Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

4. Salah Paham

Sebuah Restoran ….

“Aku suka lihat kamu bersikap begitu dengan Sonya,” ucap Lita seraya menarik kursi. Ia lantas duduk, pun dengan Rendy.

“Dia harusnya sadar kalau pernikahan kalian ini bukan kemauan kamu. Dia tidak punya malu karena menerima lamaran kamu waktu itu.”

Rendy tidak menghiraukan ocehan Lita yang semakin memanjang. Dia hanya duduk sambil mengamati deretan menu makanan yang tersedia hari ini.

“Kamu harus ingat, Wanita itu pernah berhubungan dengan seseorang di belakang kamu.”

Rendy berhenti membaca, tapi dua matanya masih menatap daftar menu dalam genggamannya itu. Dia terdiam beberapa detik, sebelum kemudian meletakkan daftar menu itu di atas meja dengan kasar. Dia tidak menatap Lita melainkan melambai tangan pada salah satu pelayan.

“Bawakan aku makan siang seperti biasa,” pinta Rendy.

Pelayan itu mengangguk paham. “Baik, Pak Rendy.”

Lita cukup kesal karena Rendy tidak menanggapi perkataannya yang panjang. Sudah mencoba membuka obrolan lain pun, pada kenyataannya Lita hanya mengoceh sendiri.

“Apa kamu menyukainya lagi?” pertanyaan itu membuat Rendy mendongak.

“Jangan membahas hal itu, atau sebaiknya kamu pergi saja.”

“Rend!” hardik Lita. “Sejak kapan kamu bicara seperti itu padaku . Bersikaplah lembut padaku. Aku yang menemani kamu selama ini.”

Banyak Wanita yang datang mengencani Rendy. Bukan satu atau dua dalam sebulan, tapi kemungkinan hampir ada puluhan. Lalu, apa yang mereka lakukan? Bukan menikmati malam di dalam kamar, tapi sekedar membuang rasa bosan dengan melihat para Wanita murahan itu menari dan merayu.

“Jangan membuat nafsu makan siangku hilang,” ucap Rendy. Mata itu memperingatkan dengan tajam.

Setelah pergi dari perusahaan sang suami, Sonya kembali ke koperasinya. Dia tidak mau peduli dengan dua orang itu meski otaknya terus memaksa untuk memikirkan semua itu. Ketika mobil taksi yang ia tumpangi hampir sampai, Sonya buru-buru mengusap wajahnya. Ia pastikan kalau wajahnya sudah tidak kacau lagi seperti tadi.

Sonya akan cukup terima dengan perlakuan Rendy, tapi tidak di tempat umum atau di depan orang lain. Itu terlihat sangat memalukan dan menyedihkan.

“Sonya!” seru Pinkan ketika melihat Sonya turun dari mobil. Wanita itu berlalri ke luar dari toko menghampiri Sonya. “Kamu baik-baik saja? Apa dia melukaimu?”

Sonya meringis ketika dengan cepat Pinkan memutar badannya untuk memastikan keadaannya saat ini.

“Aku baik-baik saja.”

“Kamu yakin?”

Sonya mengangguk. “Sudah ayo masuk,” katanya kemudain seraya mendorong punggung Pinkan.

Sore harinya, ketika sudah tutup, Sonya meminta dua sahabatnya itu untuk pulang lebih dulu. Hari ini dia akan melihat laporan bulanan kemungkinan sampai malam.

“Kamu yakin tidak mau aku temani?” tanya Pinkan. Di belakang mereka, ada Rendy yang sedang menutup pintu lipat toko.

“Iya. Kalian berdua pulang saja. Aku akan selesaikan malam ini supaya besok bisa lebih santai.”

Pinkan dan Adi saling menatap sesaat. “Ya sudah, kalau begitu kita pulang dulu.”

Setelah mereka berdua pergi, Sonya kembali masuk ke dalam toko lagi. dia menutup pintu tapi tidak menguncinya. Sonya langsung menuju ruang kerjanya di sudut ruangan. Sebenarnya bukan hanya untuk melihat laporan bulanan, melainkan Sonya enggan pulang. Dia masih sakit mengingat kejadian di kantor tadi. Malu rasanya ketika ada seorang yang melihat bagaimana suami kita bersikap kasar.

“Kenapa berhenti!” seru Pinkan dari balik helmnya.

Adi membuka kaca helm lalu menyahut.

“Ponselku ketinggalan!”

“Ya sudah, kamu ambil sana! Aku pulang duluan.”

“Oke.”

Adi memutar balik Haluan ke arah koperasi lagi. dia melajukan motornya dengan kecepatan tinggi supaya segera sampai tujuan. Sampai di sana, Adi bergegas melepas helmnya. Dia turun lalu menekan gagang pintu yang ternyata tidak dikunci. Dari arah lain, Adi tidak tahu kalau ada seseorang yang sedang mengawasi dari dalam mobi. Mulanya orang itu hendak turun dari mobil, tapi ketika melihat kedatangan Adi, dia urungkan niatnya.

“Di mana ya ponselku,” gumam Adi. Dia membiarkan pintu depan terbuka lalu dai mulai celingukan mencari ponselnya. Dia sempat melihat ke arah pintu ruang kerja Sonya yang terbuka.

“Sonya, kamu masih di sini?”

Sonya terkesiap seperti mendengar ada seseorang yang mengajaknya bicara. “Siapa itu? Gumamnya.

Sonya beranjak untuk memastikan. Dan bertepatan ketika Sonya muncul dari balik pintu, saat itu juga mereka berdua terjungkat kaget. Mereka bersamaan membelalak dan mengusap dada lalu menghela napas.

“Adi, kamu mengagetkanku,” desah Sonya. Jantungnya benar-benar berdegup tidak karuan.

Adi meringis. “Maaf, ponselku tertinggal, jadi aku kembali.”

“Oh, apa sudah kamu ambil?”

“Belum. Mungkin ada di laci kasir. Aku ambil dulu.” Adi berjalan ke arah meja kasir. Setelah menemukan ponselnya, dia mengangkatnya menunjukkan pada Sonya.

“Kamu masih belum mau pulang?” tanyanya.

Sonya menggeleng. “Mungkin nanti jam delapan.”

Prok, prok!

Suara tepukan tangan itu membuat mereka berdua menoleh secara bersamaan.

“Bagus sekali ya kalian …”

“Rendy?” celetuk Sonya. “Sedang apa kamu di

sini?”

Rendy tersenyum miring dengan wajah menyeringai membuat mereka yang melihat akan bergidik ngeri. “Tentu saja melihat kalian berbuat tak senonoh.

“Apa maksud kamu?” seru Sonya.

“Ck! Kamu memang tidak pernah berubah. Kamu tetap saja menjadi Wanita gampangan.”

“Jaga bicara kamu!” Adi maju dan hampir bersentuhan dada dengan Rendy, namun dengan cepat Sonya menengahi.

“Kemari kamu!” dengan cepat Rendy menarik Sonya ke belakang punggungnya. Sekarang, Rendy menatap Adi dengan mata membara.

“Apa kamu nggak punya malu?” tanyanya sinis. “Dia sudah bersuami dan kamu mengajaknya

berduaan di sini.”

“Jaga bicara kamu!” sahut Adi. “Jangan seolaholah kamu pria baik. Lihat saja dirimu sebelum kamu bicara keburukan orang lain.”

Rendy mengeraskan rahang dan mencengkeram lengan Sonya semakin kuat. Sonya yang tidak bisa lepas sudah meringis menahan sakit. Sebelum amarahnya memuncak, dengan cepat Rendy menyeret Sonya, membawanya ke luar.

Ketika Adi hendak menyusul, Sonya dengan cepat berkedip dan menggeleng. Adi hanya bisa melihat Sonya yang dibawa paksa dari ambang pintu.

Dengan kasar, Rendy mendorong tubuh Sonya ke dalam mobil sampai tersungkur. Setelah pintu tertutup dengan keras, Rendy memutari mobil lalu ikut masuk. Saat Rendy sudah duduk, dia dengan segera tancap gas dan melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi.

Apa aku akan mati saat ini?

Sonya takut luar biasa sekarang. mobil ini melaju seperti angin kencang tidak peduli ada pengendara lain di jalan raya.

Wajah tampan itu tampak bengis sekarang. Sonya tidak akan pernah berani menatapnya saat ini da memilih untuk menatap ke arah jendela. Dia menahan dadanya yang sudah berdegup cepat tidak karuan, sementara dua matanya sudah berkaca-kaca tapi nyatanya tidak bisa menangis.

“Brengsek!” umpat Rendy tiba-tiba membuat Sonya membelalak dan terjungkat dari posisi duduknya. Dia mengatup rapat matanya dan tidak berani menoleh ke samping.

***

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel