Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Luka di Rumah

Hari-hari Jessika sejak insiden di jalan setapak itu tidak pernah sama. Meskipun Alex berhasil menyelamatkannya dari bahaya, ketakutan dan ancaman yang terus menghantuinya semakin membuat pikirannya kacau. Namun, ada satu masalah lain yang lebih besar dan lebih personal: keluarganya.

Di balik senyum lembutnya di sekolah, Jessika menyimpan rahasia yang kelam. Ibunya, yang dulu penuh kasih, kini berubah menjadi sosok yang tak lagi dikenalnya. Sang ibu, yang pernah bekerja sebagai perawat, telah kehilangan pekerjaannya setahun lalu. Depresi membuatnya mencari pelarian pada alkohol. Ayahnya, yang awalnya berusaha membantu istrinya, malah ikut terjebak dalam kebiasaan buruk itu. Kini, kedua orang tuanya nyaris menghabiskan seluruh waktu mereka di bawah pengaruh minuman keras.

Jessika harus menanggung semuanya sendirian. Ia mengurus rumah, mencari uang tambahan dengan bekerja paruh waktu, dan memastikan dirinya tetap fokus pada sekolah. Namun, semakin hari, beban itu terasa terlalu berat untuk dipikul.

Malam itu, Jessika baru pulang dari pekerjaannya di sebuah minimarket kecil. Langkahnya terasa berat ketika mendekati rumah yang gelap. Ia tahu apa yang menantinya.

Benar saja, saat ia membuka pintu, bau alkohol segera menyengat hidungnya. Botol-botol kosong berserakan di lantai ruang tamu, sementara ibunya duduk di sofa dengan wajah kusut dan mata merah. Di sudut ruangan, ayahnya tertidur dengan posisi tidak wajar, masih memegang botol bir di tangannya.

"Jessika, kau sudah pulang?" suara ibunya terdengar berat, nyaris tidak jelas.

"Iya, Bu," jawab Jessika pelan sambil memungut botol-botol itu dan meletakkannya di tempat sampah.

"Mana uangnya? Kau bawa uang, kan?" Ibunya menatapnya dengan tajam.

Jessika terdiam. Setiap hari, ibunya selalu meminta uang darinya, dan ia tahu untuk apa uang itu. Dengan enggan, Jessika mengeluarkan sebagian kecil uang hasil kerjanya dan meletakkannya di meja.

"Ini cukup untuk makanan, Bu. Jangan dibelikan minuman lagi," katanya dengan nada memohon.

Namun, ibunya hanya tertawa sinis. "Kau tidak tahu apa-apa! Jangan ceramahiku!" bentaknya.

Air mata Jessika hampir tumpah, tetapi ia menahannya. Ia tahu berdebat hanya akan memperburuk keadaan.

Setelah memastikan ayahnya tidak apa-apa, Jessika masuk ke kamarnya. Ia duduk di tepi ranjang, memandang kosong ke arah jendela. Di bawah cahaya bulan yang redup, ia membiarkan air matanya mengalir.

Keesokan harinya, Alex mendapati Jessika terlihat lelah dan murung. Ia mendekatinya di depan sekolah.

"Jess, kau baik-baik saja?" tanya Alex dengan nada lembut.

Jessika tersenyum kecil, tetapi senyumnya tidak sampai ke matanya. "Aku baik-baik saja, Alex. Hanya kurang tidur."

Alex mengernyit. "Kau bisa bohong pada orang lain, tapi tidak pada aku. Ada apa sebenarnya?"

Jessika terdiam cukup lama sebelum akhirnya ia menghela napas. Ia tidak ingin menceritakan masalahnya, tetapi sesuatu dalam diri Alex membuatnya merasa aman. "Ini soal keluargaku," katanya lirih.

Alex menunggu tanpa memaksa, memberinya ruang untuk berbicara.

"Ibuku… dia kecanduan alkohol. Dan ayahku… ikut-ikutan. Setiap hari aku harus menghadapi mereka. Aku bekerja paruh waktu untuk mengurus semuanya, tapi aku merasa semakin lama, aku tidak sanggup lagi." Suaranya mulai bergetar.

Alex menatap Jessika dengan serius. "Kau tidak perlu menanggung semuanya sendirian. Jika ada yang bisa kubantu, katakan saja."

Jessika menatap Alex, matanya berkaca-kaca. "Kenapa kau peduli, Alex? Kau tidak kenal aku sebelumnya. Kau bahkan tidak tahu apa-apa tentangku."

Alex tersenyum tipis. "Karena aku tahu bagaimana rasanya kehilangan kendali atas hidup. Kadang, kita hanya butuh seseorang yang peduli, bukan?"

Kata-kata itu membuat Jessika merasa sedikit lebih ringan. Meskipun masalahnya belum selesai, kehadiran Alex memberikan secercah harapan.

Namun, masalah tidak berhenti di situ. Kebiasaan buruk orang tua Jessika semakin parah. Suatu malam, saat Jessika baru pulang, ia menemukan ayahnya mengamuk. Pria itu marah karena Jessika tidak memberikan seluruh uangnya. Piring pecah berserakan di lantai, sementara ibunya hanya duduk di sofa, tidak peduli pada keributan itu.

"Kau pikir kau siapa, hah?! Kau hanya anak kecil yang tinggal di rumah ini karena belas kasihan!" teriak ayahnya sambil mendekat ke arah Jessika.

Jessika mundur, tubuhnya gemetar. Air matanya jatuh tanpa bisa ia kendalikan. Ia tidak tahu harus berbuat apa.

Di saat yang sama, Alex, yang merasa khawatir karena Jessika tidak menjawab teleponnya, memutuskan untuk datang ke rumahnya. Ketika ia tiba, suara teriakan dari dalam membuatnya langsung menerobos masuk tanpa berpikir panjang.

"Apa yang kau lakukan?!" bentak Alex kepada ayah Jessika.

Ayah Jessika, yang setengah mabuk, menatap Alex dengan tatapan marah. "Siapa kau?! Jangan ikut campur!"

Namun, Alex tidak gentar. Ia berdiri di antara Jessika dan ayahnya, melindunginya. "Jika kau mau menyakitinya, kau harus melewati aku dulu," katanya dengan nada dingin.

Kejadian itu menjadi titik balik dalam hidup Jessika. Setelah malam itu, Alex tidak hanya menjadi pelindungnya dari ancaman luar, tetapi juga dari luka di dalam rumahnya sendiri. Namun, Alex tahu masalah ini tidak akan selesai begitu saja. Ia mulai berpikir, bagaimana cara membantu Jessika keluar dari lingkaran kelam ini, sebelum semuanya terlambat.

Setelah kejadian malam itu, Alex tidak bisa berhenti memikirkan Jessika. Amarahnya meledak saat mengingat bagaimana ayah Jessika nyaris melukai gadis itu. Namun, ia juga tahu bahwa kemarahan saja tidak akan menyelesaikan masalah. Jessika membutuhkan bantuan nyata, dan Alex bersumpah akan melakukan sesuatu.

Jessika terbangun dengan rasa kantuk yang berat. Matanya sembap karena menangis semalaman. Ketika ia melangkah keluar kamar, ruang tamu sudah kosong. Ayahnya mungkin pergi entah ke mana, sementara ibunya masih tergeletak di sofa. Rumah itu berantakan—pecahan kaca, botol alkohol, dan piring-piring kotor tersebar di mana-mana.

Sambil membersihkan kekacauan itu, Jessika memikirkan Alex. Ia tidak tahu bagaimana caranya berterima kasih pada pemuda itu. Tapi di sisi lain, ia merasa malu. Ia tidak ingin Alex semakin terseret ke dalam masalah keluarganya yang rumit.

Namun, Alex tidak membiarkan itu terjadi.

*

Siang itu, Alex mendatangi Jessika di minimarket tempat ia bekerja paruh waktu. Jessika terkejut melihatnya.

"Alex? Apa yang kau lakukan di sini?" tanyanya sambil buru-buru menyembunyikan wajah lelahnya.

Alex menyeringai tipis. "Aku datang untuk memastikan kau baik-baik saja. Kau tidak menjawab pesanku sejak pagi."

Jessika menunduk. "Maaf. Aku… sibuk."

Alex menghela napas. "Jess, aku tidak akan memaksa, tapi kau tahu, aku di sini untuk membantu. Aku tidak bisa diam saja setelah melihat apa yang terjadi di rumahmu semalam."

Jessika terdiam. Hatinya ingin membuka diri, tetapi logikanya berkata lain. "Kau sudah cukup membantu, Alex. Aku tidak ingin merepotkan mu lagi."

Namun, Alex menatapnya dengan serius. "Ini bukan soal merepotkan. Aku tahu kau ingin kuat, tapi kau tidak bisa menghadapi semuanya sendirian. Percayalah, aku hanya ingin memastikan kau keluar dari situasi ini dengan selamat."

Sikap Alex yang tulus membuat Jessika akhirnya luluh. Dengan suara pelan, ia berkata, "Aku tidak tahu harus mulai dari mana. Masalah ini sudah terlalu rumit."

"Kalau begitu, kita mulai dari langkah kecil," kata Alex sambil tersenyum. "Apa kau tahu ada tempat rehabilitasi untuk orang-orang seperti ayah dan ibumu?"

Jessika menggeleng. "Aku pernah berpikir soal itu, tapi biayanya mahal. Dan mereka juga pasti tidak akan mau pergi."

Alex berpikir sejenak, lalu berkata, "Aku akan mencari tahu soal itu. Mungkin ada lembaga sosial yang bisa membantu. Tapi sebelum itu, kau harus aman. Apa kau punya saudara atau teman dekat yang bisa menampung mu sementara waktu?"

Jessika menggeleng lagi. "Aku tidak punya siapa-siapa."

Alex menggenggam bahunya dengan lembut. "Kalau begitu, kau ikut denganku. Tinggal di rumahku untuk sementara."

Jessika terkejut. "Apa? Tidak, Alex. Aku tidak bisa. Itu terlalu—"

"Terlalu apa? Aku tidak akan membiarkanmu kembali ke rumah itu dalam kondisi seperti ini," potong Alex dengan nada tegas.

Malam itu, Alex membawa Jessika ke rumahnya. Rumah besar keluarga Lee terlihat megah, tetapi terasa sepi karena hanya dihuni oleh Alex dan beberapa pelayan. Jessika merasa canggung saat masuk ke dalam, tetapi Alex berusaha membuatnya merasa nyaman.

"Kau bisa tinggal di kamar tamu. Jangan khawatir soal apa pun. Anggap saja ini rumahmu sendiri," kata Alex sambil menunjukkan kamar yang luas dengan tempat tidur nyaman.

Jessika tidak bisa menahan air matanya. "Alex, aku tidak tahu bagaimana caranya membalas semua ini."

Alex tersenyum lembut. "Kau tidak perlu membalas apa pun. Aku hanya ingin kau aman."

Namun, tidak semua berjalan lancar. Keesokan harinya, ayah Alex, Tuan Lee, kembali dari perjalanan bisnisnya. Ia langsung curiga ketika melihat ada seorang gadis asing di rumahnya.

"Alexandro, siapa dia?" tanya Tuan Lee dengan nada dingin.

Alex menjawab dengan tenang, "Namanya Jessika, Ayah. Dia temanku, dan dia butuh tempat tinggal sementara."

Tuan Lee mengerutkan dahi. "Teman? Apa maksudmu? Kita bukan panti sosial, Alex. Kau tidak bisa membawa orang sembarangan ke rumah ini."

"Ayah, tolong jangan ikut campur. Ini urusanku," balas Alex dengan tegas.

Tuan Lee memandang putranya dengan tajam. "Aku tidak akan membiarkan ini terus terjadi. Kalau kau ingin membantunya, cari cara lain. Tapi dia tidak bisa tinggal di sini."

Alex merasa amarahnya mendidih, tetapi ia tahu berdebat hanya akan memperkeruh suasana. "Baik, Ayah. Kalau begitu, aku akan mencari tempat lain untuk Jessika. Tapi aku tidak akan meninggalkannya."

Jessika mendengar percakapan itu dari jauh. Ia merasa bersalah telah menyebabkan ketegangan antara Alex dan ayahnya.

"Alex, mungkin aku harus pergi. Aku tidak ingin membuat masalah untukmu," kata Jessika dengan suara pelan.

Namun, Alex menatapnya dengan tatapan penuh tekad. "Tidak, Jess. Aku akan memastikan kau baik-baik saja, apa pun yang terjadi. Kita akan menemukan cara untuk mengatasi ini.

Di tengah semua kekacauan ini, ancaman baru muncul. Jamal, pemimpin kelompok kriminal yang pernah menyerang Jessika, mendapat kabar bahwa gadis itu kini tinggal bersama Alexandro Lee. Baginya, ini adalah kesempatan emas untuk membalas dendam pada Alex.

"Siapkan anak-anak kita," perintah Jamal kepada anak buahnya. "Kita akan tunjukkan pada Alex siapa yang sebenarnya berkuasa di kota ini. Dan gadis itu… dia akan menjadi umpan yang sempurna."

Sementara itu, Alex dan Jessika tidak menyadari bahaya yang semakin dekat. Mereka hanya tahu bahwa perjuangan baru saja dimulai.

Jessika duduk di ruang tamu rumah Alex malam itu, memandang sekeliling dengan rasa tidak nyaman. Rumah besar itu penuh dengan perabotan mewah, tetapi terasa dingin dan sepi. Alex, meskipun selalu bersikap lembut dan perhatian padanya, memiliki aura misterius yang tidak bisa ia pahami sepenuhnya.

"Aku harus tahu lebih banyak tentang dia," gumam Jessika pada dirinya sendiri.

Alex sendiri sedang berada di ruang bawah tanah, tempat yang ia anggap paling aman untuk berdiskusi dengan anak buahnya. Ruangan itu lebih menyerupai markas daripada rumah biasa, dengan peta besar terpampang di dinding, layar komputer yang menampilkan informasi rahasia, dan beberapa pria bertubuh kekar berdiri siaga.

"Bos, Jamal sudah mulai bergerak. Mereka mengincar gadis itu," kata salah satu anak buahnya.

Alex menatap pria itu dengan dingin, wajahnya berubah serius. "Kita tidak akan membiarkan itu terjadi. Pastikan rumah ini dijaga ketat. Kalau perlu, tingkatkan keamanan di sekitar sekolah dan minimarket tempat dia bekerja."

"Baik, Bos," jawab pria itu sambil memberi hormat.

Setelah anak buahnya pergi, Alex duduk di kursi dengan tangan yang mengepal. Ia tahu bahwa rahasianya sebagai pemimpin salah satu sindikat mafia muda terbesar di kota ini tidak bisa selamanya disembunyikan dari Jessika. Namun, ia tidak ingin gadis itu takut atau menjauhinya.

Saat Alex kembali ke ruang tamu, ia menemukan Jessika sedang berdiri di dekat jendela, memandang ke luar dengan tatapan murung.

"Kenapa kau tidak beristirahat?" tanya Alex, mencoba mengalihkan perhatian Jessika.

"Aku tidak bisa tidur," jawab Jessika tanpa menoleh. Setelah beberapa saat, ia berbalik dan menatap Alex dengan mata penuh keraguan. "Alex, apa kau benar-benar hanya seorang mahasiswa?"

Alex terdiam, wajahnya tetap tenang, tetapi matanya mengisyaratkan ada banyak hal yang ia sembunyikan.

"Kenapa kau bertanya begitu?" balas Alex dengan nada pelan.

Jessika mengambil napas dalam. "Aku melihat sesuatu. Orang-orang yang sering datang ke rumah ini, cara mereka memperlakukanmu seperti... seperti kau seorang pemimpin. Dan tadi aku melihat seseorang membawa pistol di bawah jaketnya."

Alex menyandarkan tubuhnya ke sofa, menatap Jessika dengan tajam. Ia tahu ini saatnya.

"Jess, ada banyak hal tentang aku yang tidak kau tahu. Tapi yang harus kau pahami adalah, aku tidak akan membiarkan siapa pun menyakitimu."

"Jadi itu benar?" desak Jessika. "Kau bukan orang biasa?"

Alex menghela napas panjang. "Aku Alexandro Lee, pemimpin keluarga Lee. Tapi keluarga ini bukan hanya keluarga kaya biasa. Kami menjalankan operasi yang lebih besar, yang orang awam sebut... mafia."

Jessika membeku. Kata itu membuat tubuhnya terasa dingin. "Mafia? Kau bercanda, kan?"

"Kalau saja aku bercanda," jawab Alex sambil menatap lurus ke mata Jessika. "Aku tahu ini sulit untuk kau terima, tapi aku harus jujur. Dunia tempatku hidup berbahaya, tapi aku tidak akan membiarkan dunia itu menyentuhmu."

Sementara itu, Jamal mendapatkan informasi penting dari salah satu anak buah Alex yang membelot. Pria itu memberi tahu bahwa Jessika adalah titik lemah Alex.

"Bos muda itu mungkin kuat, tapi dia akan kehilangan kendali jika gadis itu diserang," kata si pengkhianat.

Jamal tersenyum licik. "Kalau begitu, kita akan gunakan dia sebagai senjata."

Jamal memerintahkan anak buahnya untuk menculik Jessika malam itu. Namun, ia juga merencanakan sesuatu yang lebih besar: menghancurkan markas Alex sebagai peringatan bahwa tidak ada yang bisa mengganggu kekuasaannya.

Malam itu, Jessika sedang berbicara dengan Alex di ruang tamu ketika alarm keamanan rumah berbunyi.

"Diam di sini," perintah Alex tegas, matanya menyiratkan bahaya.

"Apa yang terjadi?" tanya Jessika panik.

"Masalah. Aku harus mengurus ini," kata Alex sambil meraih pistol dari laci meja.

Sebelum Jessika sempat berkata apa-apa, suara tembakan terdengar dari luar. Jessika membeku, tubuhnya gemetar. Alex menoleh ke salah satu anak buahnya yang masuk dengan wajah tegang.

"Bos, mereka sudah masuk ke perimeter. Jamal dan anak buahnya ada di sini," lapor pria itu.

Alex mengutuk pelan. "Jess, dengarkan aku baik-baik. Jika sesuatu terjadi, ada ruang aman di lantai bawah. Pergilah ke sana dan jangan keluar sampai aku datang menjemputmu."

Namun, sebelum Jessika sempat bergerak, pintu depan tiba-tiba dihantam hingga terbuka, dan beberapa pria bersenjata masuk. Jessika menjerit, tetapi Alex dengan cepat menariknya ke belakang punggungnya.

"Jamal!" teriak Alex, matanya menyala penuh kemarahan.

Pria bertato besar itu masuk dengan senyuman licik. "Lama tak jumpa, Alexandro. Aku dengar kau punya tamu istimewa di sini."

"Kalau kau menyentuhnya, aku pastikan ini jadi malam terakhirmu," ancam Alex dingin.

Namun, Jamal hanya tertawa. "Mari kita lihat siapa yang bertahan malam ini."

Di tengah kekacauan itu, salah satu anak buah Jamal berhasil menarik Jessika dari Alex. Gadis itu meronta, tetapi mereka mengancam akan melukainya jika Alex melawan.

"Jess!" teriak Alex, wajahnya berubah panik.

Jamal menyeringai puas. "Kau kalah, Alexandro. Jika kau ingin gadis ini selamat, serahkan wilayah kekuasaanmu padaku."

Namun, di saat yang sama, Jessika tiba-tiba berkata dengan suara pelan, tetapi tajam, "Kalian pikir aku lemah?"

Semua orang menoleh ke arah Jessika. Dan saat itu, untuk pertama kalinya, Jessika menunjukkan sisi lain dari dirinya—sesuatu yang bahkan Alex tidak tahu. Jessika berhasil melawan penculiknya dengan serangkaian gerakan bela diri yang cepat dan mematikan.

Alex terkejut, begitu pula Jamal.

"Jess, apa yang kau lakukan?" tanya Alex dengan nada penuh kekagetan.

Jessika menatap Alex dengan mata penuh dendam. "Aku tidak sepolos yang kau kira, Alex. Aku juga punya rahasia."

Apa sebenarnya rahasia Jessika? Dan bagaimana ini akan mengubah hubungan mereka? Pertempuran besar antara Alex, Jessika, dan Jamal pun dimulai, membawa mereka ke dalam konflik yang jauh lebih rumit dari yang mereka duga.

Bersambung

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel