Episode 4
Episode 4
"Bayangan Di Danau"
Sore itu, kabut turun lebih cepat dari biasanya. Udara lembab dan dingin membalut Desa Wening, seolah alam ikut menyembunyikan rahasia yang sudah lama terkubur.
Naira berjalan di samping Raka menyusuri jalan setapak menuju danau di belakang rumah tua itu. Danau tempat Larasati ditemukan tak bernyawa puluhan tahun lalu.
Langkah mereka pelan, tak ada suara selain desir angin dan sesekali ranting kering yang patah di bawah kaki mereka.
"Kenapa baru sekarang kamu ajak aku ke sini?" tanya Naira, memeluk jaketnya rapat-rapat.
Raka menatap lurus ke depan. "Karena semakin kamu dekat ke tempat ini… semakin kuat 'dia' terhubung sama kamu."
Naira terdiam. Di dalam hati, rasa takut dan penasaran bercampur jadi satu.
Sesampainya di tepi danau, airnya tenang, nyaris tak bergelombang. Permukaan air memantulkan bayangan pohon-pohon besar di sekelilingnya.
Di tengah ketenangan itu, ada sesuatu yang membuat bulu kuduk Naira berdiri.
Di seberang danau, samar-samar… ia melihat sosok perempuan berdiri. Rambutnya panjang, gaun putihnya berkibar pelan tertiup angin.
Wajahnya… Naira nyaris tak bisa percaya…
Itu dirinya sendiri.
Naira mundur setengah langkah. "Raka… kamu lihat itu?"
Raka menatap tajam ke seberang danau. Rahangnya mengeras.
"Itu… bayangan Larasati."
Sosok perempuan itu tersenyum tipis, lalu perlahan… menghilang ke balik kabut.
Naira memegang lengan Raka, tubuhnya gemetar. Untuk pertama kalinya, ia sadar betapa kuat dan hangat tangan Raka. Di balik dinginnya sikap Raka, ada rasa aman yang aneh.
"Kamu yakin aku aman di sini?" bisik Naira.
Raka menatapnya, sorot matanya melunak. "Selama aku ada di sampingmu… iya."
Diam-diam, Naira tahu hatinya mulai goyah. Kata-kata Mbah Sri terngiang di kepala:
"Jangan biarkan hatimu jatuh pada laki-laki ini…"
Tapi bagaimana bisa dia menghindarinya… kalau setiap detik bersama Raka, rasa itu tumbuh… perlahan… dan berbahaya?
**
"Malam Saat Bayangan Itu Memanggil"
Malam itu, hujan turun gerimis. Langit gelap, sesekali kilat menyambar jauh di ujung bukit. Rumah tua peninggalan nenek Naira terasa lebih sunyi, lebih mencekam daripada biasanya.
Naira duduk di depan cermin kecil di kamar, memandangi bayangannya sendiri. Tapi… sesuatu terasa aneh.
Matanya… bukan lagi matanya sendiri. Tatapannya lebih tajam, lebih dewasa, lebih… sedih.
Tiba-tiba, cermin itu berkabut. Dan di balik bayangan dirinya, perlahan muncul wajah Larasati. Wajah yang begitu mirip dengannya, tapi penuh luka.
"Temukan kebenaran, atau aku tak akan pernah pergi…"
Suara itu terdengar… jelas… di kepala Naira.
Naira terlonjak, cermin nyaris jatuh dari tangannya. Ia mengatur napas, mencoba menenangkan diri. Di luar kamar, suara langkah kaki terdengar mendekat.
Tok… tok…
Pintu kamar terbuka, Raka muncul dengan tatapan waspada.
"Kamu mimpi lagi?" tebaknya.
Naira menggeleng, masih gemetar. "Aku lihat dia… di cermin."
Raka menarik napas dalam, lalu duduk di samping Naira. Tangannya besar dan hangat, menggenggam tangan Naira tanpa bicara.
Untuk sesaat, kehadiran Raka jadi satu-satunya hal yang membuat Naira merasa… hidup.
"Kalau kamu takut… jangan tidur sendiri malam ini," ucap Raka pelan.
Naira menatapnya, hatinya berdebar. "Maksud kamu…?"
Raka tersenyum tipis. "Aku tidur di depan kamar, jaga kamu. Itu maksudku."
Naira nyaris tertawa, tapi di balik itu, ada rasa hangat yang mengalir di dadanya.
*****
