
Ringkasan
Naira, seorang mahasiswi seni dari Jakarta, datang ke desa terpencil untuk meneliti lukisan-lukisan tua di rumah peninggalan neneknya. Di sana, ia bertemu dengan Raka, seorang pria pendiam penjaga rumah desa. Namun ada satu lukisan tua bergambar wanita muda yang wajahnya sangat mirip dengan Naira—dan setiap malam, lukisan itu berubah sedikit demi sedikit. Naira dan Raka pun perlahan terseret ke dalam kisah cinta masa lalu yang belum selesai, dan terancam terulang di masa kini.
Cinta Dalam Lembayung.
Episode 1
"Rumah Itu dan Lukisan yang Berbisik"
Langit sore di Desa Wening itu berwarna kelabu, seolah awan-awan tebal enggan memberi ruang pada matahari. Jalan kecil berbatu yang dilalui Naira perlahan menanjak, diapit pohon pinus tinggi yang bergoyang tertiup angin. Tas ransel berat menggantung di pundaknya, sementara langkah kakinya ragu-ragu mendekati rumah tua di ujung jalan.
Rumah itu berdiri sendirian di tepi hutan. Dinding kayunya lapuk, cat putihnya mengelupas, dan jendela-jendela besar yang dulu mungkin tampak mewah kini tertutup tirai kusam. Rumah peninggalan neneknya.
Sudah sepuluh tahun sejak terakhir kali Naira ke sini. Sejak kematian neneknya, keluarga mereka tak pernah lagi menginjakkan kaki di desa ini. Tapi surat dari Pak Lurah dua minggu lalu, soal lukisan-lukisan tua yang ditemukan di gudang rumah ini, membuat Naira penasaran. Apalagi sebagai mahasiswi seni rupa, ini kesempatan langka untuk meneliti karya misterius milik keluarganya sendiri.
Pintu depan rumah terbuka pelan, menimbulkan decitan seram. Seorang pria berdiri di ambang pintu.
Tinggi. Rambutnya hitam, agak panjang, dan matanya tajam tapi dingin. Wajahnya tampak keras, namun ada aura kelelahan yang sulit dijelaskan. Pria itu memandang Naira tanpa ekspresi.
"Kamu Naira?" tanyanya datar.
Naira mengangguk, mencoba tersenyum meski dadanya berdebar aneh.
"Iya, saya Naira. Cucu Bu Lastri."
Pria itu membuka pintu lebih lebar. "Aku Raka. Penjaga rumah ini. Sudah kubersihkan seadanya. Silakan masuk."
Naira melangkah masuk, aroma kayu tua dan debu langsung menyergap hidungnya. Di ruang tengah, perabotan lawas masih tertata rapi meski tampak usang. Di dinding ruang tamu, tergantung beberapa lukisan tua. Kebanyakan bergaya klasik, potret orang-orang yang tampak asing.
Tapi satu lukisan langsung membuat langkah Naira terhenti.
Potret seorang wanita muda, berambut panjang tergerai, mengenakan gaun putih. Wajahnya cantik, namun yang membuat bulu kuduk Naira meremang adalah... wanita itu nyaris identik dengannya.
Naira mendekat, mengamati lukisan itu lebih teliti. Senyum wanita itu samar, matanya seolah mengikuti ke mana pun ia bergerak.
"Siapa dia?" Tanya Naira tanpa berpaling.
Raka berdiri di belakangnya, diam sesaat sebelum menjawab, "Nenekmu tak pernah cerita. Tapi lukisan itu sudah ada bahkan sebelum dia lahir. Warga desa bilang, wanita itu… pembawa kutukan."
Naira mengerutkan kening. "Kutukan?"
Raka mengangguk pelan, wajahnya tetap datar, namun sorot matanya seolah menyimpan lebih banyak dari yang dia ucapkan.
"Malam ini jangan keluar rumah," lanjut Raka tiba-tiba. "Apalagi kalau dengar suara... yang memanggil dari luar."
Naira memandangnya heran. "Suara apa maksudmu?"
Namun Raka hanya berbalik pergi, meninggalkan Naira dengan ribuan pertanyaan yang menggantung di udara.
Dan malam pun perlahan turun, membawa serta dingin dan... bisikan samar dari balik lukisan itu.
**
"Suara Itu Memanggilku"
Malam di Desa Wening turun tanpa kompromi. Langit gelap pekat, tak ada bintang, hanya desir angin yang sesekali meniup tirai jendela tua. Naira duduk di kursi ruang tamu, matanya terpaku ke arah lukisan wanita bergaun putih itu.
Semakin lama ia memandang, semakin terasa aneh. Seolah... ada perubahan kecil yang tak bisa ia jelaskan. Entah bayangan wajah, atau mungkin sorot mata yang... lebih hidup dari sebelumnya.
"Naira?" suara berat Raka mengagetkannya. Pria itu berdiri di ambang pintu, membawa segelas teh panas.
"Maaf," Naira berdeham, "Aku cuma… lukisan ini, makin kulihat, makin aneh rasanya."
Raka tak menjawab. Ia meletakkan teh itu di meja, lalu duduk di kursi seberang, tatapannya tak lepas dari wajah Naira.
"Kamu sangat mirip dengannya," gumam Raka.
Naira mengernyit. "Aku yakin itu cuma kebetulan."
Raka menatapnya dalam. "Di desa ini, gak ada yang benar-benar kebetulan."
Mereka terdiam beberapa saat. Di luar, angin bertiup makin kencang, menggoyang dedaunan dan menghempas jendela kayu tua. Api di lampu minyak bergoyang pelan, menciptakan bayangan bergerak di dinding.
Lalu terdengar itu.
Suara lembut… seperti bisikan. Sayup, pelan, nyaris tak terdengar. Tapi jelas.
"Naira…."
Panggilan itu lirih, seperti berasal dari luar rumah.
Jantung Naira berdegup kencang. Ia refleks menoleh ke arah jendela, namun hanya kegelapan pekat di luar sana.
"Kamu dengar itu?" bisik Naira.
Raka langsung berdiri. Sorot matanya berubah waspada. "Aku sudah bilang, jangan keluar malam ini."
Naira menelan ludah, tubuhnya kaku. "Itu... suaranya manggil aku, Raka."
Raka bergerak cepat, menutup tirai dan mengunci semua jendela.
"Itu bukan manusia," gumamnya pelan.
Naira memeluk dirinya sendiri, bulu kuduknya berdiri. Di luar, suara langkah kaki samar terdengar di teras kayu. Langkah pelan, seolah seseorang atau sesuatu berjalan mengitari rumah.
Dan saat Naira kembali menoleh ke lukisan di dinding, jantungnya nyaris berhenti.
Senyum wanita dalam lukisan itu… kini lebih lebar dari sebelumnya.
*****
