4. Tiga Bulan
Bai Lian keluar dari kafe dengan napas lega. Di kepalanya: “Akhirnya aku punya calon suami kontrak. Tinggal tanda tangan, beres.”
Sementara Pria yang Bai Lian kita adalah Tuan Han berjalan santai di belakangnya, wajahnya tenang, namun mata para anak buahnya yang menunggu di luar langsung melirik hormat. Mereka tentu saja sempat mendengar pembicaraan Tuan mereka dan gadis aneh ini, mereka sempat hendak menghentikan gadis ini, namun Tuan mereka memberi kode untuk membiarkannya.
Di depan kafe terparkir mobil hitam mengkilap dengan kaca gelap. Pintu belakang terbuka otomatis begitu Liang Xun mendekat.
“Eh? Kau bahkan sewa mobil mewah untuk ini? Wah, serius banget ya sampai siap antar-jemput segala. Aku kira cukup naik taksi atau bis bareng ke kantor catatan sipil.” Ucap Bai Lian yang kembali salah paham.
Pria itu hanya melirik, tidak menyangkal. Ia masuk ke mobil dengan elegan. Bai Lian, tanpa berpikir panjang, ikut masuk begitu saja sambil membawa map dokumen.
Begitu pintu tertutup, suasana mobil terasa tegang. Dua pria berjas hitam duduk di depan, wajah kaku, tatapan di kaca spion seperti elang mengamati.
Bai Lian spontan bergidik, lalu sedikit merapat ke arah pria di sampingnya.
“Han, Kau benar-benar total ya. Sampai menyewa aktor figuran jadi pengawal segala. Kau pasti ingin aku merasa ‘aman’, kan?” bisiknya canggung.
Pria itu menoleh perlahan, bibirnya melengkung samar.
“Untuk berakting, bukankah harus dengan totalitas yang tinggi? Dan tentu saja, mereka memang selalu menjagaku… dengan cara mereka.”
Nada suaranya sarat makna tersembunyi, tapi Bai Lian sama sekali tidak menangkap itu. Ia malah tersenyum puas.
“Bagus. Aku suka pria yang profesional.”
Ia lalu mengedarkan pandangan, matanya berbinar melihat betapa mewahnya interior mobil. Kursi kulit hitam, layar monitor di depan, lampu ambient lembut.
“Ya ampun… ini mobil paling nyaman yang pernah aku naiki! Ada pemanas kursi, ada pendingin minuman… eh ada tombol pijat juga?!” ucap Bai Lian yang norak tapi polos.
Tanpa basa-basi, ia menekan tombol di samping kursinya. Kursi langsung bergetar pelan memberi pijatan otomatis. Bai Lian terkikik.
“Aduh, suami kontrakku ternyata tahu cara memanjakan istri. Baru naik mobil saja sudah dipijat!”
Dua pengawal di depan hampir tersedak menahan tawa, sementara Pria itu hanya menghela napas tenang.
Bai Lian kembali menoleh pada Tuan Han, dan menatapnya dengan curiga. “Tapi apa kau tidak berlebihan? Menyewa mobil semewah ini… bukankah mahal?”
“Biayanya akan kau tanggung nanti.” Jawab pria itu tenang dan santai.
Seketika Mata Bai Lian melotot. “APA?! Bukankah kita sudah sepakat dengan harga sebelumnya? Aku tidak menyuruhmu menyewa mobil mahal ini!”
Pria itu melirik sekilas, nada suaranya tetap kalem tapi menohok. “Kau ingin pernikahan kontrak terlihat meyakinkan, bukan? Pasangan kaya biasanya… tidak naik bis ke kantor catatan sipil.”
“Ya, tapi… tetap saja! Kau seharusnya tanya dulu padaku. Kau pikir aku ini ATM berjalan?!” ucapnya dengan sewot dan bibir yang tertekuk.
“Kalau kau bukan ATM berjalan… kenapa kau membawa uang tunai dalam jumlah besar di tas kecilmu tadi?” balasnya santai dengan mata yang menatap lurus ke depan.
Bai Lian terdiam sejenak. Mulutnya terbuka, tapi tak ada kata keluar. Ia lalu mendengus keras, bersandar sambil melipat tangan.
“Huh! Kau ini calon suami kontrak paling menyebalkan sedunia!”
Pria itu tersenyum samar. “Syukurlah. Setidaknya aku jadi yang ‘paling’ di sesuatu hal.”
Bai Lian spontan menoleh tajam, tapi kemudian malah ngakak kecil. “Ya ampun, kau bahkan bisa bercanda. Kupikir kau robot yang hanya bisa pasang wajah dingin!”
Anak buah di depan hampir tergelak lagi. Sopir menunduk dalam-dalam agar tawa tidak terdengar, sementara Liang Xun—nama asli dari pria yang dikira Tuan Han oleh Bai Lian—tetap terlihat tenang, meski sudut bibirnya jelas terangkat.
Mobil terus melaju, meninggalkan suasana absurd nan kocak di dalamnya.
Namun di balik wajah dingin dan senyum samar itu, benak Liang Xun penuh tanda tanya. Ia, ketua triad paling berkuasa di kota, terbiasa dengan situasi di mana orang-orang datang padanya dengan gemetar, penuh rasa takut, bahkan rela berlutut hanya untuk memohon hidup mereka diselamatkan.
Tetapi hari ini?
Ia hanya ingin duduk santai di kafe, menikmati secangkir kopi pahit kesukaannya. Lalu tiba-tiba muncul seorang wanita yang nyelonong masuk, menatap matanya dengan berani, dan tanpa basa-basi menyodorkan uang tunai dan dokumen pernikahan seolah sedang menawarkan kontrak kerja paruh waktu.
Bukan dengan rayuan. Bukan dengan ketakutan.
Tapi dengan kalimat absurd: “Aku hanya butuh status suami. Kau terima, kan?”
Liang Xun hampir saja menolak. Biasanya, wanita yang mencoba mendekat padanya akan diputus cepat dan dingin—bahkan kadang dengan cara kejam agar tidak ada yang berani mencoba lagi. Namun kali ini, tangannya justru terhenti. Ada sesuatu yang berbeda.
Entah mimpi apa semalam, tapi ia merasa situasi konyol ini… menarik.
Matanya melirik ke samping, pada Bai Lian yang kini sedang asyik menekan tombol pijat kursi dan terkikik seperti anak kecil menemukan mainan baru. Sungguh berbeda dari wanita-wanita glamor yang biasanya mengitarinya.
Wanita ini bahkan tidak tahu siapa dirinya. Tidak peduli dengan reputasi, kekuasaan, atau bahaya yang menempel padanya.
Baginya, Liang Xun hanyalah seorang “Tuan Han”—pria yang bersedia menikah kontrak demi sedikit uang.
Dan entah kenapa, Liang Xun merasa hal itu… menyegarkan.
Ia bersandar, menutup mata sejenak. Senyum samar kembali muncul. “Menarik sekali… Sepertinya aku akan biarkan permainan ini berjalan lebih jauh.”
Sementara itu, Bai Lian menoleh padanya dengan polos.
“Kenapa kau senyum-senyum sendiri? Jangan bilang kau jatuh cinta padaku. Ingat, ini kontrak. Jangan berpikir yang macam-macam.”
Sopir hampir tersedak menahan tawa, buru-buru menutup mulutnya. Pengawal di sampingnya berdeham keras seakan ingin meredam suasana, tapi justru membuat suasana mobil makin kikuk.
Liang Xun membuka mata perlahan, menoleh pada Bai Lian, tatapannya tajam seperti pisau. Namun kata-kata yang keluar justru membuat semua orang di mobil nyaris terbalik menahan reaksi.
“Tenang saja. Aku tak pernah berpikir untuk menyukaimu… aku hanya menikmati pertunjukan.”
Bai Lian salah paham lagi. Alih-alih tersinggung, ia justru menepuk bahu Liang Xun dengan ekspresi puas.
“Bagus! Itu yang kumau dengar. Kita harus profesional dalam memerankan peran ini. Aku hanya butuh status, bukan cinta-cintaan murahan. Jadi kau bebas lakukan apa pun dengan hidupmu. Setelah tiga bulan, kita urus perceraian. Selesai.”
Liang Xun menatap tangannya yang masih menepuk bahunya, lalu menatap wajah Bai Lian yang penuh keyakinan. Sesuatu di dalam dirinya terasa geli—wanita ini sama sekali tidak takut padanya, bahkan memperlakukannya seolah ia aktor bayaran murahan.
“Tiga bulan…?” tanya Liang Xun datar dan penuh arti.
Bai Lian mengangguk mantap. “Ya. Jangan khawatir, aku tidak akan minta lebih. Aku bukan tipe wanita yang tiba-tiba berubah pikiran lalu nempel manja. Setelah aku dapat kembali barang-barang peninggalan ibuku, kita bisa bubar. Semua orang senang, semua orang bebas.”
Liang Xun terdiam beberapa saat, lalu tersenyum samar—senyum yang biasanya membuat lawan bisnisnya berkeringat dingin. Tapi bagi Bai Lian, senyum itu terlihat seperti persetujuan biasa.
“Kau sungguh percaya diri. Biasanya, orang yang bermain dengan api… tidak bisa berhenti sesuka hati.” Ucap Liang Xun perlahan.
Bai Lian menaikkan alisnya, lalu terkekeh. “Api? Hei, jangan terlalu drama. Ini bukan novel kriminal, ini cuma pernikahan kontrak. Kau nggak perlu pakai metafora berbahaya begitu.”
Sopir dan pengawal di depan benar-benar menahan diri agar tidak terbahak. Suasana absurd bercampur tegang itu membuat mobil seolah bergetar bukan karena mesin, melainkan karena semua orang menahan reaksi.
Liang Xun akhirnya menutup mata lagi, menyandarkan tubuh, sambil bergumam pelan yang hanya terdengar oleh dirinya sendiri.
“Wanita ini… benar-benar tidak tahu di mana dia berdiri.”
Sementara Bai Lian sudah sibuk membuka map merah berisi dokumen, lalu menuliskan jadwal konyol dengan serius:
• Senin – Jumat: pura-pura antar-jemput kerja
• Sabtu: makan malam keluarga agar terlihat mesra
• Minggu: bebas, masing-masing boleh punya “kehidupan pribadi”
Setelah selesai menulis, ia menyerahkan kertas itu pada Liang Xun.
“Ini draft kontrak harian kita. Kau tanda tangan di bawah, ya.”
-To Be Continue-
