Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

1. Tunjukkan Saja

Dua tahun berlalu, semua tampak baik-baik saja. Baik dalam artian Sonya masih hidup dengan tubuh sehat dan bisa melakukan aktivitas dengan baik. Mengenai hal lain, jangan ditanya karena belum ada yang berubah sejak malam pernikahan itu. Kesakitan malam itu tidak akan pernah bisa Sonya lupakan. Namun, setidaknya hal itu terjadi hanya sekali saja sejak pernikahan.

“Di mana pakaianku?” tanya Rendy yang baru saja ke luar dari kamar mandi.

“Ada di atas ranjang.”

Sonya menjawab tanpa menoleh. Dia sakit, sakit sekali, tapi siapa pun tidak akan tahan setiap hari melihat dada bidang yang putih bersih dengan bulu-bulu halus itu. Dulu Sonya pernah mencintainya sepenuh hati, akan dusta jika Sonya mengelak betapa sempurnanya sang suami. Namun, hal itu hanya angan-angan karena Sonya tidak akan pernah bisa memilikinya.

“Mau ke mana kamu?”

“Menyiapkan sarapan.” Sonya menjawab acuh lalu menutup pintu kamar.

Sonya berjalan santai menuju lantai bawah. Sampai di ruang makan, di sana sudah ada papa, mama mertua. Papa selalu menyambut kedatangan Sonya, tapi berbeda dengan mama. Wanita cantik yang selalu bersanggul itu selalu memasang wajah judes di depan Sonya.

Apakah setiap ibu mertua dari sang suami selalu seperti ini?

Sonya menyapa mereka seperti biasa seramah mungkin. Hanya ini yang bisa Sonya lakukan setiap hari di depan mereka.

“Di mana Rendy? Kenapa belum turun?” tanya mama. “Bukankah dia harus berangkat lebih awal?”

“Rendy sedang ganti pakaian.”

“Lalu kenapa kamu turun? Kamu kan harusnya bantu dia?”

“Aku mau menyiapkan bekal dulu, Ma.”

Dari samping, Sanjaya menyikut lengan sang istri. “Kamu ini kenapa sih, Ma! Mereka sudah menikah dua tahun, kamu tidak perlu bertanya hal tidak penting seperti itu.”

Sonya tidak mau terlalu peduli. Sekarang dia hanya mau focus menyiapkan bekal lalu segera berganti pakaian untuk pergi ke koperasi miliknya. Setelah kepergian ibunya satu tahun yang lalu, koperasi dekat gedung sekolah dan kampus itu dikelola oleh Sonya. Koperasi itu peninggalan keluarga satu-satunya.

Selesai membuatkan bekal untuk Rendy, seorang Wanita cantik melenggak masuk begitu saja. Wanita yang Sonya ketahui sebagai mantan kekasih Rendy itu, hampir setiap hari datang ke rumah ini untuk bertemu dengan mamanya Rendy.

“Selamat pagi, Sayang.” Tamara langsung menyambutnya dengan hangat, membuat Sonya memalingkan wajah.

Jika dibilang iri, tentu saja Sonya iri. Meski dia tidak pernah dianggap oleh sang suami, tapi di selalu patuh termasuk dengan mertuanya. Dia melakukan tugasnya dengan baik di sini, meskipun selalu saja salah di mata mereka.

“Pagi, Sonya,” sapa Bunga dengan sok ramah.

Sonya hanya tersenyum tipis lalu kembali focus pada bekal Rendy yang sudah berada di dalam wadah. Sonya kemudian memasukkan kotak sarapan itu ke dalam tas bekal.

Ketika Bunga sudah ikut duduk di samping Tamara, Sanjaya bertanya. “Apa kamu nggak punya pekerjaan? Hampir setiap hari kamu datang ke sini hanya untuk melihat suami orang.”

Pertanyaan menohok itu membuat Bunga terdiam. Ketika Bunga menoleh ke samping, dengan cepat Tamara menendang kaki sang suami yang berada di kolong meja.

“Maaf, kalau aku sudah mengganggu. Aku hanya—”

“Enggak, sayang. Kamu nggak ganggu kok.” Tamara langsung menyahut.

Wajah Bunga sudah merengut, tapi dengan cepat Tamara mencoba mencairkan suasana lagi. tidak lama setelah itu, Rendy muncul sudah dengan pakaian rapi. Wajahnya yang tegas, membuat siapa pun akan terpesona padanya, tapi tidak berlaku untuk Sonya. Kalau pun memang terpesona, tapi Sonya harus menyimpannya rapat-rapat.

Ketika Bunga sudah setengah berdiri dengan secercah senyum, tatapan Sanjaya berubah. Bunga yang sudah antusias terpaksa duduk kembali mengurungkan niat untuk menyambut Rendy.

“Kamu mau berangkat kan?” Tamara berdiri.

Rendy mengangguk sambil mengambil bekalnya yang ada di tangan Sonya.

“Kamu sekalian antar Bunga. Dia hari ini mau pergi ke klinik.”

Rendy menghela napas lalu berbalik badan. “Hm.”

Meski sebatas jawaban singkat, tapi berhasil membuat Bunga senang. Namun, tidak dengan Sonya. Dia merasakan ada yang mengganjal di hatinya hingga menghasilkan rasa sakit. “Sonya,” panggil papa.

Sonya menoleh. “Iya, Pa? kenapa?”

“Kamu mau pergi ke koperasi kan?”

“Iya, Pa.”

Sanjaya berdiri lalu menenteng tasnya. “Kamu berangkat bareng papa saja. Papa mau sekalian ambil beberapa buku lagi dan pulpen.”

“Oke, Pa. aku siap-siap dulu.”

Rendy harusnya sudah pergi, tapi entah kenapa dia masih berdiri di sana mendengarkan obrolan antara sang istri dan ayah. Melihat bagaimana tampang sang putra, dengan cepat Tamara mengalihkan perhatiannya.

“Sudah kalian buruan berangkat. Kamu nati kesiangan, Ren.” Tamara menepuk dan sedikit mendorong tubuh Rendy.

Di belakang, Tamara main mata pada Bunga seperti memberi kode untuk lebih dekat lagi dengan Rendy. Bunga langsung mengerlingkan satu mata dan mengangkat ibu jari. Tentu saja Bunga berani melakukan itu dikarenakan Sanjaya sudah pergi ke luar lebih dulu.

Sanjaya masuk ke dalam mobil lebih dulu sambil menunggu Sonya, sementara Rendy terlihat sedang memperlambat langah kakinya. Ketika sudah sampai di samping mobil dan tidak terlihat dari pandangan Sanjaya, Bunga dengan cepat menggandeng Rendy.

“Nanti siang bisa temani aku makan kan?”

Rendy mengerutkan wajah lalu perlahan menyingkirkan tangan Bunga. “Aku sibuk nanti siang. Kerjaanku masih banyak.”

“Jangan bilang kamu mau pergi makan siang bersama istrimu?”

“Itu bukan urusan kamu. Sudah cepat masuk!” perintahnya kemudian.

Bunga mendengkus kesal sambil menghentak kaki. Ketika Rendy hendak menyusul masuk, Sonya muncul. Wanita dengan tinggi badan sekitar 160 cm itu melenggak dengan anggun mengenakan vintage di bawah lutut. Lengannya sedikit menerawang tapi tidak terlihat terbuka karena cukup menutupi bagian pundak ke bawah. Rambut panjangnya yang terikat tinggi, membuat leher jenjang itu terlihat dengan jelas. Putih bersih dan ada satu tahi lalat di sebelah kiri. Ya, Rendy tahu itu ketika dia sempat melakukan hubungan badan kala itu.

Ketika melenggak tidak jauh dari hadapan Rendy, Sonya sama sekali tidak menoleh. Dia hanya berjalan lurus hingga sampai di mobil papa.

“Ayo, Ren!” panggil Bunga dari balik kaca jendela mobil yang terbuka. Rendy yang tengah melamun seketika terkesiap.

“Kamu nggak perlu cemburu melihat mereka berdua.” Kata papa. “Rendy sama sekali nggak menyukai Wanita itu.”

Sonya tersenyum seraya merendahkan dagu. “Kalau pun mereka saling menyukai, aku nggak bisa melarang. Itu hak mereka.”

“Mana bisa begitu. Kamu harus bisa bersikap tegas. Tunjukan pada orang-orang kalau Rendy itu suami kamu.”

Sonya menunduk. Dia ingin sekali melakukan itu, tapi dia tidak cukup berani melakukannya. Masa lalu yang kelam hingga hubungan manis masa muda kala itu, masih membuat Sonya trauma. Belum lagi Sonya masih was-was Rendy akan melakukan hubungan lagi dengan kasar seperti malam pertama dua tahun yang lalu.

***

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel