Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Episode 2

Episode 2

"Mimpi dari Masa Lalu"

Naira terbangun dengan napas memburu. Dadanya naik turun, keningnya basah keringat dingin. Ruangan itu gelap, hanya lampu minyak yang redup di sudut kamar. Di luar, malam masih pekat, dan suara jangkrik bersahutan di balik jendela.

Tapi yang membuat Naira gelisah bukan malam… melainkan mimpi itu.

Ia berdiri di sebuah taman tua, dengan pepohonan besar menjulang tinggi, diterangi cahaya bulan yang redup. Di depannya, ada seorang wanita muda bergaun putih. Rambut panjangnya tergerai, wajahnya sendu… dan ya, wajah itu… wajah Naira sendiri.

Wanita itu menangis pelan, berdiri di tepi danau kecil yang airnya memantulkan bayangan bulan. Di sampingnya, berdiri seorang pria berkumis tipis, mengenakan pakaian kuno. Wajahnya samar, tapi sorot matanya penuh rasa bersalah.

"Aku tak bisa melindungi kamu… maafkan aku…," suara pria itu menggema dalam mimpi.

Wanita itu menatapnya dengan mata basah, sebelum perlahan menceburkan diri ke danau. Air bergelombang… dan segalanya menghilang dalam kabut.

Naira mengusap wajahnya, mencoba menenangkan diri. Tapi jantungnya tetap berdegup cepat.

Tok… tok…

Ketukan di pintu membuat Naira melompat kaget.

"Ini aku," suara Raka terdengar dari luar.

Naira membuka pintu, menemukan Raka berdiri dengan wajah khawatir. Di tangannya, ada segelas air putih.

"Kamu teriak waktu tidur," ujar Raka. "Kamu mimpi buruk?"

Naira mengangguk, mencoba mengatur napas. "Aku… aku mimpi tentang dia. Wanita di lukisan itu."

Raka memandangnya lama, lalu masuk ke kamar tanpa bicara. Ia duduk di kursi dekat jendela, ekspresi wajahnya serius.

"Naira," katanya pelan, "Kalau kamu mau tahu yang sebenarnya… aku harus kasih tahu sesuatu. Tentang rumah ini… tentang lukisan itu… dan tentang kenapa kamu harus hati-hati."

Naira menatapnya, rasa penasaran dan ketakutan bercampur aduk.

"Aku… siap dengar," jawabnya pelan.

Tapi sebelum Raka sempat bicara, suara ketukan keras tiba-tiba terdengar di pintu depan. Bukan ketukan biasa—lebih seperti hantaman.

Dug… dug… dug…

Raka berdiri sigap, wajahnya tegang.

"Itu… dia," bisiknya.

Naira menatap Raka dengan mata membesar. "Siapa…?"

"Kalau aku bilang jangan buka pintu… tolong percaya, Naira. Apa pun yang terjadi… jangan keluar."

Dan malam itu, ketukan di pintu tak berhenti… seolah sesuatu… atau seseorang… sedang menunggu.

**

"Antara Ketakutan dan Getaran Hati"

Dug… dug… dug…

Ketukan itu terus menghantam pintu kayu tua, seperti ada seseorang atau sesuatu yang tak sabar masuk.

Naira berdiri di belakang Raka, tubuhnya gemetar, matanya menatap pintu yang nyaris bergoyang karena hantaman.

"Raka… itu siapa?" bisik Naira, suaranya nyaris tak terdengar.

Raka tetap diam, matanya tak lepas dari pintu. Tangannya perlahan meraih sebuah benda panjang di sudut ruangan—tongkat kayu tua, kemungkinan peninggalan nenek Naira.

"Tetap di belakangku," perintah Raka pelan.

Ketukan itu tiba-tiba berhenti. Sunyi. Terlalu sunyi.

Naira menahan napas, jantungnya berdetak liar. Lalu… terdengar suara lain.

"Naira… bukakan pintunya… aku kedinginan…."

Suara perempuan. Lembut. Rapuh. Persis seperti suara dalam mimpinya.

Naira membeku. Itu… suara yang sama. Wanita dalam mimpinya. Wanita dalam lukisan.

"Tolong aku… aku kedinginan…."

Suara itu makin lirih, seperti hampir menangis.

Naira menatap Raka, bingung antara takut dan rasa kasihan yang aneh.

"Itu… dia?" Bisik Naira.

Raka mengangguk. "Jangan percaya. Dia bukan… manusia. Itu roh yang terjebak di sini. Dan dia butuh kamu… untuk…"

Raka terdiam, ragu melanjutkan kalimatnya.

"Untuk apa?" Desak Naira.

"Untuk hidup lagi," gumam Raka.

Naira menelan ludah, rasa takut makin menyelimuti. Tapi di balik ketakutan itu, matanya tak sengaja menangkap ekspresi Raka. Tatapan pria itu… ada ketegangan, ada kekhawatiran… dan entah kenapa, di balik semua itu, ada sesuatu yang membuat dada Naira berdebar. Perhatian. Rasa peduli yang tulus.

"Kenapa kamu jaga rumah ini, Raka?" tanya Naira pelan, mencoba mengalihkan ketegangan.

Raka menatapnya lama. "Aku janji sama nenekmu. Aku gak bisa pergi… sampai kutukan ini selesai."

Ketukan di pintu berhenti total. Hening.

Tapi sebelum mereka bisa bernapas lega, terdengar suara… dari arah lukisan di ruang tamu.

Suara tawa kecil… pelan… nyaring…

Dan… ketika mereka melangkah ke ruang tamu, Naira nyaris pingsan.

Lukisan wanita itu… kini berubah.

Gaunnya basah kuyup, rambutnya menempel di wajah, matanya menatap tajam… seolah… ia baru saja keluar dari danau tempat ia bunuh diri.

Dan di sudut bawah lukisan… ada tulisan samar…

"Aku akan kembali, Naira…"

*****

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel