3. Selalu Kasar
Rendy membawa Sonya masuk ke dalam mobilnya. Pria itu tidak pernah bersikap halus ketika mengajak bicara. Tentang hal itu, Sonya tidak kaget. Setidaknya hal itu memang makanannya setiap hari. Ketika sudah duduk di jok, dengan cepat Rendy maju lalu memakaikan sabuk pengaman. Posisi yang begitu dekat dan Sonya bisa menghidup aroma rambut lebat itu, membuat jantungnya mendadak berdegup lebih cepat.
“Apa maunya pria ini?” batin Sonya.
Selesai memasang sabuk, Rendy kembali duduk di jok kemudi. Wajah dia terlihat pias, sedikit pun tidak ada senyum.
“Mau dibawa ke mana aku?” tanya Sonya.
“Nggak usah banyak tanya.”
“Tapi bagaimana dengan toko? Aku masih banyak pekerjaan, Rend.”
“Aku juga masih banyak kerjaan.”
“Lalu kenapa kamu datang menemuiku?”
“Sudah aku bilang, kamu nggak usah banyak tanya!”
Suara itu meninggi membuat Sonya menelan ludah seketika. Sonya kemudian menggerakkan
pandangan kea rah lain karena tidak sanggup dengan tatapan tajam itu.
Mau sampai kapan aku begini? Dia bahkan tidak bisa bicara lembut padaku. Pa, apa aku bisa bertahan?
Mobil melaju dan selama di dalam perjalanan sama sekali tidak ada obrolan. Sonya sudah merengut karena kesal. Hampir satu mingguan ini memang Rendy lebih banyak mengganggu Sonya tanpa alasan yang jelas. Sejak dua tahun menikah, Rendy memang tidak pernah menyentuh Sonya, tapi mengganggu dan mengajak bicara, hal itu sering dilakukan.
Mobil berhenti di sebuah gedung perkantoran. Di luar sana banyak sekali orang berhalu lalang masuk ke dalam gedung.
“Kenapa membawaku ke sini?”
Rendy berdehem. “Temani aku sarapan.”
“A-apa?” Sonya ternganga. “Kamu ngomong apa?”
Rendy berdecak lalu menoleh dengan mata membara. “Apa kamu tuli?”
Sonya menelan ludah lagi kemudian menarik diri, sementara Rendy sudah turun dari mobil. Masih dalam posisi duduk, Sonya termenung dan melihat sosok gagah yang baru saja menutup pintu mobil.
“Apa aku tidak salah dengar? Dia mengajakku ke sini hanya untuk menemaninya sarapan?”
“Hei!” seru Rendy dari luar seraya mengetuk kaca jendela dengan keras. “Cepat ke luar atau aku seret kamu!”
“Ya, ya, sebentar!”
Sonya menarik roknya yang tersingkap lalu membuka pintu mobil. Setelah itu, dia turun dengan mata menyipit menahan sinar matahari yang menyilaukan.
“Cepatlah! Aku kelaparan!” decak Rendy.
Sonya bergegas menyusul langkah Rendy yang lebar. Masuk ke ruang utama, hampir semua karyawan menoleh ke arah Sonya. Tatapan mereka terlihat aneh, membuat Sonya merasa merinding. Wajah yang sudah cemberut karena Rendy, kini ada sedikit senyum tipis penuh keterpaksaan.
“Kenapa mereka menatapku begitu? Apa mereka tidak pernah melihat orang cantik?” gumam Sonya.
Ini pertama kalinya Sonya datang ke gedung perusahaan milik Rendy. Biasanya Rendy tidak pernah ingin mengajak bahkan memberi tahu tempat kerjaannya pun tidak. Sonya juga mengetahui gedung ini milik Rendy karena papa yang memberitahunya kala itu.
“Apa itu istri Pak Rendy?” bisik salah satu dari mereka.
“Kayaknya sih begitu.”
“Aku pernah melihat fotonya ada di ruang Pak Rendy.”
“Bukankah Pak Rendy masih bersama Nona Bunga?”
“Wanita itu bukan siap-siapa.”
Gunjingan itu terus berlangsung sampai Rendy dan Sonya tidak terlihat lagi. mereka berdua sudah sampai di sebuah ruang kerja yang luas. Ini pertama kali Sonya masuk ke ruangan ini. Apa yang ada di dalam tampak rapi dan tersusun sesuai aturan.
“Lepas rambutmu!” ucap Rendy tiba-tiba.
“Eh!”
Tangan panjang itu berhasil menarik rambut
Sonya yang tergulung tinggi hingga jatuh tergerai. Sonya yang terkejut langsung menangkap rambutnya dan menggenggamnya. Namun, ketika hendak menggulungnya lagi, ikat rambutnya sudah berada dalam genggaman Rendy.
“Kemarikan ikat rambutku. Aku tidak tahan rambut tergerai.”
Rendy menyembunyikan ikat rambut itu di balik badannya. “Apa kamu sengaja?”
Kening Sonya berkerut. “Sengaja apa maksud kamu?”
“Nggak usah banyak tanya, kamu cukup gerai rambutmu. Atau mungkin bisa pakai japit rambut.”
Sonya semakin tidak mengerti maksud Rendy. Dan pada akhirnya Sonya membiarkan rambut panjangnya itu tergerai.
“Kalau begitu, apa yang harus aku lakukan sekarang?” tanya Sonya acuh.
Rendy menoleh ke arah meja kerja, kemudian duduk di sofa. “Ambilkan bekalku di sana.”
Sonya menarik napas lalu melenggak ke arah meja coklat itu. Dia mengambil kotak bekal dan membawanya pada Rendy.
“Ini!”
Mata Rendy membulat sempurna. “Seperti inikah sikap kamu pada suamimu?”
Sonya mengatupkan bibir rapat-rapat lalu menunduk, lantas meletakkan bekal itu dengan pelan di atas meja. Dia membuka kotak nasi itu sementara Rendy tiba-tiba berdiri. Pria tinggi tegap itu mengambil laptopnya lalu duduk kembali.
“Haruskah aku menyuapi kamu?” tanya Sonya. “Hm.”
Sonya menelan ludah. Sikap sang suami hari ini sangat aneh. Dia yang biasanya acuh, tiba-tiba datang mengganggunya dan meminta datang ke sini hanya untuk minta ditemani sarapan dan disuapi. Sonya ingat, minggu lalu, Rendy tidak banyak marah-marah lagi, tapi sikapnya tetap acuh dan susah diajak bicara.
Pasti ada sesuatu dari sikapnya yang aneh.
Sonya menyendok nasi dan secuil ayam bakar lalu menggulirkan ke arah Rendy. “Buka mulut kamu.”
Rendy membuka mulutnya, sementara dua matanya sudah focus menatap laptopnya yang menyala. Suap demi suap masuk ke dalam mulut Rendy tanpa hambatan. Tidak ada obrolan, tapi diam-diam Sonya tersenyum melihat wajah Rendy. Pria itu sanga lahap dengan makanannya.
Cklek!
Pintu terbuka begitu saja dan muncul seorang Wanita cantik mengenakan kemeja putih dan rok span hitam tinggi selutut.
“Oh, maaf,” ucapnya saat itu juga.
Sonya yang sudah mengulurkan suapan terakhir, ia Tarik kembali dan menjatuhkan di atas kotak bekal, sementara Rendy menoleh dan menatap pada Wanita itu dengan tajam.
“Ketuk pintu dulu sebelum masuk!”
“I-ya, Pak, maaf. Aku hanya mengantar beberapa berkas yang harus bapak tanda tangani.”
Rendy membuang mata jengah. “Letakkan saja di mejaku.”
“Baik, Pak.”
Wanita itu pergi setelah meletakkan lembaran berkas itu.
“Apa seperti itu sikap kamu pada karyawan?” tanya Sonya.
“Kenapa?”
“Kamu kan bisa bicara dengan lembut.”
“Apa menurut kamu perkataanku tidak lembut?”
“Memang.” Sonya membuang muka.
“Habiskan makananmu dan aku akan kembali ke tokoku.”
Kotak makan itu sudah tergeletak di atas meja, dan Sonya juga sudah berdiri. Rendy yang tidak suka dilawan sudah mendongak.
“Apa aku sudah menyuruhmu pergi?”
“Kamu tahu kan kalau aku masih banyak kerjaan?”
Rendy berdiri lalu menarik rambut Sonya yang panjang, hingga kepala Sonya miring. “Apa kamu mau membantahku?”
“Bukan begitu … aku—”
“Aku apa!” tarikan itu semakin kuat dan wajah Sonya tertarik ke depan. “Aku tidak suka dibantah,” bisik Rendy.
Sonya menelan ludah dan meringis menahan sakit pada kepalanya. Ya, seperti inilah sikap Rendy ketika pernikahan ini terjadi. Sejak malam pertama mengerikan itu, tidak sedikit pun Sonya mendapatkan perlakuan manis dari sang suami.
“Hai, Rend!” seorang Wanita lain masuk. “Oh!” ceplosnya kemudian.
Rendy dengan cepat melepas cengkeraman pada rambut Sonya, sementara Sonya mencoba bersikap tenang seraya merapikan rambutnya.
“Aku permisi.” Sonya menunduk lalu ke luar meninggalkan ruangan itu. Wajah sendu itu sudah berkaca-kaca dan akan banjir kapan saja.
“Ngapain kamu ke sini?” tanya Rendy.
“Tentu saja aku merindukan kamu.” Lita merangkul lengan dan bergelayut manja pada Rendy.
Seberapa banyak Wanita yang dekat dengan Rendy? Bukan hanya satu saja yang Sonya tahu, tapi beberapa kali Sonya memergoki sang suami sedang bersama beberapa Wanita yang berbeda setiap harinya.
“Aku sedang tidak mood hari ini. Kamu bisa temui aku lain waktu.” Rendy mengibas tangannya hingga tangan Lita terlepas.
“Apa istrimu membuatmu jengkel lagi. aku lihat dia hampir menangis karena kamu jambak rambutnya.”
“Bukan urusan kamu!”
