Episode 6
Episode 6
"Tatapan Yang Menyimpan Luka"
Bram Darmawan berdiri di ambang pintu, tubuhnya kaku seperti patung. Matanya terus terpaku pada wajah Naira, seolah dia melihat bayangan masa lalu yang tak pernah dia lupakan.
"Larasati…," gumam Bram lagi, suaranya gemetar.
Naira menegakkan tubuh, mencoba mengatur napas. "Aku Naira, Om. Cucu Bu Lastri. Tapi aku rasa… Om tau kenapa aku mirip Larasati."
Bram menarik napas dalam, tatapannya berubah tajam. "Kalian masuk."
Mereka bertiga duduk di ruang tamu rumah besar itu. Dindingnya dipenuhi foto-foto keluarga, beberapa di antaranya menampilkan lambang keluarga Darmawan lambang yang sama dengan cincin yang ditemukan Naira.
Raka duduk di samping Naira, tubuhnya condong ke depan, siap melindungi kapan saja.
"Jadi… kamu udah tau soal Larasati?" tanya Bram akhirnya.
Naira mengangguk. "Aku tau dia bukan bunuh diri. Ada yang dorong dia ke danau. Dan aku yakin… Om tau siapa."
Bram terdiam lama. Matanya menerawang, seolah dihantui bayangan masa lalu.
"Aku masih kecil waktu Larasati meninggal," ujar Bram akhirnya. "Tapi aku inget… malam itu, ayah kita, kakekmu marah besar sama Larasati. Dia bilang… cinta Larasati memalukan keluarga."
Naira mengepalkan tangannya. "Kakek aku? Dia… yang ngebunuh Larasati?"
Bram menggeleng. "Aku gak yakin. Tapi malam itu… aku lihat cincin ini," Bram mengangkat tangannya, menunjukkan cincin perak berlambang keluarga Darmawan. "Aku temuin di tepi danau. Cincinnya kotor… ada bekas lumpur dan… darah."
Raka dan Naira saling pandang. Potongan puzzle itu mulai menyatu.
"Jadi… kakek aku ngebuang Larasati karena dia pacaran sama penjaga rumah?" tanya Naira pelan.
Bram mengangguk. "Penjaga rumah itu… adalah kakeknya Raka."
Naira menoleh kaget ke arah Raka. Pria itu menatap Bram tajam, wajahnya mengeras.
"Jadi… keluarga kita… udah terikat sama kutukan ini sejak dulu," bisik Naira.
Bram berdiri, mengambil sebuah foto tua dari laci. Dalam foto itu, tampak Larasati muda berdiri di samping seorang pria berwajah mirip Raka—leluhur mereka.
"Aku gak tau semua detailnya, Naira," ujar Bram. "Tapi satu hal yang pasti… Larasati gak pernah bunuh diri. Dan dia masih… menunggu keadilan."
Hening. Naira merasakan udara di ruangan itu semakin berat, seolah bayangan masa lalu ikut mengelilingi mereka.
Raka meraih tangan Naira, genggamannya erat, hangat.
"Kita bakal bongkar semua ini, Na. Aku janji," ucap Raka, tatapannya penuh keyakinan.
Dan untuk pertama kalinya, Naira merasa… meski masa lalu kelam, masa depannya perlahan mulai menemukan cahaya bersama Raka.
**
"Danau Yang Menyimpan Sumpah"
Perjalanan pulang ke Desa Wening terasa lebih berat dari sebelumnya. Di dalam mobil, Naira diam termenung, pikirannya penuh bayangan wajah Larasati, cincin berlambang keluarga, dan tatapan penuh luka dari Om Bram.
Raka menyetir dengan satu tangan, tangan satunya lagi tak lepas menggenggam tangan Naira di pangkuannya.
Diam-diam, genggaman itu jadi satu-satunya hal yang bikin Naira merasa kuat.
"Kamu masih mikirin kata-kata Om Bram?" Tanya Raka tanpa mengalihkan pandangan dari jalan.
Naira mengangguk. "Aku gak nyangka… semua ini berhubungan sama darah keluarga aku sendiri."
Raka mengencangkan genggamannya. "Kita udah mulai buka semua ini, Na. Gak ada jalan mundur. Tapi aku janji… aku di samping kamu, sampai semua selesai."
Naira menoleh, matanya bertemu tatapan hangat Raka. Senyum tipis terukir di bibirnya.
"Kalau semua ini selesai… kamu masih mau di samping aku?" tanya Naira, setengah bercanda, setengah serius.
Raka tersenyum kecil, matanya menatap Naira dalam. "Bukan cuma selesai, Na. Sampai kamu bosen liat aku."
Naira nyengir malu, pipinya memerah.
Beberapa jam kemudian, di tepi Danau Wening.
Malam mulai turun. Kabut tipis menyelimuti danau, menciptakan suasana mistis yang bikin bulu kuduk berdiri. Mbah Sri sudah menunggu mereka di sana, berdiri dengan tongkat kayu dan beberapa dupa di tangannya.
"Kalian udah siap?" Tanya Mbah Sri.
Naira dan Raka mengangguk.
"Kita gak bisa manggil arwah Larasati begitu aja," jelas Mbah Sri. "Tapi kita bisa buka portalnya… biar dia nunjukin kebenaran."
Naira menelan ludah. Raka menggenggam tangannya makin erat.
Ritual dimulai. Dupa menyala, asap mengepul ke udara. Mantra-mantra kuno dilantunkan oleh Mbah Sri.
Tiba-tiba, air danau beriak pelan… meski tak ada angin.
Dari balik kabut, perlahan muncul sosok perempuan bergaun putih. Rambut panjangnya tergerai basah, wajahnya pucat, tapi tatapannya penuh luka.
Itu Larasati.
Naira menahan napas. Tubuhnya gemetar, tapi ia tak melepaskan genggaman Raka.
Larasati menatap mereka lama, sebelum bibirnya terbuka… suaranya lirih, nyaris tak terdengar, tapi cukup jelas.
"Kebenaran… ada di makam tua… di balik hutan…"
Kabut semakin tebal. Larasati menghilang perlahan, meninggalkan mereka dalam hening.
Mbah Sri mengangguk. "Kalian harus ke makam tua itu. Di sana… semua jawaban ada."
Raka menoleh ke Naira, sorot matanya penuh tekad.
"Kita akan selesaikan ini, Na. Sampai akhir."
Naira mengangguk, matanya berkaca-kaca. Di balik semua ketakutan, hatinya semakin yakin… bersama Raka, ia sanggup menghadapi apapun.
*****
