2. Jalan Keluar yang Gila
Di luar kafe, matahari senja mulai tenggelam. Jalan Bai Lian seolah makin gelap, tapi di dalam dirinya, sebuah pilihan baru mulai terbentuk—pilihan yang akan mengubah hidupnya selamanya.
Suasana kafe makin lengang. Lampu kuning temaram memantul di wajah Bai Lian yang masih terdiam lama setelah Su Mei mengucapkan ide gilanya.
Pernikahan kontrak…
Kedengarannya konyol. Tidak masuk akal. Bahkan memalukan. Tapi… semakin ia pikirkan, semakin ide itu terasa seperti satu-satunya jalan.
Bai Lian menarik napas panjang, matanya menatap kosong pada secangkir kopi yang mulai dingin. “Su Mei… meskipun ide itu gila, mungkin… itu jalan keluar untukku saat ini.”
Su Mei hampir tersedak minumannya. “Kau serius? Aku hanya melemparkan ide, aku tidak menyangka kau benar-benar akan mempertimbangkannya.”
“Aku tidak punya pilihan lain.” Bai Lian menunduk, suaranya rendah tapi tegas. “Aku tidak akan membiarkan ayah dan ibu tiri menginjak-injakku lagi. Peninggalan Ibu harus kembali padaku. Jika satu-satunya cara adalah menikah… maka aku akan melakukannya. Bahkan jika itu hanyalah pernikahan pura-pura.”
Su Mei terdiam sejenak, lalu menyandarkan dagu di telapak tangan, matanya menyipit seperti sedang mengatur strategi. “Baiklah, kalau itu keputusanmu… berarti kita butuh seseorang yang bisa dipercaya. Bukan orang sembarangan.”
Bai Lian menatapnya ragu. “Dan di mana aku bisa menemukan pria yang mau menikahiku dalam waktu singkat, hanya untuk kontrak, lalu bercerai setelah semua selesai? Siapa yang waras mau melakukan itu?”
Su Mei tersenyum miring. “Itu bagian menariknya. Kau butuh seseorang yang tidak terikat, butuh uang, atau… seseorang yang juga punya kepentingan pribadi dengan pernikahan ini.”
Bai Lian terdiam. Kata-kata itu berputar di kepalanya.
Seorang pria asing, yang bersedia menikahinya demi kepentingan sementara.
Hatinya berdegup kencang. Antara takut, malu, dan… sedikit harapan.
“Aku akan mempercayakan ini padamu, Su Mei. Tolong bantu aku mencari pria itu.”
Su Mei menepuk tangan Bai Lian, senyumnya penuh tekad. “Baiklah. Anggap saja ini misi kita. Dalam sebulan, kau harus punya suami—meski hanya kontrak.”
Mereka berdua saling berpandangan, lalu tertawa kecil, menertawakan absurditas keputusan yang baru saja mereka buat. Namun di balik tawa itu, keduanya sadar—mereka benar-benar serius.
Di luar jendela, malam turun perlahan. Kota dipenuhi cahaya lampu, seolah ikut menyaksikan awal dari sebuah permainan berbahaya: pernikahan kontrak yang akan mengikat Bai Lian dengan seorang pria yang bahkan belum ia kenal.
***
Beberapa hari berlalu sejak percakapan aneh itu. Bai Lian hampir tidak bisa tidur nyenyak. Setiap malam ia dihantui bayangan ayahnya yang dengan dingin berkata bahwa ia tidak akan pernah mendapatkan kembali barang-barang peninggalan ibunya.
Hingga akhirnya, sebuah pesan dari Su Mei masuk di ponselnya.
“Aku sudah menemukannya. Orang ini mungkin cocok. Aku akan kirimkan kontaknya.”
Bai Lian menatap layar ponselnya dengan campur aduk: gugup, takut, dan penasaran. Nama yang tertulis sederhana saja—Han.
Dengan jari yang sedikit bergetar, ia memberanikan diri untuk menghubungi pria itu.
Awalnya, percakapan berlangsung datar. Bai Lian menjelaskan situasinya, mencoba sejujur mungkin tanpa membocorkan seluruh rahasia keluarganya.
Di seberang sana, suara pria itu tenang tapi dingin.
“Pernikahan kontrak, ya? Aku tidak keberatan… tapi itu bukan hal kecil. Aku punya syarat.”
Bai Lian menggenggam ponselnya erat-erat. “Syarat apa?”
“Aku butuh bayaran. Cukup besar. Anggap saja ini sebagai kompensasi karena aku akan mempertaruhkan identitas dan waktuku untukmu. Kalau kau setuju, kita langsung bertemu besok. Kita bisa menandatangani kontrak, lalu mendaftarkan pernikahan di kantor sipil.”
Bai Lian tercekat. Bayaran yang diminta benar-benar tidak kecil—bahkan lebih besar dari yang ia bayangkan. Itu berarti… seluruh tabungannya akan terkuras habis.
Ia menutup mata sejenak. Pilihannya hanya dua: menyerah pada permainan kejam keluarga, atau berjudi dengan seorang pria asing yang bahkan belum pernah ia lihat wajahnya.
“Aku setuju.” Suaranya terdengar mantap, meski tangannya dingin.
Hening sebentar. Lalu pria itu tertawa pelan di ujung telepon. “Kau benar-benar berani. Baiklah, besok siang kita bertemu. Jangan terlambat.”
Telepon terputus. Bai Lian terdiam di tempatnya. Tubuhnya gemetar, bukan hanya karena takut, tapi juga karena sadar ia baru saja membuat keputusan paling gila dalam hidupnya.
Bai Lian yang sedang melamun tiba-tiba saja kaget karena ponselnya kembali berdering, saat ia melihat nama Su Mei tertera di layar ponselnya ia segera mengangkat panggilan tersebut.
“Bagaimana?” tanya Su Mei penasaran.
Bai Lian mengangguk lemah, wajahnya pucat meski Su Mei tak akan bisa melihat bagaimana keadaannya saat ini. “Besok… aku akan bertemu dan menikah dengan orang yang bahkan belum pernah kukenal.”
Su Mei terdiam sejenak. “Hei, jangan lihat ini sebagai akhir. Anggap saja ini awal. Siapa tahu pria itu tidak seburuk yang kau bayangkan.”
Bai Lian hanya bisa tersenyum getir. Dalam hatinya, ia berdoa—semoga keputusannya tidak menyeretnya pada penyesalan yang lebih dalam.
Malam itu, ia memandang ponselnya lama sekali, menatap nama nomor ponsel pria bernama Han tadi di layar.
Nama asing yang nantinya… akan menjadi suaminya.
***
Matahari baru saja merangkak naik, cahaya tipisnya menerobos tirai tipis apartemen kecil Bai Lian. Alarm di ponsel berbunyi berkali-kali sebelum akhirnya ia bangun dengan mata sembab—semalaman ia hampir tidak bisa tidur.
Hari ini. Hari yang akan mengikatnya dengan seorang pria asing.
Bai Lian duduk lama di tepi ranjang, tangannya gemetar saat menyentuh gaun sederhana berwarna putih gading yang sudah ia siapkan semalam. Bukan gaun pengantin, hanya gaun kerja yang rapi dan bersih—namun tetap saja, hati kecilnya terasa nyeri karena kenyataan: ia akan menikah tanpa cinta, tanpa keluarga yang mendukung, tanpa pesta bahagia seperti yang dulu pernah ia bayangkan.
Setelah mandi, ia berdiri di depan cermin. Bedak tipis dan lipstik lembut ia poleskan, sekadar untuk menutupi wajah lelahnya. “Kau bisa melakukannya, Bai Lian… ini hanya sebuah kontrak. Tidak lebih.” Ia berbisik pada bayangan dirinya, seolah mencoba meyakinkan hati yang goyah.
Su Mei sempat mengirim pesan singkat: “Aku akan menunggu kabar darimu. Semoga semua lancar, Lian.”
Pesan itu membuat matanya sedikit panas, tapi ia buru-buru menghapusnya agar tidak merusak riasan.
Bai Lian menatap jam dinding, jarum pendek masih menujuk angka delapan. Waktu masih ada, tapi ia merasa seakan-akan sudah terlambat. Tangan mungilnya menggenggam tas erat sekali, sampai buku-buku jarinya memucat.
Ia berjalan mondar-mandir di ruang tamu kecilnya. Setiap kali menatap pintu, jantungnya berdegup kencang, lalu ia berbalik lagi ke arah meja, mengambil ponselnya, lalu meletakkannya kembali. Beberapa kali ia ingin menekan nomor Han—bertanya apakah pria itu benar-benar akan datang, apakah ia tidak akan ditipu, apakah semua ini nyata—namun ia urungkan.
“Tidak, Bai Lian… jangan terlihat panik. Kau harus tenang. Ini hanya kontrak. Hanya kontrak,” gumamnya sambil menekan dadanya yang terasa sesak.
Akhirnya, dengan tarikan napas panjang, ia memutuskan keluar. Sepatu berhak rendah yang ia kenakan beradu pelan dengan lantai koridor apartemen, langkahnya terdengar lebih keras daripada biasanya, mungkin karena telinganya terlalu peka akibat gugup.
Begitu pintu lift terbuka, ia menarik napas panjang sekali lagi. Matanya berkeliling, takut kalau-kalau ada orang asing yang memperhatikannya.
Di perjalanan menuju tempat pertemuan, setiap suara terdengar begitu jelas di telinganya—deru kendaraan, suara klakson, bahkan riuh percakapan orang-orang di halte. Semua seakan menekan batinnya, membuat keringat dingin muncul di telapak tangannya.
Di dalam taksi, ia duduk kaku, jari-jarinya berulang kali memainkan resleting tas. Ponselnya ia genggam erat, menatap layar kosong yang sesekali menyala. Nama “Han” masih ada di sana.
“Jika aku kabur sekarang, apa yang akan terjadi? Tidak, kalau aku menyerah… semua barang peninggalan ibu akan hilang. Aku tidak boleh kalah. Tidak kali ini,” batinnya berulang-ulang, hampir seperti mantra.
Matanya sempat berkaca-kaca, tapi ia buru-buru menoleh ke luar jendela agar sopir tidak curiga. Gedung-gedung tinggi berbaris, cahaya matahari memantul di kaca jendela, menyilaukan penglihatannya. Semuanya terasa asing, padahal ini kota tempat ia tumbuh.
Dan semakin dekat ke lokasi, semakin keras detak jantungnya. Rasanya seperti akan berjumpa dengan nasib—entah nasib baik atau buruk, ia sama sekali tak bisa menebaknya.
-To Be Continue-
