Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

2. Koperasi

Sampai di koperasi, Sonya sudah ditunggu oleh dua karyawannya. Mereka berdua setiap hari datang lebih awal untuk membuka toko dan bersih-bersih.

“Kalian datang jam berapa?” tanya Sonya sambil melepas jaketnya. Dia mencantolkan pada paku yang menempel pada dinding.

“Jam tuju,” jawab Adi. “Kita baru sampai juga kok.”

Pinkan mendekat lalu menarik tangan Sonya. Adi yang melihat itu, hanya mengerutkan dahi dan menaikkan kedua alis meminta penjelasan dari Pinkan. Namun, wanita itu hanya mendesis dan tetap menarik Sonya ke ruangan lain.

“Ada apa?” dengus Sonya.

Sebelum bicara, Pinkan mendongak ke arah pintu yang masih terbuka. Lalu ketika melihat Adi sudah sibuk dengan pekerjaannya di depan sana, Pinkan kembali menghadap Sonya.

“Apa kamu sudah memikirkan semuanya?”

“Memikirkan tentang apa?” Pletak!

Satu jitakan siku jari mendarat sempurna di kening Sonya membuatnya mengaduh dan mendesis kesal.

“Kamu ini bodoh atau apa, sih!”

Kening Sonya berkerut. Dia memang tidak tahu apa yang Pinkan katakana, tapi biasanya Wanita itu bicara hal yang tidak berguna.

“Aku memang nggak tahu.”

Pinkan menarik napas lalu mengembuskannya seraya memegang kedua tangan Sonya. “Tentang Adi yang menyukai kamu.” Degh!

Sonya terdiam. Dia tidak berkedip untuk beberapa detik sampai Pinkan menarik tangannya.

“Bagaimana? Apa kamu sudah memikirkannya? Aku tahu kalau kamu masih mencintai Adi kan?”

“Sssht!” dengan cepat Sonya membuangkan mulut Pinkan dengan telapak tangan. “Jangan keras-keras!” decaknya kemudian sambil celingukan memeriksa keadaan.

Dengan cepat Pinkan menyingkirkan tangan Sonya dan mendengkus kesal. “Tenang saja, enggak akan ada yang dengar, kok.”

Sonya melepas tangan itu lalu membuang muka. Setelah putus dari Rendy waktu itu, Sonya memang menutup diri, sampai suatu ketika dia bertemu Adi yang pernah menjadi teman sekelasnya ketika SMP. Adi baik orangnya. Keluarganya juga selalu menyambut Sonya dengan baik ketika main ke rumah. Namun, belum sempat Sonya mengutarakan isi hatinya, Dia sudah harus menikah dengan sang mantan kekasih.

Ketika membayangkan semua itu, rasanya sungguh menyakitkan. Sonya susah payah melupakan kenangan manis dan pahit bersama Rendy dan berharap bisa bersama Adi, tapi nyatanya takdir tidak begitu.

“Kenapa diam? Kamu sudah memikirkannya kan?” Pinkan menepuk pundak Sonya.

Pemandangan di luar sana yang terlihat dari dinding kaca, sepertinya lebih bisa mengalihkan perhatian Sonya.

“Aku tidak akan pernah memikirkan hal itu lagi,” ucap Sonya kemudian.

“Kenapa? Bukankah kamu nggak nyaman dengan pernikahan kamu?”

“Memang, tapi dengan memikirkan pria lain dan berharap berpisah, itu juga salah, Pink!”

Wajah Pinkan lebih maju lalu menatap dalamdalam wajah Sonya yang datar tapi ada kekhawatiran. “Jangan bilang kalau kamu masih menyukai pria sialan itu.”

“Dia suamiku, Pink!”

Dua mata Pinkan seketika membelalak sempurna. Jawaban itu cukup membuat Pinkan merasa kecewa karena terlanjur mengkhawatirkan keadaan Sonya.

“Terserah kamu saja lah!” Pinkan mengibas tangan di udara lalu pergi meninggalkan ruangan tersebut.

“Hei, Pinkan!” panggila Sonya.

Panggilan itu tidak Pinkan hiraukan dan yang Sonya dengar hanya suara pintu yang tertutup cukup keras. Melihat bagaimana raut wajah Pinkan, Adi yang sedang mengelap rak etalase mengerutkan dahi.

“Ada apa? kenapa wajah kamu jelek begitu?”

Pinkan mendengkus lalu melempar kain lap hingga tersangkut di antara jajaran kotak pulpen.

“Aku kesal dengan Sonya. Dia sangat menyebalkan!” “Kenapa?”

Pinkan menoleh. “Kamu tahu suaminya Sonya kan?”

Adi mengangguk.

“Jelas sekali kalau dia itu pria brengsek. Dia mengencani Sonya hanya untuk sebuah taruhan, dan sekarang mereka menikah. Itu sangat menjengkelkan. Aku heran kenapa Sonya masih bertahan.”

Adi menghela napas sampai pundaknya terangkat. Dia kemudian mengusap pundak Pinkan. “Berpisah itu nggak mudah, Pinkan. Ada syarat dan lain-lain yang harus ditempuh dan pikirkan. Sonya pasti juga memikirkan hal itu. Dia itu dalam posisi sulit.”

Pinkan terdiam dan menunduk. Satu tangannya yang berada di atas etalase, sedang mengusap-usap memainkan jarinya. Dia cukup menyesal karena sudah menyalak Sonya. Dia harusnya tahu bagaimana kondisi yang sebenarnya sampai Sonya harus menikah dengan Rendy.

“Tapi kamu masih mencintainya kan?”

Adi menelan ludah mendengar pertanyaan itu. Bukannya menjawab, Adi langsung mengalihkan pembicaraan dengan melengos menuju tempat lain.

“Hei, aku tanya padamu!”

“Aku masih banyak pekerjaan.”

“Oh, ayolah. Kamu masih mencintainya kan?” Pinkan terkekeh dan menyikut lengan Adi.

Dari ruang sebelah, Sonya tengah bersandar pada dinding. Dia bisa dengan jelas mendengarkan obrolan dua sahabatnya itu. Ingin rasanya menangis, tapi untuk apa? semua sudah terjadi.

Sekitar pukul Sembilan, koperasi mulai ramai. Banyak para sisa siswi dan orang umum yang berkunjung. Sudah sejak lama koperasi ini selalu ramai, dan Sonya senang karena semua ini bisa mencukupi kehidupannya selama ini. Bukan tidak diberi uang oleh Rendy, hanya saja Sonya akan nyaman memakai uangnya sendiri. Lalu, di mana uang yang diberi Rendy? Semua masih aman dengan jumlah yang sama.

“Permisi!” suara itu membuat Pinkan dan Adi yang sedang berdiri di bagian kasir menoleh.

Ada beberapa pengunjung yang menoleh juga, tapi mereka langsung melengos terkecuali para Wanita dan para gadis. Mereka akan betah memandangi wajah Rendy yang begitu tampan dengan wajah campuran belanda dan Indonesia.

Ketika langkah kaki semakin masuk ke dalam, yang pertama Rendy lihat adalah Adi. Tatapan itu tampak sengit dan tidak bersahabat. Mereka berdua cukup kaget melihat kedatangan Rendy. Ini sepertinya pertama kali Rendy datang ke sini.

“Ada yang bisa saya bantu, Tuan?” tanya Adi dengan ramah.

Rendy membuang mata jengah. “Nggak usah sok baik kamu! Di mana Sonya?”

“Dia ada di dalam.”

“Untuk apa kamu mencari dia?” Pinkan menyerobot pembicaraan. Dia sedang sinuk di sini.”

Rendy tidak peduli omelan Pinkan. Dia malam nyelonong masuk begitu saja ke dalam. Dan ketika Pinkan hendak menyusul, dengan cepat Adi menariknya.

“Kenapa, Sih!” decaknya.

“Dia itu suami Sonya. Kamu nggak berhak ikut campur.”

Pinkan mendengkus sebal lalu kembali ke meja kasir.

Langkahnya semakin masuk menyusuri ruangan koperasi, Rendy melihat Sonya sedang berbicara dengan salah satu siswa SMA. Mereka berdua terlihat akrab, dan Rendy tidak suka melihat itu.

Grep!

Rendy berhasil memegang lengan Sonya dengan kuat. Siswa yang sedang bicara dengan Sonya seketika mendongak, pun dengan Sonya sendiri.

“Kamu?”

“Kemari kamu!” Rendy menarik Sonya

menjauh. “Kita harus bicara.”

“Tapi aku masih banyak pekerjaan di sini.”

“Aku nggak peduli. Kita bicara, atau aku bakar koperasi ini!”

Ancaman itu membuat Sonya bergidik ngeri. Kata bakar sangat menakutkan karena dulu koperasi ini memang sempat terbakar sebelum kemudian papa merenovasi hingga menghabiskan banyak uang. Kejadian itu tidak akan pernah Sonya lupakan sampai sekarang karena hari berikutnya setelah koperasi kembali pulih, papa meninggal dunia.

***

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel