy City. Tepat ketika itu, Sean mengajak Sherly untuk menemaninya jalan-jalan.

"Sheryl, Kak Sean sudah lebih dari tiga tahun meninggalkan kota ini, maukah kamu menemani Kak Sean jalan-jalan?"

"Kak Sean mau jalan-jalan kemana?" tanya Sheryl setelah mengangguk.

"Kak Sean lupa tidak membawa pakaian ganti, bagaimana kalau kita ke pusat perbelanjaan?" kata Sean.

Setelah sepakat, Sean dan Sheryl keluar dari rumah. Jika saja saat itu mereka berdua tahu, bahwa sebuah tatapan mengikuti langkah mereka dengan mata berkabut, mungkin mereka tidak akan pergi begitu saja. Tatapan itu tentu saja milik bibi Diana, meski di hadapan Sean dan Sheryl tampak tegar, namun sebenarnya hati bibi Diana masih diliputi ketidak berdayaan. Dia tidak tahu, apakah akan mampu memenuhi kebutuhan keluarga dan membiayai sekolahnya Sheryl atau tidak. Tenaganya sudah mulai terbatas, namun hanya bekerja kasar saja yang dapat dia lakukan. Tidak ada kemampuan lainnya!

Sementara itu, Sean dan Sheryl telah sampai di salah satu tempat bisnis di Rainy City. Meski bukan pusat bisnis utama, namun di sana ada puluhan toko dan pusat perbelanjaan, bahkan ada pula beberapa tempat hiburan seperti KTV.

Sean dan Sheryl berjalan berdampingan, sepanjang jalan mereka juga terus saling berbincang, saat itu Sean juga akhirnya ingat bahwa dalam beberapa hari lagi Sheryl akan ulang tahun ketujuh belas.

Ketika mereka berjalan melewati sebuah konter HP, Sean ingat bahwa ponselnya telah terlihat sangat buruk dan tertinggal zaman, karena itu dia mengajak Sheryl untuk masuk singgah dan membeli ponsel.

"Kamu Sean bukan?" Begitu Sean masuk, seorang pelayan dengan segera menyapanya.

"Nova..?" Sean mengangguk.

"Benar, lama tidak bertemu, Sean. Aku dengar setelah lulus sekolah kamu melanjutkan kuliah di Mountain City dan tidak pernah kembali lagi," kata Nova. Dia adalah salah satu teman sekelas Sean ketika  sekolah di tingkat atas.

"Benar!" Sean mengangguk, "Setelah lebih dari tiga tahun, ini adalah kali pertama aku pulang ke Rainy City."

"Kalau begitu selamat datang kembali di Rainy City. Lalu apa yang bisa aku bantu?" tanya Nova.

"Aku dan adikku ingin membeli ponsel, apakah kamu bisa memberiku informasi ponsel yang bagus dan cocok untuk kami berdua?" kata Sean.

Mendengar hal itu, Nova tampak melihat Sean dan Sheryl, setelah itu dia mengambil dua ponsel dan meletakkannya diatas tempat pajang.

Sean mengernyit melihat dua ponsel itu, "Nova, apakah kamu tidak salah? Bukankah dua ponsel itu keluaran lama?"

"Memang benar, ini adalah ponsel keluaran lama. Aku rasa dua ponsel ini yang paling cocok untuk kamu dan adikmu," jawab Nova.

Sebagai teman sekelasnya di sekolah, Nova tentu tahu bagaimana kehidupan Sean. Karena itu, dengan tanpa ragu dia memberikan dua ponsel keluaran lama tersebut.

"Nova, kamu jangan bercanda. Aku ingin ponsel keluaran terbaru," Sean menggeleng.

"Aku tidak bercanda, atau apakah kamu tidak memiliki cermin di rumah?" Nova berkata dengan ketus.

Dia mulai memperlihatkan sikap aslinya, sejak dulu Sean tahu sikap Nova memang selalu seperti itu. Dia juga salah satu teman yang selalu menghinanya ketika sekolah. Pada awalnya, Sean mengira Nova telah berubah, namun nyatanya sikap Nova masih seperti dulu.

"Aku ingin membeli ponsel keluaran terbaru, apakah kamu punya?" Sean kembali melemparkan pertanyaannya seraya menatap beberapa ponsel yang di pajang.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel