Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Balas Dendam

Setelah pertempuran sengit melawan Tony, situasi perlahan mulai tenang. Jessika kini berada di tempat aman bersama Alex dan timnya. Namun, luka dari peristiwa tersebut masih terasa, bukan hanya di tubuh mereka, tetapi juga di hati dan pikiran. Tony mungkin telah ditaklukkan, tetapi Alex tahu bahwa kekuatan gelap yang mendukung Tony masih berkeliaran.

Di markas sementara mereka, Alex berdiri di depan meja besar yang dipenuhi dokumen dan peta, mempelajari jaringan bisnis Tony. Vito, Clara, dan beberapa anggota tim lainnya duduk di sekitarnya.

“Kita tidak bisa menganggap ini selesai,” kata Alex, suaranya tegas namun tenang. “Tony memang telah jatuh, tapi anak buahnya yang lain pasti akan mencoba bangkit. Kita harus menghancurkan seluruh jaringannya.”

Clara mengetik sesuatu di laptopnya dan menampilkan diagram besar di layar. “Ini adalah peta jaringan bisnis ilegal Tony. Beberapa lokasi penting sudah kita identifikasi, tapi ada satu nama yang mencurigakan.”

Alex menyipitkan mata, membaca nama yang tertera di layar: Ivan Dragic.

“Dia pemasok utama Tony,” jelas Clara. “Ivan tidak hanya berbisnis dengan Tony, tapi juga dengan beberapa kelompok kriminal besar lainnya. Kalau kita ingin benar-benar menghancurkan sisa-sisa kekuatan Tony, kita harus mulai dengan Ivan.”

Vito mengangguk. “Tapi Ivan bukan target yang mudah. Dia memiliki pasukan yang jauh lebih terlatih, dan dia dikenal kejam. Ini bukan sekadar pertempuran kecil.”

Alex tersenyum tipis, matanya memancarkan tekad. “Kalau begitu, kita pastikan rencana kita sempurna. Kita akan memukulnya di tempat yang paling menyakitkan.”

Sementara itu, Jessika mencoba memulihkan dirinya. Meski Alex berusaha selalu ada di sisinya, dia tahu bahwa Jessika masih dihantui oleh kejadian penculikannya. Di sudut vila tempat mereka tinggal, Jessika duduk di balkon, menatap langit malam yang penuh bintang.

Clara mendekat, membawa dua cangkir teh hangat. “Kupikir kamu mungkin butuh teman bicara,” katanya sambil duduk di samping Jessika.

Jessika tersenyum lemah. “Terima kasih, Clara. Aku hanya... mencoba memahami semuanya. Rasanya seperti mimpi buruk yang tak pernah berakhir.”

Clara menyerahkan cangkir teh kepada Jessika. “Aku tahu ini berat. Tapi kamu jauh lebih kuat daripada yang kamu pikirkan. Kamu membantu Alex melawan Tony, dan itu sesuatu yang luar biasa.”

Jessika mengangguk, meski matanya tetap terlihat gelisah. “Aku hanya takut, Clara. Aku takut ini belum selesai, bahwa Tony atau orang-orangnya akan kembali.”

Clara menepuk bahu Jessika dengan lembut. “Ketakutan itu wajar. Tapi kamu tidak sendirian. Alex, aku, dan semua orang di tim ini ada di sini untuk kamu. Kita akan memastikan kamu aman.”

Jessika menatap Clara dengan mata berkaca-kaca. “Terima kasih, Clara. Aku hanya ingin hidup normal lagi, tanpa harus terus merasa terancam.”

“Dan kita akan memastikan kamu mendapatkannya,” jawab Clara dengan penuh keyakinan.

Jejak Baru, Musuh Baru

Keesokan harinya, Alex dan timnya memulai langkah baru untuk menghadapi Ivan Dragic. Mereka mengumpulkan informasi tentang markas utama Ivan, sebuah kompleks tersembunyi di tengah kota yang dijaga ketat.

“Kita butuh akses ke dalam,” kata Clara. “Sistem keamanannya jauh lebih rumit daripada milik Tony. Tapi aku mungkin bisa menemukan celah.”

Vito menambahkan, “Kita juga perlu strategi untuk menghadapi anak buah Ivan. Mereka bukan preman biasa.”

Alex mendengarkan dengan seksama, kemudian berkata, “Kita harus menyerang dengan cepat dan tepat. Kalau kita bisa menghancurkan pusat operasinya, kita akan melemahkan seluruh jaringannya.”

Namun, di tengah perencanaan, mereka menerima kabar mengejutkan: seseorang dari masa lalu Alex muncul kembali.

Seorang penghubung tiba di markas.

Setelah kekacauan besar yang terjadi, Alex dan Jessika mencoba kembali ke kehidupan normal, meski tahu bahwa ancaman dari Ivan Dragic—pemain besar di jaringan Tony—bukan hal yang bisa dianggap enteng. Jessika masih tinggal di vila, dengan pengamanan lebih ketat dari sebelumnya. Namun, suasana semakin mencekam karena Alex sadar Ivan tidak akan tinggal diam.

**

Di markas kecil Alex, Vito sedang memeriksa daftar lokasi bisnis Ivan yang disediakan Clara. Peta besar terbentang di meja, dengan lingkaran merah di beberapa lokasi penting.

“Kita harus menekan dia sebelum dia menyerang duluan,” kata Alex sambil menyilangkan tangan di dada.

Clara menatap layar laptopnya dengan serius. “Ivan punya gudang utama di distrik industri. Aku bisa memastikan dia menyimpan sesuatu yang besar di sana, mungkin senjata atau barang ilegal lain.”

Vito mengangguk. “Kalau kita serang tempat itu, dia pasti panik. Tapi ini bukan Tony. Ivan punya lebih banyak pasukan dan pengaruh.”

Alex menatap peta dengan tatapan penuh tekad. “Kalau begitu, kita harus pintar. Buat dia lengah, serang di tempat yang dia kira aman.”

Clara tersenyum tipis. “Aku suka rencananya. Tapi aku butuh waktu untuk meretas sistem keamanan gudangnya. Mereka lebih canggih daripada yang kita hadapi sebelumnya.”

“Lakukan yang terbaik,” jawab Alex.

**

Sementara itu, di vila, Jessika duduk di balkon, mencoba menenangkan pikirannya dengan membaca buku. Tapi pikirannya tetap kembali ke malam saat dia diculik oleh Tony. Kilasan peristiwa itu masih menghantui.

Pengawal pribadi Jessika, seorang pria bernama Leo, melirik dari dekat pintu. “Kamu baik-baik saja, Jess?”

Jessika menoleh, mencoba tersenyum. “Aku baik, Leo. Hanya… ya, sedikit sulit melupakan semuanya.”

Leo mengangguk. “Wajar kalau merasa begitu. Tapi aku yakin Alex akan menyelesaikan ini.”

Jessika menatap Leo dengan penuh harap. “Aku tahu dia akan melindungi ku. Tapi aku ingin semua ini berakhir. Aku ingin hidup tanpa harus merasa takut setiap waktu.”

Leo tersenyum kecil. “Aku juga ingin itu terjadi. Kita semua bekerja untuk memastikan kamu aman, Jess.”

Malamnya, Alex mendapat tamu tak terduga di markasnya. Markus, seorang kenalan lama yang dulu menghilang tanpa jejak, tiba-tiba muncul.

“Kamu masih suka membuat masalah, ya?” kata Markus dengan senyum miring, memasuki ruangan tanpa diundang.

Alex berdiri dari kursinya, wajahnya berubah serius. “Markus? Apa yang kamu lakukan di sini?”

Markus mengangkat tangannya, mencoba terlihat santai. “Santai, aku nggak mau masalah. Aku cuma mau kasih tahu sesuatu.”

Vito menatap Markus dengan curiga. “Apa yang kamu tahu?”

“Ivan,” jawab Markus singkat. “Dia tahu kamu sedang merencanakan sesuatu. Dan dia nggak tinggal diam. Aku dengar dia mau menyerang salah satu gudang kamu malam ini.”

Alex mengerutkan dahi. “Bagaimana kamu tahu semua ini?”

Markus tersenyum tipis. “Aku punya sumber. Lagipula, aku pernah berutang budi pada kamu. Jadi anggap ini bayaranku.”

Meski ragu, Alex tidak punya waktu untuk memeriksa kebenaran ucapan Markus. Dia langsung memberi perintah.

“Vito, kumpulkan tim. Kita harus amankan gudang itu.”

Beberapa jam kemudian, Alex dan timnya tiba di gudang yang dimaksud. Lokasi itu tampak tenang, tapi Alex tahu ini hanya ketenangan sebelum badai. Clara memantau dari jarak jauh, memberikan informasi langsung melalui headset.

“Ada kendaraan mendekat,” kata Clara. “Tiga truk, mungkin dua puluh orang.”

Alex memberi isyarat kepada Vito dan tim lainnya untuk bersiap. Mereka menyebar di sekitar gudang, mencari posisi terbaik untuk menyergap para penyerang.

Ketika truk pertama berhenti di depan gudang, beberapa pria keluar dengan membawa senjata.

“Sekarang!” teriak Alex.

Tembakan pertama dilepaskan oleh tim Alex, memulai baku tembak yang intens. Para penyerang mencoba menyerbu masuk, tapi posisi bertahan Alex membuat mereka kesulitan.

Namun, di tengah kekacauan, salah satu truk melaju kencang ke arah pintu gudang.

“Mereka mau menerobos!” teriak Vito.

Alex segera memberi perintah. “Clara, ledakkan truknya!”

Clara, yang telah meretas sistem kamera di sekitar lokasi, mengaktifkan jebakan kecil yang dipasang sebelumnya. Truk itu meledak sebelum sempat mencapai gudang, membuat para penyerang mundur sementara.

“Bagus kerja timnya,” kata Alex, meski wajahnya tetap serius.

Setelah beberapa jam, serangan akhirnya berhasil dihentikan. Namun, Alex tahu ini bukan akhir.

Markus, yang ikut membantu selama pertempuran, mendekati Alex. “Aku bilang kan, Ivan nggak main-main. Ini baru permulaan.”

**

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel