
Ringkasan
Gadis muda bernama Jessika, menyukai seorang tuan muda, dan ia tak tahu jika sang kekasih memiliki pekerjaan yang sangat berbahaya, dia betnama Alex, pria berdarah timur tengah, penjual senjata dan berbagai hal-hal berbau mafia.
Pertemuan Berdarah
Alexandro Lee, atau Alex, adalah putra tunggal dari keluarga Lee, salah satu keluarga paling terpandang di kota. Meski hidup bergelimang harta, Alex kerap merasa jenuh dengan kehidupan serba sempurnanya. Sore itu, dengan motor sport hitamnya, Alex memilih menyusuri jalan-jalan kecil di pinggiran kota, mencari udara kebebasan yang selalu ia dambakan.
Di tempat lain, Jessika, seorang siswi SMA yang rajin namun sederhana, tengah berjalan pulang dari kegiatan sekolah. Jalan setapak yang ia lewati memang sepi dan rawan, namun sudah menjadi jalur yang biasa ia gunakan. Sayangnya, hari itu keberuntungan tidak berpihak padanya.
Tiga pria berandalan muncul dari arah yang berlawanan. Salah satu dari mereka menyeringai, "Hei, manis. Jalan sendirian, ya? Nggak takut?"
Jessika merasakan dadanya mencelos. Ia mencoba melangkah mundur, tetapi ketiga pria itu semakin mendekat, menghalangi jalannya. "Tolong… biarkan aku pergi," pintanya dengan suara gemetar.
Namun, mereka justru tertawa. Salah satu dari mereka meraih lengannya dengan kasar, membuat Jessika terjerembap ke tanah. "Jangan buru-buru pergi. Kita cuma mau main-main sebentar," katanya dengan nada mengancam.
Jessika menjerit ketakutan, namun jalan yang sunyi membuat suaranya tak terdengar siapa pun. Dalam kepanikan, ia mencoba melawan, tapi tenaganya terlalu lemah.
Dari kejauhan, suara deru motor memecah keheningan. Alex, yang kebetulan melewati jalan itu, langsung menghentikan motornya ketika melihat situasi tersebut. Wajahnya yang semula tenang berubah menjadi tegang.
"Apa yang kalian lakukan?! Lepaskan dia!" bentaknya dengan suara lantang.
Para berandalan itu menoleh. Salah satu dari mereka menatap Alex dengan sinis. "Heh, ini bukan urusan lo, anak tengil! Pergi sebelum lo nyesel."
Alih-alih mundur, Alex melepas helmnya dengan kasar dan melemparkannya ke tanah. "Aku bilang, lepaskan dia!" katanya tegas.
Salah satu dari berandalan, merasa tersinggung, melangkah maju sambil mengayunkan botol kaca. "Lo cari mati, ya?!"
Namun, Alex bergerak dengan gesit. Ia menghindari serangan itu dan membalas dengan satu pukulan keras yang membuat pria itu terjatuh. Pertarungan pun tak terelakkan. Alex, yang ternyata terlatih dalam bela diri, berhasil melumpuhkan dua dari mereka. Namun jumlah mereka membuat Alex kewalahan.
Sebuah tongkat kayu menghantam pelipis Alex, membuat darah mengalir di wajahnya. Meski terluka, ia tidak menyerah. Dengan tekad bulat, Alex mengerahkan seluruh kemampuannya dan berhasil mengusir mereka. Para berandalan itu lari terbirit-birit, meninggalkan Alex yang terengah-engah dengan luka di pelipisnya.
Jessika, yang masih terduduk di tanah dengan tubuh gemetar, segera menghampiri Alex. "Kau terluka! Kita harus pergi ke rumah sakit!" katanya dengan nada cemas.
Alex mengusap darah di wajahnya dan tersenyum samar. "Aku tidak apa-apa. Yang penting kau selamat," jawabnya pelan.
Namun, tatapan Jessika penuh rasa bersalah. "Kalau bukan karena aku, kau tidak akan terluka seperti ini."
"Jangan salahkan dirimu," potong Alex dengan nada tegas. "Orang-orang seperti mereka pantas diberi pelajaran."
Dengan lembut, Alex membantu Jessika berdiri dan mengantarnya pulang. Selama perjalanan, Jessika tak bisa berhenti memandang Alex. Sosok pemuda itu begitu kontras—penampilannya yang cuek dan karismatik ternyata menyembunyikan jiwa pemberani yang tak pernah ia duga.
Setibanya di depan rumah, Jessika menatap Alex dengan mata berkaca-kaca. "Terima kasih. Kalau kau tidak datang, aku tidak tahu apa yang akan terjadi."
Alex mengangguk kecil, lalu menyerahkan sebuah kartu nama. "Hati-hati kalau pulang sekolah. Kalau ada apa-apa, hubungi aku."
Namun, dari kejauhan, seseorang mengintai mereka. Salah satu berandalan yang kabur memperhatikan Alex dengan penuh dendam. "Kau belum selesai denganku, Alexandro Lee," gumamnya dengan geram.
Keesokan harinya, Jessika dan Alex mulai menghadapi konsekuensi dari kejadian itu.
Malam itu, setelah peristiwa di jalan setapak, Jessika duduk di kamarnya. Kepalanya penuh dengan bayangan sosok Alex. Ia tak habis pikir bagaimana seorang pria yang tak dikenalnya tiba-tiba muncul dan mempertaruhkan dirinya untuk menyelamatkannya. Namun, ada rasa bersalah yang mengganjal di hatinya. Luka di pelipis Alex tadi siang terlihat parah, dan ia tidak sempat memastikan keadaan pemuda itu lebih jauh.
Sementara itu, di sisi lain kota, Alex duduk di balkon apartemennya, menatap gemerlap lampu yang memantul di kaca gedung-gedung tinggi. Luka di pelipisnya telah ia bersihkan seadanya. Namun, pikirannya justru sibuk memikirkan Jessika. Ada sesuatu dalam sorot mata gadis itu—ketakutan, rasa syukur, dan ketegaran—yang entah bagaimana membuat Alex ingin melindunginya lebih jauh.
Namun, malam itu tak berakhir tenang.
Di sebuah gudang tua di pinggiran kota, tiga pria berandalan yang Alex hadapi sebelumnya duduk mengelilingi seorang pria besar dengan tato di lengannya. Pria itu adalah Jamal, pemimpin kelompok kriminal lokal yang ditakuti. Wajahnya garang, dan ia tidak suka mendengar kekalahan anak buahnya.
"Jadi, kalian kabur dari seorang anak muda?" tanya Jamal dengan suara berat, menekan setiap kata seperti ancaman.
Salah satu berandalan yang wajahnya memar menjawab dengan nada gemetar, "Dia bukan sembarang anak muda, Bos. Dia tahu cara bertarung. Dan dia bukan orang biasa. Gue kenal wajahnya—dia Alexandro Lee, anak dari keluarga Lee!"
Mendengar nama itu, Jamal mengangkat alisnya. Nama keluarga Lee sangat berpengaruh di kota itu, namun Jamal tidak peduli pada kekuasaan siapa pun. Ia hanya merasa bahwa Alex telah mengusik harga dirinya.
"Kalau benar dia Alexandro Lee, ini urusan besar," gumam Jamal sambil menyeringai. "Aku nggak suka ada orang kaya yang merasa bisa ikut campur di wilayahku."
Ia menyalakan rokoknya, menghembuskan asap dengan tenang, lalu berkata, "Kita akan buat dia menyesal. Cari tahu segalanya tentang dia. Teman-temannya, kebiasaannya, bahkan siapa saja yang dekat dengannya. Dan gadis itu… apa dia penting buat dia?"
"Sepertinya tidak, Bos. Tapi dia yang Alex bela tadi siang," jawab salah satu berandalan.
Jamal tersenyum dingin. "Bagus. Kita mulai dari dia."
Keesokan Harinya
Pagi itu, Jessika berusaha menjalani harinya seperti biasa. Namun, rasa tidak tenang terus menghantui. Di sekolah, ia merasa ada yang mengawasinya, tetapi ketika menoleh, tak ada siapa pun di sana. Ia mencoba mengabaikan perasaan itu dan fokus pada pelajarannya.
Sementara itu, Alex mendapati dirinya terus memikirkan Jessika. Ia tahu gadis itu mungkin ketakutan setelah apa yang terjadi. Setelah pulang dari universitas, Alex memutuskan untuk mengecek keadaannya. Ia menghubungi nomor di kartu namanya, tetapi Jessika tidak menjawab. Hal itu membuat Alex merasa cemas.
Alex memutuskan untuk pergi ke sekolah Jessika. Ia tahu ini mungkin berlebihan, tetapi hatinya berkata bahwa gadis itu membutuhkan perlindungan. Namun, saat tiba di dekat sekolah, ia melihat sesuatu yang mencurigakan. Sebuah mobil van hitam terparkir di seberang jalan, dan beberapa pria tampak mengamati gerbang sekolah.
Ketegangan Alex meningkat. Nalurinya mengatakan bahwa ini bukan kebetulan.
Ketika Jessika keluar dari gerbang sekolah, pria-pria itu langsung bergerak. Salah satu dari mereka mendekati Jessika dengan alasan sepele, sementara yang lain bersiap menculiknya. Namun sebelum mereka sempat bertindak lebih jauh, Alex melesat dengan motornya ke arah mereka.
"Jessika! Mundur!" seru Alex sambil memutar motor untuk menghalangi mereka.
Jessika terkejut melihat Alex, tetapi ketakutan di wajahnya langsung kembali muncul ketika pria-pria itu mulai menantang Alex.
"Lo lagi, anak tengil! Kali ini, lo nggak bakal lolos!" kata salah satu dari mereka sambil mengeluarkan pisau.
Alex menatap tajam. "Kalian memang nggak pernah belajar, ya?"
Alex tidak membawa senjata, tetapi keberaniannya cukup untuk membuat lawan berpikir dua kali. Pertarungan pun kembali pecah, kali ini lebih sengit karena jumlah mereka lebih banyak. Alex, meski seorang diri, tidak gentar. Dengan cepat, ia melumpuhkan satu pria. Namun, saat ia sibuk menghadapi yang lain, salah satu pria berhasil menarik Jessika ke dalam van.
"Alex! Tolong!" jerit Jessika panik.
Alex terkejut, tapi ia tidak menyerah. Ia melompat ke atas van sebelum kendaraan itu sempat melaju jauh, berpegangan pada atapnya sambil mencari cara untuk menyelamatkan Jessika.
Di dalam van, Jessika berusaha melawan, tetapi tenaganya tidak cukup kuat. Alex, yang berada di atap, memecahkan kaca jendela dan masuk dengan cekatan. Ia melumpuhkan pengemudi van, menyebabkan kendaraan itu terguncang dan akhirnya berhenti di tengah jalan.
Namun, saat Alex menarik Jessika keluar, sebuah pukulan keras mendarat di punggungnya, membuatnya jatuh tersungkur. Salah satu pria bersenjata mengar
Bersambung
