Episode 5
Episode 5
"Lambang Itu Darah Itu"
Pagi menyelimuti Desa Wening dengan kabut tipis. Di dalam rumah tua itu, Naira berdiri di depan lemari kayu tua milik neneknya. Jemarinya gemetar saat membuka satu per satu laci kecil, mencari petunjuk soal lambang yang ia lihat dalam mimpi.
Raka berdiri di sudut ruangan, tangannya terlipat di dada, matanya tak lepas dari Naira.
"Kalau kamu nemuin lambang itu, artinya mimpi kamu bukan sekadar bunga tidur," kata Raka serius.
Naira mengangguk, jantungnya berdebar tak karuan. "Aku yakin lambang itu… lambang keluarga kita. Tapi kenapa… ada hubungannya sama kematian Larasati?"
Raka mendekat, kini berdiri di belakang Naira. Kehangatan tubuhnya membuat Naira sedikit tenang, meski dadanya masih dipenuhi tanya.
"Larasati dulu bagian dari keluarga ini, Na. Tapi dia dibuang… dianggap aib… karena jatuh cinta sama orang yang gak direstui," jelas Raka pelan.
Naira menggigit bibir. "Tapi kalau dia dibunuh sama keluarga sendiri… itu lebih parah dari aib."
Mereka terus mengobrak-abrik lemari tua itu, hingga Naira menemukan sebuah kotak kayu kecil. Di atasnya, terukir lambang yang sama persis dengan yang ia lihat dalam mimpi.
Lambang keluarga Darmawan.
"Ini dia," bisik Naira.
Kotak itu terkunci. Tapi Raka dengan sigap mengeluarkan kunci kecil dari saku jaketnya. "Aku nemu ini waktu bersihin kamar nenek kamu. Kayaknya buat kotak ini."
Dengan tangan gemetar, Naira membuka kotak itu.
Isinya membuat napasnya tercekat.
Surat-surat tua, foto-foto lawas, dan… sebuah cincin perak dengan lambang keluarga Darmawan. Cincin yang sama persis seperti di tangan pria yang mendorong Larasati dalam mimpinya.
"Ini… cincin itu," bisik Naira, matanya berkaca-kaca.
Raka menatap cincin itu tajam, rahangnya mengeras.
"Aku pernah lihat cincin ini… dipakai Om kamu, Pak Bram," ujar Raka dingin.
Naira memandang Raka tak percaya. "Om Bram? Om aku yang tinggal di luar kota itu?"
Raka mengangguk pelan. "Iya. Dia salah satu pewaris keluarga Darmawan. Kalau dugaanku bener… dia tau sesuatu soal kematian Larasati."
Naira terduduk lemas, rasa takut dan kecewa bercampur jadi satu.
Tapi di tengah kekalutan itu, Raka berlutut di depannya, tangannya menggenggam tangan Naira dengan kuat.
"Aku tau ini berat, Na. Tapi kamu gak sendirian. Selama aku di sini, gak ada yang bisa nyentuh kamu. Termasuk… keluarga kamu sendiri."
Tatapan mereka bertemu. Di balik ketegangan dan misteri, ada getaran yang sulit diabaikan. Sesuatu yang tumbuh… meski mereka tau, cinta ini… bisa berbahaya.
**
"Mengejar Kebenaran"
Hari itu, langit Desa Wening muram, seolah tahu rahasia besar akan segera terungkap. Naira berdiri di samping mobil tua milik Raka, tas kecil di pundaknya, wajahnya tegang.
"Jadi… kita beneran ke kota?" tanya Naira, menatap Raka yang sibuk memeriksa mesin mobil.
Raka mengangguk, tatapannya serius. "Om Bram tinggal di sana. Kalau dia bener-bener tau soal Larasati… kita harus ketemu dia."
Naira menarik napas panjang, matanya menerawang ke arah jalan kecil yang membawa mereka keluar dari desa. Ada rasa ragu, takut, sekaligus… semangat aneh di dadanya.
Mereka berdua masuk ke dalam mobil, perjalanan ke kota dimulai. Sepanjang jalan, kabut tipis mengikuti mereka, pohon-pohon pinus bergoyang seolah mengucap selamat tinggal.
Di dalam mobil, hening. Hanya suara mesin tua yang menemani.
Tapi Naira gak bisa menahan diri untuk melirik Raka. Pria itu serius menyetir, wajahnya tegas, matanya fokus ke jalan.
"Raka…," gumam Naira akhirnya.
Raka menoleh sekilas. "Hmm?"
"Kamu beneran gak takut? Nyari tau soal keluarga aku, soal Om Bram?"
Raka tersenyum tipis, satu tangannya masih mantap di setir. "Aku gak takut sama siapa-siapa, Na. Aku cuma takut… kehilangan kamu."
Naira terdiam, pipinya memanas. Kata-kata Raka singkat, tapi nancep ke hati.
"Aku gak akan kemana-mana," bisik Naira akhirnya.
Raka menatapnya sebentar, senyum kecil muncul di sudut bibirnya. "Kamu harus janji, Na. Apapun yang kita temuin nanti… jangan pernah pergi dari sini."
Tangan Raka meraih tangan Naira di atas paha, genggamannya kuat, hangat, bikin jantung Naira berdetak lebih kencang.
"Aku janji," bisik Naira.
Beberapa jam kemudian, di Kota Malya.
Mereka sampai di rumah besar bergaya klasik, cat putihnya mengelupas, pagar besi tinggi mengelilinginya. Rumah milik Bram Darmawan, Om Naira.
Naira menatap rumah itu dengan dada berdebar. "Aku… gak pernah kesini sebelumnya."
Raka mengangguk. "Aku ikut kamu masuk. Gak peduli dia keluarga kamu, aku gak bakal biarin dia intimidasi kamu."
Naira mengangguk, rasa takutnya sedikit berkurang karena kehadiran Raka.
Mereka mengetuk pintu. Tak lama, seorang pria paruh baya membuka. Wajahnya dingin, matanya tajam…
Bram Darmawan.
Tatapan pria itu turun ke arah Naira, dan untuk sesaat… wajahnya kaku. Seperti melihat hantu.
"Larasati…?" Gumam Bram pelan.
Naira terdiam, jantungnya nyaris berhenti.
Raka maju setengah langkah, sorot matanya tajam.
"Bukan. Ini Naira. Keluarga kamu… dan dia datang untuk kebenaran."
Bram hanya terpaku diam.
*****
