Episode 3
Episode 3
"Jejak Luka Dan Nama Yang Terlupakan"
Pagi datang dengan kabut tebal menyelimuti Desa Wening. Udara dingin menusuk tulang, tapi Naira tetap berdiri di depan lukisan itu, matanya nanar menatap perubahan yang terjadi semalam.
Wajah wanita itu… makin jelas, makin nyata. Air yang membasahi gaun putihnya bahkan terlihat seperti tetesan sungguhan.
Tulisan di sudut lukisan juga masih ada.
"Aku akan kembali, Naira…"
Naira mengusap tengkuknya, merinding. Di belakangnya, Raka sibuk membereskan ruang tamu, tapi tatapannya terus memantau Naira.
"Aku gak ngerti… kenapa dia pakai namaku?" Tanya Naira akhirnya.
Raka menghela napas panjang. "Karena dia… mungkin memang bagian dari kamu."
Naira berbalik, menatap Raka tak paham. "Maksudmu?"
Raka ragu sesaat sebelum akhirnya duduk di sofa, menatap Naira dengan serius.
"Dulu… puluhan tahun lalu, ada kisah tentang perempuan desa ini. Namanya Larasati. Dia dikenal cantik, baik, tapi katanya… dia jatuh cinta sama pria yang gak direstui keluarganya."
Naira diam, mendengarkan dengan seksama.
"Pria itu… katanya, penjaga rumah ini. Mereka pacaran diam-diam. Tapi suatu malam, Larasati ditemukan meninggal di danau belakang rumah ini. Katanya… bunuh diri."
Naira menelan ludah. "Dan itu… dia? Di lukisan itu?"
Raka mengangguk. "Iya. Larasati."
Naira mengusap wajahnya. "Tapi apa hubungannya sama aku?"
Raka menghela napas berat. "Banyak yang bilang… Larasati bersumpah sebelum mati. Kalau cinta dia gak selesai di kehidupan itu, dia bakal balik lagi… melalui keturunannya. Nenekmu, Lastri, itu cucu adiknya Larasati."
Naira mengerutkan kening. "Jadi aku…"
"Secara gak langsung… kamu bagian dari darah Larasati."
Naira termenung, dadanya terasa sesak. Sebuah perasaan asing mengalir di hatinya. Entah rasa takut, penasaran, atau… ada luka yang gak dia ngerti asal-usulnya, seolah kenangan masa lalu ikut mengalir dalam nadinya.
Raka berdiri, matanya lembut menatap Naira.
"Makanya aku jaga rumah ini. Makanya aku disuruh nenekmu jagain kamu kalau suatu saat kamu datang ke sini. Karena… kutukan Larasati belum selesai."
Naira memandang Raka. Di balik ketegasan pria itu, ada kelembutan yang perlahan bikin hatinya luluh.
"Kamu selalu jagain aku dari tadi malam… makasih ya," gumam Naira.
Raka tersenyum kecil, untuk pertama kalinya. "Itu udah tugas aku, Naira."
Tapi sebelum mereka bisa bicara lebih jauh, terdengar suara ketukan pelan di pintu. Kali ini, bukan ketukan keras seperti semalam.
Lebih… sopan. Lebih… manusiawi.
"Siapa pagi-pagi begini?" Gumam Naira.
Raka membuka pintu perlahan. Seorang perempuan tua berdiri di luar, mengenakan selendang batik, wajahnya penuh kerutan, namun sorot matanya tajam.
"Kalian harus hati-hati," ujar perempuan itu tanpa basa-basi. "Kutukan itu… baru saja dimulai lagi."
Perempuan tua itu melangkah masuk, tongkat kayunya berdentang pelan di lantai kayu rumah tua itu. Naira memperhatikan setiap garis kerutan di wajahnya, sorot matanya tajam, seolah sudah melewati ribuan malam penuh rahasia.
Raka berdiri sigap, sikapnya hormat tapi kaku. "Mbah Sri," ucapnya.
Naira ikut berdiri. "Ibu ini…?"
Raka mengangguk. "Mbah Sri, dukun tua di desa ini. Tapi dia juga satu-satunya saksi hidup… waktu Larasati meninggal."
Mbah Sri menatap Naira lama, sorot matanya mengandung beban sejarah.
"Kamu… benar-benar mirip Larasati," gumam Mbah Sri, suaranya serak. "Matamu… dagumu… bahkan cara kamu berdiri… persis dia."
Naira menelan ludah, jantungnya berdegup kencang.
"Aku harus kasih tau kamu sesuatu," lanjut Mbah Sri, suaranya pelan tapi menusuk. "Apa yang terjadi ke Larasati… bukan sekadar kisah cinta gagal. Ada… pengkhianatan. Ada dendam. Dan arwah Larasati belum tenang… karena kematiannya… bukan bunuh diri."
Naira ternganga. "Maksud Mbah… dia dibunuh?"
Mbah Sri mengangguk pelan. "Dan yang bunuh dia… masih punya darah di desa ini."
Raka menegang, tatapannya berubah gelap.
"Siapa, Mbah?" Desak Naira.
Tapi Mbah Sri tak langsung jawab. Matanya justru menatap lukisan di dinding yang kini semakin menyeramkan. Senyum Larasati di lukisan itu terlihat penuh makna… seolah ia tahu semua rahasia yang tersembunyi.
"Kamu harus cari tahu sendiri, Naira," kata Mbah Sri. "Tapi ingat, semakin kamu dekat ke kebenaran, semakin kuat arwah itu memanggilmu. Dia butuh kamu… untuk menyelesaikan dendamnya."
Hening sesaat. Hanya suara angin menerobos celah-celah kayu rumah yang terdengar.
"Dan satu lagi," bisik Mbah Sri, menatap Raka tajam. "Jangan biarkan hatimu jatuh pada laki-laki ini, Naira."
Naira kaget. "Kenapa?"
Mbah Sri berjalan pelan menuju pintu, sebelum menoleh terakhir kali.
"Karena cinta yang tumbuh di tempat ini… selalu berujung luka."
Dan perempuan tua itu pergi, meninggalkan Naira dan Raka saling berpandangan dalam diam. Di antara rasa takut, ada sesuatu yang perlahan tumbuh. Sesuatu yang tak bisa mereka cegah… meski mereka tahu, cinta ini… bisa jadi kutukan yang baru.
*****
