Jejak Hutang Erika
Jessika merasa bahwa meskipun ia sudah meninggalkan rumah, kebebasan yang ia impikan tak kunjung datang. Dunia keluarganya yang kacau nyatanya jauh lebih gelap dari yang ia kira. Ibunya, Erika, yang sudah lama terjerat kecanduan alkohol, ternyata juga berhutang pada rentenir bernama Tony. Tony bukan orang sembarangan—dia adalah sosok yang mengendalikan banyak hal di dunia gelap kota ini, dan dia tak segan-segan melakukan apa saja untuk menagih hutangnya.
Awalnya, Erika hanya meminjam uang untuk membeli alkohol, berjanji akan mengembalikannya dengan cepat. Namun, hutang itu justru menumpuk, dan Tony mulai mendesak. Erika yang semakin terjerat, tak mampu membayar. Kini, Tony datang untuk menagih dengan cara yang lebih keras.
Suatu sore, setelah bekerja di minimarket, Jessika berjalan pulang dengan perasaan cemas. Ia merasa seperti ada yang mengikutinya, tetapi ia berusaha menepisnya. Namun, tak lama kemudian, dua pria besar muncul di depan, memblokir jalannya.
"Kau anaknya Erika, kan?" salah satu pria itu bertanya, dengan nada yang sangat mengancam.
Jessika merasa jantungnya berdetak cepat. "Kenapa kalian mencariku?"
Pria itu tersenyum jahat. "Ibumu punya hutang pada bos kami, Tony. Dan kalau dia nggak bisa bayar, kau yang harus gantiin."
Jessika semakin panik. "Aku nggak bisa bantu apa-apa! Itu bukan urusanku!"
Namun, salah satu pria itu sudah menarik tangannya dengan kasar, menyeretnya menuju sebuah mobil hitam yang terparkir tak jauh dari situ. Jessika berusaha berteriak, tetapi tangannya ditutup dengan cepat.
Sementara itu, Alex sedang berada di kantor ketika salah satu pengawalnya, Marco, melaporkan bahwa seseorang yang ia kenal dari kelompok Tony sedang mengawasi gerak-gerik Jessika. Tanpa ragu, Alex langsung menggerakkan timnya.
"Temukan dia! Cepat!" perintah Alex dengan suara penuh tegas, wajahnya serius. "Jangan sampai mereka nyentuh dia."
Alex tahu betul betapa berbahayanya Tony. Menggunakan jaringan intel yang dimilikinya, Alex berhasil melacak keberadaan Jessika dan menemukan bahwa ia dibawa ke daerah kumuh yang merupakan wilayah kekuasaan Tony.
Jessika akhirnya dibawa ke sebuah gudang tua yang terletak di kawasan kumuh, jauh dari keramaian. Gudang itu gelap, kotor, dan penuh dengan barang-barang tak terpakai. Di dalamnya, Tony—seorang pria kecil tapi sangat licik—menyambut Jessika dengan tatapan penuh perhitungan.
"Kau pasti Jessika, anaknya Erika," kata Tony sambil menilai Jessika dengan senyum sinis. "Cantik juga, sayang sekali kalau terjebak masalah seperti ini."
Jessika berusaha tetap tenang meskipun ketakutan. "Lepaskan aku! Aku nggak tahu apa-apa soal hutang itu!"
Tony tertawa kecil. "Ibumu punya hutang yang nggak bisa dia bayar. Jadi, sekarang kau yang harus bayar, atau semuanya bisa jadi lebih buruk."
Namun, sebelum Tony bisa mendekat, tiba-tiba pintu gudang terbuka dengan keras. Alex masuk dengan langkah penuh wibawa, pistol di tangan, dan tatapan dingin yang langsung mengunci Tony.
"Berhenti, Tony. Lepaskan dia," suara Alex terdengar begitu tegas.
Tony yang semula terlihat santai mulai sedikit gugup. "Ah, Alexandro Lee. Selalu datang tepat waktu, ya? Tapi jangan kira aku takut sama kau."
"Ya, kau harus takut. Kau yang nggak akan keluar dari sini kalau masih terus ganggu dia," jawab Alex, tanpa ragu sedikit pun. "Lepaskan dia sekarang, atau ini akan jadi masalah besar buatmu."
Ketegangan memuncak. Anak buah Tony mulai menarik senjata, tetapi Alex dan timnya sudah siap dengan taktik yang lebih rapi. "Mundur!" teriak Alex dengan suara lantang. "Jangan coba-coba buat masalah lagi."
Tony, yang tadinya merasa percaya diri, akhirnya tahu kalau ia tak punya pilihan lain. "Oke, oke… Kau menang kali ini, Alex. Tapi ingat, masalah ini belum selesai."
Alex melangkah maju, meraih Jessika dan membawanya keluar dari gudang itu. Jessika masih kebingungan, tetapi merasa sangat lega.
Di dalam mobil, Jessika duduk dengan tenang, namun wajahnya masih terlihat terkejut dan bingung. "Alex…" suaranya bergetar. "Aku nggak tahu harus bagaimana lagi. Aku nggak bisa terus hidup kayak gini."
Alex menatapnya dengan lembut. "Tenang aja, Jess. Aku akan selalu ada buat kamu. Kalau ada apa-apa, bilang aja. Jangan simpan semuanya sendiri."
Jessika menunduk, perasaan campur aduk. "Aku tahu… tapi ini lebih besar dari yang aku kira. Ibu terjebak hutang sama orang-orang kayak gitu, dan sekarang aku jadi ikut terseret."
Alex meraih tangan Jessika dengan lembut, memberinya sedikit kenyamanan. "Kamu nggak sendiri, Jess. Aku bakal bantu selesaikan masalah ini. Tapi, kamu harus mulai lebih terbuka sama aku. Ceritakan semuanya."
Jessika mengangguk pelan, meskipun ketakutan masih menghantui dirinya. Dunia yang baru ia masuki—dunia penuh mafia, hutang, dan ancaman—terasa jauh lebih menakutkan daripada yang ia bayangkan. Tetapi satu hal yang ia tahu pasti: ia tidak bisa mundur lagi.
Tony mungkin mundur untuk sementara, tetapi Jessika tahu ini belum berakhir. Hutang ibunya masih ada, dan Tony tak akan berhenti sampai ia mendapatkan apa yang diinginkannya. Di sisi lain, Alex tahu betul bahwa Tony adalah orang yang sangat berbahaya, dan jika ia tidak segera mengatasi masalah ini, maka bukan hanya Jessika yang akan terancam. Dunia yang penuh dengan tipu daya dan konspirasi ini akan terus menguji mereka—terutama apakah hubungan mereka bisa bertahan di tengah semua bahaya yang mengintai.
Setelah kejadian malam itu, Jessika dan Alex kembali ke rumah Alex, yang terletak di kawasan elit kota. Meskipun rumahnya terlihat aman, Jessika merasa cemas. Setiap suara dari luar, setiap langkah kaki yang terdengar, membuatnya terjaga sepanjang malam. Meskipun Alex berusaha menenangkan, ada perasaan yang menggelayuti hatinya, seperti ada bayangan yang tak pernah pergi.
Pagi berikutnya, ketika mereka sedang duduk sarapan, Alex mulai berbicara dengan nada serius.
"Kita nggak bisa terus hidup dalam ketakutan, Jess," kata Alex, sambil menatap Jessika dengan tatapan yang penuh tekad. "Aku sudah berbicara dengan beberapa orang, dan aku akan pastikan Tony nggak akan ganggu kamu lagi. Tapi aku butuh kamu buat lebih terbuka. Apa yang sebenarnya terjadi di antara ibu dan Tony?"
Jessika menghela napas panjang. Ini adalah saat yang paling sulit baginya, tapi ia tahu Alex sudah terlalu banyak terlibat. Ia tidak bisa terus bersembunyi.
"Ibu… dia mulai berhutang pada Tony beberapa bulan lalu. Awalnya hanya pinjam sedikit, cuma buat beli alkohol. Tapi karena terus-terusan nggak bisa bayar, hutangnya makin menumpuk. Tony nggak peduli apa alasan dia. Dia hanya mau uangnya, dan sekarang dia mengincar aku," jelas Jessika, suaranya pelan namun penuh keteguhan. "Aku takut, Alex. Tony nggak akan berhenti sampai dia mendapatkan uangnya."
Alex mendekat, memegang tangan Jessika dengan lembut. "Aku tahu. Tapi jangan khawatir. Aku punya cara untuk menyelesaikan ini. Aku akan pastikan kamu aman."
Jessika menatapnya ragu. "Apa yang akan kamu lakukan?"
Alex tersenyum samar, "Aku akan berbicara dengan beberapa orang yang punya kekuatan di sini. Kita akan atasi ini, satu per satu."
Tak lama setelah percakapan itu, Alex mulai bergerak. Dengan sumber daya yang ia miliki, ia mendekati beberapa tokoh berpengaruh dalam dunia gelap yang berhubungan dengan Tony. Ia tahu, untuk menghentikan Tony, ia harus menghadapinya langsung.
Alex menghubungi seorang pengusaha bernama Vito, yang juga punya hubungan dengan dunia bawah tanah. Vito dikenal memiliki kekuasaan di kalangan rentenir dan kelompok mafia kecil. Meski Vito tidak sepenuhnya bersih, ia adalah orang yang bisa membuat Tony berpikir dua kali sebelum bertindak lebih jauh.
"Vito, aku butuh bantuanmu," kata Alex, suaranya tenang namun penuh tekanan. "Ada orang yang membuat masalah dengan orang yang aku sayang. Aku ingin kamu kasih pelajaran supaya dia tahu siapa yang sebenarnya mengendalikan kota ini."
Vito tertawa kecil di ujung telepon. "Ah, jadi sekarang kamu mau ikut main keras, ya? Baiklah, Alex. Aku akan bantu, tapi ingat, aku nggak bekerja gratis."
"Urusan uang nanti kita bicarakan. Tapi aku ingin Tony tahu bahwa dia sudah menginjak teritorial yang salah," jawab Alex dengan nada serius. "Buat dia tahu, ada konsekuensinya."
Sementara itu, Jessika yang merasa sedikit lebih tenang setelah mendengar Alex akan melakukan sesuatu, mulai kembali ke rutinitasnya. Namun, ia tahu masalah ini belum selesai. Setiap kali ia keluar rumah, ia merasa ada yang mengawasi. Ke mana pun ia pergi, bayang-bayang Tony dan anak buahnya selalu terasa mengintai.
Suatu sore, ketika Jessika berjalan pulang setelah bekerja, ia melihat beberapa pria yang pernah dia lihat bersama Tony di minimarket yang mengikutinya. Mereka berjalan perlahan, memastikan tidak ada yang menyadari mereka. Jessika mempercepat langkahnya, berusaha untuk tetap tenang, namun ketakutannya semakin memuncak.
Ketika ia berbelok menuju jalan yang lebih sepi, salah satu pria itu akhirnya mendekat. "Kau pikir Tony nggak tahu apa yang sedang kamu lakukan, Jess?" katanya sambil tersenyum jahat. "Kami akan datang kapan saja untuk menagih hutang itu, dan kali ini… kami nggak akan segan-segan kalau kamu melawan."
Jessika hampir kehilangan akal. Namun, sebelum ia bisa menjawab atau berlari, sebuah mobil hitam tiba-tiba melaju kencang dan berhenti tepat di depan mereka. Pintu mobil terbuka, dan dari dalam mobil itu keluar Alex dengan wajah dingin, diikuti beberapa pengawalnya.
"Jangan ganggu dia," kata Alex dengan suara tegas, matanya memandang tajam pada pria yang mengancam Jessika. "Kalian sudah cukup bermain-main. Sekarang, pergi."
Pria itu mengangkat tangan, sedikit ragu, namun kemudian mundur dengan cepat. Tanpa kata-kata lagi, mereka segera pergi meninggalkan Jessika dan Alex. Jessika hanya bisa terdiam, memandang Alex dengan rasa terima kasih yang tak terucapkan.
"Terima kasih…" suaranya hampir berbisik. "Kamu terus melindungiku, padahal aku cuma beban buatmu."
Alex tersenyum lembut. "Kamu bukan beban, Jess. Aku nggak akan biarkan apa pun terjadi padamu. Dan aku nggak akan berhenti sampai semuanya beres."
Ancaman Tony yang Kian Meningkat
Meski kejadian itu berhasil diatasi, Alex tahu Tony tak akan tinggal diam. Dia adalah tipe orang yang selalu membalas dendam, dan jika dia merasa terpojok, dia akan menjadi lebih berbahaya. Alex semakin yakin bahwa untuk menghentikan Tony, ia harus menghancurkan jaringan kejahatan yang lebih besar yang mengelilingi pria itu. Namun, itu berarti ia harus menghadapi risiko yang lebih besar, dan Jessika bisa saja semakin terjebak dalam dunia yang sangat berbahaya.
Tony, yang merasa terhina oleh kekalahan kecilnya, mulai mencari cara untuk membalas. Tidak hanya terhadap Alex, tetapi juga terhadap Jessika. Ia tahu, untuk menghancurkan Alex, ia harus membuatnya merasa kehilangan segalanya.
Di sisi lain, Jessika semakin merasa terjebak. Walau ia merasa dilindungi oleh Alex, bayang-bayang Tony masih terus mengintai. Apakah ia akan bisa bertahan dari ancaman ini, ataukah dunia gelap yang mengelilinginya akan menghancurkan hidupnya?
Yang pasti, pertempuran ini baru saja dimulai.
Hari-hari setelah kejadian itu, Jessika merasa hidupnya tidak pernah benar-benar aman lagi. Meskipun Alex terus berada di sisinya, melindunginya dengan segala cara, bayangan Tony dan anak buahnya selalu menghantui pikirannya. Setiap langkah yang ia ambil terasa seperti berada di bawah pengawasan. Sesekali, Jessika merasa seperti ada yang mengikutinya, meskipun tak pernah ada yang benar-benar terlihat.
Alex, yang merasakan ketegangan itu, berusaha untuk memberi lebih banyak perhatian. Mereka menghabiskan waktu bersama di tempat-tempat yang jauh dari keramaian, berusaha mencari ketenangan. Namun, di balik kedamaian itu, Alex tahu bahwa ancaman yang lebih besar sedang menunggu di depan mereka.
"Jess, aku tahu ini berat," kata Alex, sambil memandang Jessika yang duduk di sampingnya di sebuah kafe kecil di pinggiran kota. "Tapi kita nggak bisa terus-terusan hidup dalam ketakutan. Aku sudah buat rencana. Aku akan berurusan langsung dengan Tony."
Jessika menatapnya, sedikit ragu. "Apa maksudmu?"
Alex menatapnya dengan serius. "Aku sudah hubungi beberapa orang yang bisa bantu aku untuk menghancurkan jaringan Tony. Kita nggak bisa biarkan dia terus merajalela."
Namun, Jessika merasa perasaan tidak nyaman kembali muncul. "Tapi, Alex… kita tahu Tony itu bukan orang yang mudah dihancurkan. Bahkan jika kau punya kekuasaan, dia pasti akan melawan dengan cara yang lebih keras."
Alex menghela napas panjang. "Aku tahu risikonya. Tapi ini bukan soal aku. Ini soal kamu. Aku nggak akan biarkan dia menyentuhmu lagi."
Malam itu, setelah perbincangan mereka, Alex mengumpulkan beberapa orang yang ia percaya untuk memulai langkah pertama dalam rencananya. Ia berencana untuk menyerang jaringan Tony, mulai dari orang-orang yang paling dekat dengan Tony—orang-orang yang selama ini mendanai operasinya dan yang punya pengaruh besar di dunia bawah tanah.
"Sekarang saatnya kita bergerak," kata Alex pada salah satu anak buahnya, Vito, yang lebih tahu tentang bagaimana dunia Tony bekerja. "Tony harus tahu, kita bukan orang yang bisa diancam begitu saja."
Vito tersenyum sinis, mengangguk setuju. "Kau ingin buat dia paham bahwa dia nggak bisa main-main. Tapi ingat, Tony nggak akan takut dengan hanya sekedar intimidasi. Kita harus lebih pintar."
Rencana Alex adalah mengurangi kekuatan Tony sedikit demi sedikit—mengambil sumber daya yang mendukung Tony dan membuatnya semakin terpojok. Ia mulai menggali lebih dalam, mencari cara untuk menghancurkan kaki tangan Tony satu per satu, sambil memastikan Jessika tetap aman.
Namun, meskipun Alex merasa yakin, ada satu hal yang masih mengganggunya. Setiap kali ia memikirkan Tony, ia merasa seperti ada sesuatu yang lebih besar sedang berlangsung di balik layar. Tony bukanlah orang yang mudah ditekan, dan Alex tahu ia harus berhati-hati agar tidak terjebak dalam permainan yang lebih berbahaya.
Ternyata, Alex salah. Malam berikutnya, ketika Alex sedang mengatur langkah selanjutnya dengan anak buahnya, sebuah panggilan masuk yang membuatnya terkejut. Itu dari Jessika.
"Alex, mereka… mereka ada di sini," suara Jessika terdengar panik di telepon.
Alex terdiam sejenak. "Apa maksudmu? Siapa yang ada di sini?"
"Seseorang datang ke rumah. Mereka bilang kalau aku nggak bisa lari lagi. Mereka bilang Tony sudah tahu semua tentang kita," jawab Jessika, suaranya hampir pecah.
Alex langsung berdiri dan berlari keluar dari ruang kerjanya. "Jangan khawatir, aku akan segera ke sana. Bertahanlah."
Namun, sebelum Alex bisa bergerak lebih jauh, pintu ruang kerjanya terbuka dengan keras. Dua pria besar, yang jelas bukan orang biasa, masuk dengan cepat. Mereka mengenakan masker, dan tatapan mereka penuh ancaman.
"Alexandro Lee, ada orang yang ingin bicara denganmu," salah satu pria itu berkata, suara rendah dan berat. "Dan mereka ingin Jessika ada di sini saat pertemuan itu."
Alex tidak perlu waktu lama untuk menyadari bahwa ini adalah jebakan. Mereka datang untuk memaksanya masuk dalam permainan yang lebih besar. Tetapi kali ini, Alex tidak akan mundur. Dengan gerakan cepat, Alex memanggil pengawalnya, dan dalam hitungan detik, suasana di dalam ruangan itu berubah menjadi tegang.
"Sampaikan pada Tony kalau aku datang. Kalau dia ingin bicara, kita akan bicara di tempat yang aku tentukan," ujar Alex, suara tegas dan dingin, matanya penuh tekad.
Salah satu pria itu tersenyum, menunjukkan ekspresi sinis. "Oh, kami nggak datang untuk bicara. Tapi… kami akan bawa Jessika. Sepertinya dia terlalu penting bagi kita sekarang."
Alex melangkah maju, langsung menghadap kedua pria itu. "Coba ambil dia, dan lihat apa yang terjadi."
Keheningan terjadi sejenak sebelum ketegangan pecah menjadi kekerasan. Alex dan pengawalnya terlibat dalam pertempuran singkat, namun cukup untuk mengirim pesan—bahwa Alex tidak akan menyerah begitu saja.
Namun, satu hal yang tidak mereka sadari: Tony ternyata sudah memiliki langkah selanjutnya yang lebih besar. Bahkan jika Alex berhasil menang kali ini, permainan ini baru saja dimulai. Tony memiliki kartu truf yang tak pernah mereka duga.
Dengan Jessika dalam bahaya dan ancaman yang kian nyata, Alex tahu bahwa mereka sedang memasuki pertempuran yang akan menguji seberapa jauh mereka bisa bertahan. Dunia gelap yang mengelilingi mereka semakin menuntut, dan kali ini, tidak ada jalan mundur.
Bersambung
