Jejak Pengkhianatan
Keesokan harinya, tim Alex kembali ke markas dengan rasa lega sementara. Namun, mereka tahu serangan tadi malam hanyalah ujung dari rencana Ivan Dragic. Gudang itu memang berhasil mereka pertahankan, tetapi Alex sadar bahwa Ivan pasti sedang menyiapkan langkah besar berikutnya.
Di ruang utama markas, Clara sibuk mengumpulkan data dari peretasannya semalam. “Aku berhasil masuk ke sebagian sistem Ivan,” katanya, menunjuk pada layar besar yang menunjukkan peta lokasi dengan beberapa titik merah. “Gudang tadi bukan target utama. Ivan menggunakan serangan itu untuk mengalihkan perhatian kita.”
Alex mengerutkan dahi. “Jadi dia menyembunyikan sesuatu di tempat lain.”
Clara mengangguk. “Aku mendeteksi aktivitas mencurigakan di sebuah kompleks pelabuhan yang dia miliki di utara kota. Tempat itu tidak tercatat dalam dokumen resmi bisnisnya. Aku yakin di sanalah pusat operasi barunya.”
Vito menyela, “Pelabuhan itu punya akses ke jalur laut utama. Kalau dia menyelundupkan sesuatu, itu lokasi yang sempurna.”
Alex memandang peta itu dalam diam, pikirannya berpacu. Setelah beberapa detik, dia berkata, “Kita tidak bisa gegabah. Kalau ini benar-benar pusat operasinya, dia pasti menjaganya dengan ketat.”
Clara menambahkan, “Aku bisa memetakan sistem keamanannya, tapi butuh waktu. Ini jauh lebih rumit daripada yang pernah kita hadapi.”
Alex mengangguk. “Lakukan secepat yang kamu bisa.”
Namun, suasana di markas mulai memanas ketika Markus kembali muncul. Kali ini, ia membawa kabar buruk.
“Ivan sudah tahu kalian berencana menyerangnya,” kata Markus, memasuki ruangan dengan wajah serius. “Dia memperkuat keamanan di pelabuhan itu, dan lebih buruknya lagi, dia punya orang dalam di tim kamu.”
Seluruh ruangan hening. Alex menatap Markus dengan tatapan tajam. “Apa maksudmu?”
Markus menoleh ke Vito dan Clara sebelum kembali menatap Alex. “Seseorang di timmu memberi informasi kepada Ivan. Aku tidak tahu siapa, tapi aku yakin ada pengkhianat di sini.”
Clara terlihat terguncang. “Itu tidak mungkin! Semua orang di sini sudah bekerja bersama selama bertahun-tahun.”
Alex mengangkat tangan, meminta semua orang tenang. “Markus, apa kamu punya bukti?”
Markus menggeleng. “Belum. Tapi aku mendengar Ivan menyebutkan sesuatu tentang seseorang di timmu yang memberikan dia akses ke beberapa lokasi strategis.”
Alex menghela napas berat, mencoba menenangkan pikirannya. “Kalau ini benar, kita dalam bahaya besar. Aku ingin semua akses data diperiksa ulang, termasuk komunikasi internal kita.”
Clara mengangguk, langsung kembali ke laptopnya. “Aku akan mulai sekarang.”
Sementara itu, di vila, Jessika masih berjuang mengatasi traumanya. Leo, pengawalnya, tetap berada di dekatnya, berusaha memberikan rasa aman.
“Kamu terlihat lebih baik hari ini,” kata Leo saat dia menemani Jessika di taman vila.
Jessika tersenyum kecil. “Mungkin. Tapi aku tahu ini belum selesai.”
Leo mengangguk. “Tidak, belum. Tapi kamu punya orang-orang hebat yang melindungimu.”
Namun, ketenangan mereka terganggu ketika telepon Leo berdering. Setelah beberapa detik mendengar, wajah Leo berubah serius.
“Ada apa?” tanya Jessika, merasa cemas.
Leo menutup telepon dan menatap Jessika. “Ivan baru saja mengeluarkan ancaman. Dia tahu kamu di sini.”
Jessika merasa jantungnya berhenti sesaat. “Bagaimana dia tahu?”
Leo tidak menjawab, tetapi dia segera menghubungi Alex untuk melaporkan situasi tersebut.
Clara akhirnya menemukan sesuatu yang mencurigakan. “Aku menemukan log aktivitas yang tidak biasa. Ada seseorang yang mengakses data lokasi Jessika tiga hari yang lalu, tetapi menggunakan jaringan anonim.”
Alex berjalan mendekat. “Siapa yang melakukannya?”
Clara mengetik cepat di keyboard. “Aku sedang melacak jejaknya. Tapi yang jelas, ini bukan sembarang orang. Mereka tahu cara menyembunyikan identitas.”
Markus, yang memperhatikan dari dekat, berkata, “Ivan pasti sudah menanam orang di sini sejak lama. Kalau tidak, dia tidak akan tahu sebanyak ini.”
Alex merasakan amarah dan pengkhianatan membakar dadanya. “Kita akan menemukan siapa pengkhianatnya. Dan saat kita tahu, tidak akan ada ampun.”
Clara menatap Alex. “Sementara itu, kita harus memindahkan Jessika. Tempat ini tidak lagi aman.”
Alex mengangguk. “Aku akan menanganinya. Clara, teruskan penyelidikanmu. Markus, kamu ikut aku.”
**
Dengan ancaman Ivan yang semakin dekat dan pengkhianat di dalam tim, Alex memutuskan untuk mengambil langkah drastis. Dia mengatur tim kecil untuk melakukan penyusupan ke pelabuhan Ivan, sementara Jessika dipindahkan ke lokasi rahasia.
Namun, dalam perjalanan ke pelabuhan, Markus mulai menunjukkan perilaku mencurigakan. Bisakah Alex mempercayainya, atau akankah Markus menjadi kunci dari pengkhianatan ini?
Bab Lanjutan: Muslihat di Balik Kepercayaan
Dalam perjalanan menuju pelabuhan, Alex duduk di depan bersama Markus. Di belakang van, Vito dan dua anggota lainnya sibuk memeriksa senjata mereka. Malam semakin larut, namun suasana di dalam kendaraan dipenuhi ketegangan yang tebal.
Markus mencoba mencairkan suasana. “Kamu kelihatan tegang, Alex. Santai saja, aku sudah bilang, aku di pihakmu.”
Alex melirik Markus sekilas, matanya tajam. “Aku harap begitu. Tapi sampai aku melihat hasilnya, aku tidak akan percaya sepenuhnya.”
Markus tertawa kecil. “Adil. Aku juga mungkin akan bersikap sama kalau aku di posisimu.”
Vito, yang duduk di belakang, menyela, “Kita harus ingat, ini bukan hanya soal menyerang Ivan. Kalau ada sesuatu yang salah, kita semua dalam bahaya.”
Alex mengangguk. “Semua orang siapkan diri. Kita mungkin menghadapi lebih banyak dari yang kita perkirakan.”
Setibanya di dekat pelabuhan, mereka memarkir van di lokasi aman. Clara, yang memantau dari jarak jauh melalui drone, memberikan arahan langsung melalui earpiece.
“Ada dua penjaga di gerbang depan,” kata Clara. “Tapi aku mendeteksi setidaknya sepuluh orang lagi di dalam kompleks. Ivan tidak main-main.”
Alex memberi isyarat kepada tim untuk menyebar. Markus tetap di sisinya, sementara Vito memimpin dua anggota lainnya ke sisi timur untuk mencari jalur masuk lain.
Namun, ketika mereka mendekati gudang utama, Alex merasakan ada yang tidak beres. Semuanya terlalu sepi. Dia mengangkat tangannya, menghentikan langkah timnya.
“Ini jebakan,” bisiknya tajam.
Markus terlihat bingung. “Jebakan? Tidak mungkin. Informasiku mengatakan Ivan tidak tahu kita akan ke sini.”
Alex menatap Markus, curiga. “Kamu terlalu yakin untuk seseorang yang baru saja kembali ke tim ini.”
Sebelum Markus sempat menjawab, tembakan tiba-tiba terdengar dari arah belakang mereka. Melalui radio, salah satu anggota melaporkan dengan panik, “Mereka menyerang dari belakang! Kita terjebak!”
Baku tembak berlangsung sengit. Alex, Markus, dan Vito berlindung di balik kontainer besar, sementara penjaga Ivan menyerang dari segala arah. Clara terus memberikan arahan melalui kamera drone.
“Alex, aku mendeteksi lebih banyak pasukan datang dari sisi timur. Mereka membawa kendaraan berat!” suara Clara terdengar mendesak.
Alex mengutuk dalam hati. “Kita harus keluar dari sini.”
Markus tiba-tiba berkata, “Aku bisa menciptakan pengalihan! Beri aku waktu!”
Alex menatap Markus tajam. “Kenapa aku harus percaya kamu?”
Markus membuka jaketnya, menunjukkan rompi peledak kecil yang sudah ia pasang. “Aku tidak punya rencana kabur. Ini semua atau tidak sama sekali.”
Vito terlihat ragu, tetapi Alex akhirnya mengangguk. “Kalau kamu mencoba berkhianat, aku akan mengejar mu sampai ke ujung dunia.”
Markus tersenyum samar. “Percayalah, aku tidak akan mengecewakanmu.”
Dengan cepat, Markus bergerak ke arah berlawanan, membawa alat peledak. Beberapa menit kemudian, ledakan besar mengguncang area pelabuhan, menghancurkan sebagian gudang.
Clara berseru melalui radio. “Itu berhasil! Sebagian besar pasukan Ivan teralihkan ke ledakan. Kalian punya jalan keluar sekarang.”
Setelah berhasil keluar dari pelabuhan, tim kembali ke markas dengan tubuh lelah dan luka. Markus muncul beberapa saat kemudian, tertatih-tatih dengan luka di lengan.
“Kuharap itu cukup membuktikan aku di pihakmu,” kata Markus, suaranya terdengar lelah.
Alex tidak menjawab langsung. Ia hanya menatap Markus dengan tatapan tajam, mencoba mencari kebenaran di balik kata-katanya.
Vito, yang masih tampak gelisah, akhirnya angkat bicara. “Alex, aku tahu dia membantu. Tapi kita tetap harus waspada. Pengkhianat itu mungkin bukan Markus, tapi kita belum tahu siapa.”
Alex mengangguk. “Kita akan terus memeriksa semua jejak. Sampai kita tahu siapa yang mengkhianati kita, tidak ada yang benar-benar aman.”
Clara, yang baru saja menyelesaikan analisis tambahan, mendekat dengan ekspresi tegang. “Aku menemukan sesuatu di data sistem kita. Ada file yang diakses oleh seseorang dengan tingkat akses tinggi. Jejaknya mengarah ke seseorang yang tidak kita duga.”
Semua orang menatap Clara dengan tegang.
“Leo,” kata Clara pelan. “Pengawal pribadi Jessika. Dia yang memberi Ivan informasi tentang lokasi Jessika.”
Alex merasa dadanya seperti dihantam palu. “Leo? Itu tidak mungkin. Dia sudah bersamaku selama bertahun-tahun.”
Clara menatap Alex penuh penyesalan. “Data tidak pernah berbohong, Alex. Aku juga ingin percaya dia tidak bersalah, tapi semua bukti mengarah padanya.”
Alex menarik napas panjang. “Kalau begitu, kita harus bertindak sebelum dia sempat menyakiti Jessika.”
Di vila, Jessika duduk di balkon, mencoba menikmati angin malam. Namun, perasaan gelisah terus menghantuinya. Leo berdiri tak jauh, memperhatikan dengan sikap siaga.
“Kamu baik-baik saja, Jess?” tanya Leo, suaranya lembut.
Jessika menoleh dan tersenyum kecil. “Aku baik. Tapi aku masih merasa semuanya belum benar-benar selesai.”
Leo mengangguk. “Itu wajar. Tapi percayalah, Alex akan memastikan semua ini berakhir.”
Namun, di balik senyum Leo, ada sesuatu yang berbeda. Tatapannya dingin, dan tangannya sesekali menyentuh ponsel di sakunya.
Di markas, Alex memimpin tim menuju vila. Mereka tahu waktu sangat mendesak. Saat van berhenti beberapa blok dari vila, Alex memberi perintah. “Jangan ada yang bertindak sebelum aku memberi sinyal.”
Ketika mereka mendekati pintu vila, suara Jessika terdengar dari dalam. “Leo? Kenapa kamu terlihat tegang?”
Alex langsung memberi isyarat pada timnya. Mereka mendobrak masuk, senjata siap. Jessika terkejut melihat Alex dan timnya muncul dengan begitu mendadak.
Leo berdiri perlahan, kedua tangannya terangkat. Tapi di wajahnya, tidak ada rasa bersalah. “Kamu salah langkah, Alex.”
Alex mengarahkan senjatanya. “Jelaskan kenapa kamu mengkhianati kami.”
Leo tersenyum dingin. “Kamu selalu berpikir kamu bisa mengendalikan semuanya. Tapi kali ini, kamu terlalu lambat.”
Tepat saat itu, suara ledakan terdengar dari belakang vila. Alex sadar, ini adalah permainan Ivan sejak awal.
**
