
Ringkasan
Bai Lian, putri sah dari keluarga terhormat, kembali menuntut haknya atas warisan dan peninggalan sang ibu. Namun ayah, ibu tiri, dan adik tirinya justru menekan dengan syarat mustahil: ia harus menikah dalam waktu satu bulan, atau semua warisan akan hilang. Terdesak, Bai Lian akhirnya menerima ide gila sahabatnya—menikah kontrak dengan pria asing. Setelah komunikasi singkat, ia pun yakin pria itu adalah jawabannya. Namun, di kantor catatan sipil, tanpa ia sadari, ada kekeliruan besar: pria yang menandatangani buku nikah dengannya ternyata bukan orang yang ia kira. Liang Xun—dingin, penuh rahasia, sekaligus nyaris tidak pernah membuka diri—tiba-tiba menjadi suaminya. Bai Lian semula berniat menjadikan pernikahan itu hanya formalitas belaka, tapi sejak hari pertama kebersamaan mereka, hidupnya berubah menjadi serangkaian kesalahpahaman, keabsurdan, dan intrik yang berbahaya. Dan semakin ia mengenal Liang Xun, semakin jelas bahwa pria itu bukan sekadar "pengganti" dalam pernikahan kontrak. Ia menyimpan identitas besar yang bisa mengguncang dunia Bai Lian, dan sekaligus membuatnya jatuh pada perasaan yang tak pernah ia rencanakan.
1. Syarat yang Mustahil
Suasana ruang tamu kediaman keluarga Bai begitu megah dan dingin. Lampu kristal berkilauan, tetapi bagi Bai Lian, tempat itu lebih mirip penjara daripada rumah. Setelah dua tahun meninggalkan kediaman utama, akhirnya ia kembali—bukan karena rindu, melainkan untuk satu alasan: menuntut peninggalan ibunya.
Bai Lian berdiri dengan tubuh tegak, meski hatinya bergetar. “Ayah, aku datang untuk mengambil barang-barang milik ibu. Itu adalah peninggalannya. Aku pikir, setelah sekian lama, kalian pasti sudah siap mengembalikannya.”
Di sofa utama, duduklah Bai Zhenguo, kepala keluarga, dengan wajah dingin penuh otoritas. Di sampingnya, Madam Qin Ruyan, ibu tiri Bai Lian, tersenyum miring penuh ejekan. Sementara di sisi lain, Bai Yining, adik tiri yang manja, memainkan ponselnya sambil melirik Bai Lian dengan tatapan merendahkan.
“Barang-barang ibumu?” Bai Zhenguo meletakkan cangkir tehnya dengan keras, menimbulkan suara yang menusuk telinga. “Kau meninggalkan keluarga ini dua tahun lalu, dan kini berani-beraninya datang menuntut?”
Bai Lian mengepalkan tangannya. “Aku memang meninggalkan rumah ini, karena aku tak tahan melihat kalian memperlakukan peninggalan Ibu seperti sampah. Tapi aku putri kandungnya, aku berhak—”
“Berhak?” Qin Ruyan menyela dengan tawa dingin. “Kau pikir dunia ini berjalan hanya dengan kata ‘berhak’? Kalau kau benar-benar ingin mengambil peninggalan ibumu, tunjukkan kalau kau memang layak. Kalau tidak, jangan mimpi!”
Bai Lian menoleh, menatap lurus pada wanita itu. “Apa yang kalian inginkan?”
Bai Yining tertawa kecil, suaranya penuh keangkuhan. “Mudah saja, Kakak. Kalau kau benar-benar ingin barang-barang usang itu, kami akan menyerahkannya. Tapi… dengan satu syarat.” Ia menegakkan tubuh, menatap Bai Lian penuh ejekan. “Menikahlah dalam waktu satu bulan.”
Bai Lian terbelalak. “Apa?”
Bai Zhenguo menambahkan dengan nada tegas, “Kalau dalam satu bulan kau bisa menikah secara resmi, barulah peninggalan ibumu akan kami serahkan. Kalau tidak, jangan pernah kembali lagi.”
Bai Lian hampir tak percaya dengan apa yang didengarnya. Itu bukan syarat, melainkan jebakan. Semua orang di ruangan itu tahu betapa ia menutup diri dari hubungan asmara sejak lama, dan dengan reputasinya yang dianggap "anak perempuan tak berguna", mustahil ia bisa menemukan pria yang bersedia menikahinya dalam waktu sesingkat itu.
Qin Ruyan meneguk tehnya dengan santai, seolah menikmati penderitaan Bai Lian. “Kau lihat? Kami cukup adil, bukan? Hanya satu syarat sederhana. Menikah. Seorang wanita sepertimu, seharusnya mudah, kan?”
Bai Yining menambahkan dengan nada penuh sindiran, “Ah, tapi jangan sampai kau membawa pria murahan atau sewaan ya, Kak. Itu akan sangat memalukan bagi nama keluarga Bai.”
Tawa mereka bergema di ruangan itu, menusuk telinga Bai Lian.
Namun di balik tatapan terpojoknya, api kecil mulai menyala di mata Bai Lian. Ia tahu syarat itu diciptakan hanya untuk menjebaknya, supaya ia menyerah, supaya ia meninggalkan semua peninggalan ibunya tanpa perlawanan.
Tetapi justru karena itu, ia tak boleh mundur.
Bai Lian menarik napas panjang, menegakkan tubuhnya. “Baiklah. Satu bulan? Aku terima syarat itu.”
Kali ini, giliran ketiga orang di depannya yang terdiam sesaat—tidak menyangka ia berani menyanggupi.
Dengan senyum tipis yang penuh tekad, Bai Lian menambahkan, “Aku akan menikah. Dan ketika waktunya tiba, aku akan kembali untuk mengambil semua yang memang menjadi milik ibuku.”
Ruangan yang tadinya dipenuhi tawa sinis, kini hening. Hanya mata penuh intrik yang beradu dengan mata seorang wanita yang sudah dipaksa ke sudut, tetapi menolak untuk hancur.
***
Udara sore di halaman kediaman keluarga Bai begitu dingin menusuk. Bai Lian melangkah keluar dengan wajah pucat, dadanya masih sesak oleh kata-kata penuh ejekan dari ayah, ibu tiri, dan adik tirinya.
Pintu besar di belakangnya menutup dengan bunyi gedebuk, seakan menegaskan bahwa rumah itu bukan lagi tempat untuknya.
Tangannya bergetar. Ia mengepalkan jemari hingga kuku menancap ke telapak, mencoba menahan gejolak perasaan. Dua tahun ia berusaha hidup sendiri, dua tahun ia mencoba melupakan luka yang mereka tinggalkan, tapi kini semuanya kembali terbuka.
Dia adalah putri sulung keluarga Bai, dan keluarga Bai bisa berada di posisi saat ini karena kerja keras ibunya di masa lalu. Saat ibunya berusaha memajukan usaha milik keluarga, ayahnya rupanya memiliki simpanan di luar sana. Dan dirinya dengan adik tirinya itu hanya terpaut umur 2 tahun saja. Bukankah itu gila? Berapa lama ibunya sudah dikhianati oleh ayahnya?
Dan kini mereka dengan tenangnya menikmati semua jerih payah ibunya.
3 tahun yang lalu ibunya sakit setelah ia mengetahui perselingkuhan ayahnya, dan akhirnya meninggal. Saat itu Bai Lian masih mencoba untuk bertahan di rumah ini, hingga akhirnya ia tidak sanggup lagi dan keluar dari sini.
“Menikah dalam sebulan…” Bai Lian bergumam lirih, menatap kosong ke arah jalanan yang sepi. “Mereka benar-benar ingin aku gagal. Mereka ingin aku menyerah…”
Air matanya hampir jatuh, namun ia cepat menghapusnya. Tidak. Ia sudah terlalu sering menangis karena mereka.
Saat langkahnya terhuyung di depan gerbang, sebuah suara memanggil.
“Lian!”
Seorang wanita berlari kecil mendekat, membawa tas kerja di bahunya. Su Mei, sahabat sekaligus rekan kerjanya, langsung memegang bahu Bai Lian dengan cemas. “Aku dengar kau datang ke rumah keluarga. Apa yang terjadi? Kau baik-baik saja?” Ia cemas dengan sahabatnya itu, saat tahu sahabatnya datang ke rumah keluarganya ia segera menyusul, meski penjaga di gerbang tidak mengijinkannya masuk.
Bai Lian tersenyum tipis, senyum yang lebih mirip topeng. “Baik? Menurutmu, setelah masuk ke sarang serigala itu, aku masih bisa baik-baik saja?”
Su Mei menatapnya dalam-dalam, lalu menariknya ke arah mobil yang terparkir. “Ayo, kita bicara di tempat lain.”
***
Suasana kafe sederhana itu kontras dengan hati Bai Lian yang masih berkecamuk. Secangkir kopi panas di depannya bahkan belum disentuh.
Su Mei bersandar ke kursi, menatapnya penuh kekhawatiran. “Jadi, mereka benar-benar masih menolak memberikan peninggalan ibumu?” Sudah berulang kali sahabatnya itu menuntut haknya, namun selalu tidak berhasil.
Bai Lian mengangguk. “Kecuali aku menikah dalam waktu sebulan. Hanya itu syaratnya.”
Su Mei terbelalak. “Apa? Itu konyol! Mereka sengaja menjebakmu! Mereka tahu kau….” Ia berhenti, tak tega melanjutkan.
“Kau tahu aku tidak pernah membuka hati pada siapa pun lagi,” Bai Lian melanjutkan sendiri dengan nada getir. “Apalagi untuk menikah. Bahkan jika aku mau, siapa pria waras yang akan setuju menikahi perempuan bermasalah sepertiku hanya dalam sebulan?”
Kata-kata itu keluar seperti pisau yang mengiris dirinya sendiri.
Su Mei menggenggam tangannya, matanya penuh tekad. “Jangan bilang kau akan menyerah, Lian.”
Bai Lian menggeleng keras. “Tidak. Aku tidak akan membiarkan mereka menang. Peninggalan Ibu adalah satu-satunya yang kumiliki darinya. Aku akan mendapatkannya kembali, dengan cara apa pun.”
Keheningan sejenak menyelimuti meja mereka. Lalu Su Mei bersuara pelan, seakan sedang berpikir keras.
“Kalau begitu… bagaimana kalau kau menikah pura-pura?”
Bai Lian menoleh cepat. “Apa?”
Su Mei menatapnya penuh keseriusan. “Ya. Pernikahan kontrak. Cari seseorang yang bisa berpura-pura menjadi suamimu untuk sementara. Setelah barang-barang itu di tanganmu, kalian bisa bercerai diam-diam. Masalah selesai.”
Bai Lian tertegun. Ide itu begitu gila. Begitu berisiko. Tapi sekaligus… satu-satunya jalan keluar.
Hatinya berdegup kencang, antara takut dan… sedikit harapan.
-To Be Continue-
