Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

3. Uang? Dokumen? Siapa kau?

Pukul 10 pagi, kafe teh modern bergaya minimalis di pusat kota belum terlalu ramai. Aroma teh melati bercampur dengan suara denting cangkir porselen.

Seorang wanita muda, Bai Lian, masuk dengan wajah tegang. Ia memakai dress sederhana, tapi jelas-jelas bukan tipe pekerja kantoran biasa—tatapan matanya menyiratkan beban besar. Tangannya menggenggam erat tas kecil berisi uang muka setengah pembayaran dan dokumen pribadi miliknya.

Ia melangkah masuk, menatap ke sekeliling mencari seseorang. Dalam pesan singkat, pria yang akan ditemuinya memberi ciri-ciri: “Duduk di dekat jendela, mengenakan kemeja hitam.”

Pandangan Bai Lian terhenti pada seorang pria di sudut, duduk sendirian sambil memegang cangkir teh. Pria itu tampan, wajahnya dingin, auranya menekan.

Tanpa sadar Bai Lian tersenyum, ‘Aku tidak menyangka pria bernama Han itu akan setampan ini…’ gumamnya dalam hati.

Tanpa berpikir panjang, Bai Lian menghampiri lalu duduk di depan pria tersebut.

“Kau pasti Tuan Han, ya? Aku sudah bawa uang mukanya. Setengah dulu sesuai perjanjian, sisanya setelah kita mendapatkan buku nikah. Ini juga dokumennya.” Bai Lian berbisik cepat, dan suara terdengar begitu gugup.

Ia menyodorkan map merah berisi kontrak dan dokumen.

Pria di hadapannya tersebut tampak menaikkan satu alis, menatap map itu lalu menatap Bai Lian. Wajahnya terlihat datar, dingin dan juga sedikit menyeramkan. Membuat Bai Lian merasa tiba-tiba saja suhu di sekitar turun dengan drastis, membuat bulu kuduknya meremang.

“Uang? Dokumen? Siapa kau?” tanya pria itu dingin.

“Apa kau lupa dengan perjanjian yang sudah kita sepakati tadi malam?” Bai Lian tampak bingung namun ia tetap serius dengan ucapannya. Kemudian ia membuka amplop cokelat berisi uang dan memperlihatkannya pada pria itu.

“Ini uang yang sudah kita sepakati. Aku hanya butuh status suami, bukan cinta. Nikah kontrak. Kau terima, kan? Kau tidak berubah pikiran bukan?”

Pria itu terdiam sejenak, lalu tersenyum tipis. Situasi ini begitu absurd, tapi menarik. Ia kemudian melihat wajah wanita aneh yang tiba-tiba saja menghampirinya dan menyodorinya uang bersama dokumen.

Pria itu mengambil amplop berisi uang tersebut dan memeriksanya.

Bai Lian mengerutkan keningnya, “Kenapa? Kurang? Bukankah itu harga yang sudah kita sepakati sebelumnya?” tanyanya karena melihat pria itu hanya diam seraya memeriksa isi amplop cokelat di tangannya.

Pria itu kemudian menyandarkan tubuhnya, dan menatap Bai Lian. “Jadi kau benar-benar akan menikah denganku?”

“Ya! Aku tidak peduli kau cuma butuh uang atau apa. Yang penting aku dapat surat nikah, selesai urusan. Kalau tidak, semua peninggalan ibuku akan dirampas ayah dan ibu tiriku.” Wajah Bai Lian terlihat begitu serius dan juga sedikit kesal.

Pria itu menatapnya lama, lalu tertawa kecil. Suaranya berat, “Baiklah, aku terima tawaranmu. Tapi ada satu syarat.”

“Syarat lagi? Apa itu?” tanya Bai Lian sedikit waspada. Bukankah sebelumnya mereka sudah membicarakan beberapa poin kesepakatan?

Pria itu kemudian mencondongkan tubuhnya, senyum samar terlukis di bibirnya dan terlihat berbahaya.“Kau harus siap menanggung konsekuensi menikah denganku. Hidupku… tidak sesederhana yang kau kira.”

Mendengar hal tersebut, Bai Lian hampir berdecak kesal. Namun ia menahannya dan hanya bisa menghela napas dramatis. Sekelebat ia berpikir, saat berkomunikasi dengan pria ini melalui panggilan semalam, ia mereka pria ini begitu berbeda.

“Aku sudah siap. Aku bahkan siap kalau kau pemalas, keras kepala, atau… tukang makan mi instan tiap malam! Yang penting kita segera ke kantor catatan sipil hari ini juga dan menikah!”

Pria itu menahan tawa, menatapnya penuh rasa ingin tahu.

Dalam hati ia bergumam: ‘Perempuan ini… polos atau bodoh?’

Sementara Bai Lian merasa lega karena akhirnya ia berhasil mendapatkan “suami kontrak,” ia sama sekali tak menyadari bahwa pria di depannya bukan Tuan Han si pekerja lepas, melainkan seseorang yang sangat berbahaya.

***

Beberapa waktu sebelumnya….

Pagi itu, Liang Xun duduk di kursi belakang mobil hitam yang terparkir di lorong sempit, jari-jarinya mengetuk pelan permukaan lengan kursi kulit. Bau logam samar masih tercium di ujung jarinya, sisa dari transaksi yang baru saja selesai ia lakukan. Sebuah koper hitam berisi dokumen dan sejumlah uang telah berpindah tangan, meninggalkan perasaan kosong yang anehnya sudah biasa.

“Sudah beres,” suara anak buahnya terdengar pelan dari kursi depan.

Liang Xun hanya mengangguk tipis. Matanya menatap keluar jendela, melihat jalanan yang mulai ramai dengan lalu lalang orang-orang yang sibuk dengan urusan biasa mereka. Dunia tampak begitu sederhana bagi orang lain, tidak seperti jalannya sendiri yang selalu dipenuhi bayangan.

Ia menarik napas panjang. “Aku butuh kopi.”

Mobil pun meluncur ke arah pusat kota. Sesampainya di sana, ia turun dan berjalan masuk ke sebuah kafe kecil yang cukup tenang. Setiap langkahnya terukur, penuh wibawa, membuat beberapa orang menoleh tanpa sadar. Kemeja hitam yang ia kenakan rapi, meski di balik ketenangan itu, auranya tetap menebar tekanan yang sulit dijelaskan.

Pelayan menyapanya ramah, “Mau pesan apa, Tuan?”

“Americano. Hitam. Panas.” Suaranya datar, tanpa ragu.

Ia duduk di sudut, menyandarkan tubuh pada kursi, menunggu dengan sikap santai yang dibuat-buat. Matanya menatap keluar jendela, namun pikirannya berkelana.

Transaksi tadi berjalan mulus, tapi hatinya tahu—setiap urusan gelap yang ia jalani hanyalah menunda bahaya yang lebih besar. Ia sudah terbiasa, terlalu terbiasa. Tapi entah kenapa pagi ini ada rasa jenuh yang menyelinap.

Saat cangkir kopi akhirnya tiba, ia mengangkatnya perlahan, menghirup aroma pahit pekat yang menenangkan. Bibirnya melengkung samar, hampir seperti senyum, tapi bukan kebahagiaan—melainkan kebiasaan menikmati jeda singkat di antara kekacauan hidupnya.

Ia menatap jam tangannya, kemudian menghela napas singkat. Ada satu janji pertemuan kecil lainnya. Ia tak menaruh harapan apa-apa—sekadar formalitas, sesuatu yang mungkin ia tinggalkan begitu saja kalau merasa bosan.

Namun sebelum ia bisa meneguk kopi untuk kedua kalinya, langkah ringan terdengar mendekat. Seorang wanita berhenti tepat di hadapannya. Rambut panjangnya tergerai, wajah cantiknya tampak tegang tapi penuh tekad. Liang Xun sempat menaikkan alis, matanya menyipit sedikit—ia tidak mengenali siapa pun dengan penampilan seperti itu.

“Akhirnya… ketemu juga.” Suara wanita itu bergetar, antara gugup dan lega. Ia langsung duduk tanpa izin, meletakkan sebuah map di meja seakan itu hal yang biasa. “Dokumen sudah siap, uang juga. Jadi… ayo menikah hari ini juga.”

Liang Xun hampir tersedak oleh absurditas kalimat itu. Tangannya berhenti di udara, cangkir kopi masih tergenggam. Tatapannya yang dingin seketika berubah menjadi campuran antara keterkejutan dan rasa ingin tahu.

“…Apa?” suaranya rendah, nyaris seperti geraman.

“Uang? Dokumen? Siapa kau?”

Liang Xun terdiam sejenak, lalu meneguk kopinya pelan, seperti sedang menimbang apakah perempuan ini gila… atau terlalu polos untuk disia-siakan. Senyum samar kembali terbit di sudut bibirnya, kali ini berbeda—ada rasa geli yang ia sembunyikan.

‘Dokumen, uang, dan menikah… begitu saja? Perempuan ini… sebenarnya apa maunya?’ pikirnya dalam hati.

Namun ia tidak mengusirnya. Sebaliknya, ia mencondongkan tubuh sedikit, menatap wanita asing itu dengan mata berkilat penuh misteri.

Hari-harinya yang biasa di penuhi ketegangan, entah mengapa apa yang kini ia hadapi. Ia merasa jika ini aneh dan juga menarik.

-To Be Continue-

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel