Bab 16
Seharian itu Yoona menemani Daniel—yang menjemput paksa Yoona—agar ikut bersamanya. Mulanya Daniel meminta Yoona untuk menemaninya ke rumah sang ayah, karena jika ia pergi ke rumah itu seorang diri, ia hanya akan menjadi bahan omelan ayahnya. Tetapi jika Yoona ikut bersamanya, ayahnya akan lebih fokus pada Yoona dan melupakan amarahnya pada Daniel.
Sore harinya mereka pergi ke sebuah kafe dan berkumpul bersama teman-teman Daniel. Entah apa maksud Daniel, kenapa juga dia harus membawa Yoona ke perkumpulan para trainee yang tak debut-debut itu. Namun walau begitu, dengan hadir disana cukup membuat Yoona merasa senang. Mereka selalu membuat Yoona tertawa.
Beberapa dari mereka menceritakan keluh kesah selama menjadi trainee. Bahkan ada yang baru saja memundurkan diri dari sebuah agensi karena tak kuat menghadapi latihan yang super ketat. Tapi hebatnya, mereka tetap tampak ceria. Semangat seorang remaja memang tidak ada batasnya. Yoona merasa dapat memahami kondisi mental mereka. Bagaimanapun juga dulunya ia pernah merasakan kerasnya kehidupan.
Obrolan mereka berakhir dengan sorakkan kebahagiaan. Itu karena Yoona mentraktir mereka bahkan membungkus mereka sebuah burger combo size untuk per orangnya. Tak hanya itu, Yoona juga membayar tagihan taksi yang akan menghantarkan mereka ke tempat masing-masing—termasuk Daniel yang memilih pulang bersama teman-temannya dan kini tinggal lah Yoona seorang diri dihadapan kafe—tempat dimana tadinya mereka berkumpul. Huh.. Cukup melelahkan. Tetapi senyuman tak hilang dari wajahnya.
Malam tiba dengan suhu udara yang cukup dingin. Angin perlahan bertiup kencang sembari membawa hawa dingin. Tadinya Yoona tidak memprediksikan itu. Dari awal ia hanya mengenakan rok selutut, kemeja sutra polos, cardigan tipis dan sandal tali. Syukur ia cepat mendapatkan taksi dan bisa segera menghangatkan tubuh didalam sana.
Berselang beberapa menit ketika taksi melaju, hujan mendadak turun. Butiran airnya menghantam kaca mobil. Usai itu senyuman tak lagi terlihat diwajahnya. Ekspresi apa itu? Yoona sedang bersedih?
Selama ini Yoona tidak pernah menunjukkan ekspresi seperti itu kepada siapapun, mungkin karena dia tidak ingin orang mengasihaninya. Suasana itu membuat kenangan dimasa lampau perlahan muncul di ingatannya, membuat ekspresi asing kembali timbul diwajahnya. Sepertinya selama ini Yoona sudah sangat tersiksa. Ia selalu mementingkan orang lain dan memilih menahan segala perasaan yang timbul lalu menguburnya dalam-dalam.
“Saya turun disini saja.” taksi berhenti didepan sebuah mini market.
Yoona masuk kedalam mini market lalu keluar dari sana dengan sebuah payung transparan. Inilah tujuannya turun disana. Tidak mempedulikan udara pada saat itu, Yoona melangkah santai menuju rumahnya. Mungkin perjalanan itu akan memakan waktu selama 15 menit dengan berjalan kaki.
Melewati barisan pepohonan yang daunnya sudah berubah warna menjadi kuning kemerahan. Ia tak sendirian. Ada banyak orang disana. Sama sepertinya, menikmati suasana itu dengan berjalan kaki, tak peduli dengan hujan yang tak juga reda. Karena sangat jarang hujan turun dimusim itu.
Kini Yoona sudah memasuki sebuah kawasan perumahan—lokasi elit dimana rumahnya berada. Tak banyak kendaraan yang berlalu lalang disana. Tetapi tetap ada orang yang berjalan kaki disana. Sama sepertinya, menikmati keindahan dari rintik hujan dimalam hari.
Ada yang melangkah dengan terburu-buru seakan dikejar sesuatu. Ada yang sama sepertinya, melangkah santai menikmati waktu. Tampak juga sepasang kekasih, berbagi payung sembari mengobrol di setiap langkah mereka. Perasaan sedih yang tadinya timbul tak terasa telah hilang dari pikirannya. Yoona bahkan tersenyum melihat semua itu. Tidak. Raut wajahnya mendadak sendu.
Tampak seorang ayah tengah menggandeng putrinya. Sedang melangkah melewati Yoona dengan tawa ceria. Mereka masing-masing menggunakan payung dengan size berbeda. Putirnya terlihat imut dengan payung bermotif polkdot berwarna merah, lalu sang ayah menggunakan payung polos berwarna biru muda. Entah apa yang mereka bicarakan, tawa mereka tetap terdengar meski jarak mereka sudah semakin jauh.
Yoona akui, ia cemburu dengan kebersamaan ayah dan putrinya itu. Dulunya ia tidak memiliki waktu untuk bersenang-senang dengan sang ayah dikarenakan ayahnya yang terus sakit-sakitan hingga maut menjemputnya. Semasa ayahnya masih hidup, yang mereka lakukan hanya duduk dirumah. Makan bersama, nonton bersama, lalu tertidur bersama di hadapan televisi yang menyala.
Yoona tidak pernah menyesali apa yang telah ia hadapi. Bagaimanapun juga ayahnya adalah satu-satunya pria yang sangat menyayanginya dalam kondisi apapun. Seperti di hari terakhir mereka bersama. Dalam kondisi sulit membuka mata, ayahnya tetap mengingatkannya banyak hal. Seperti..
‘Yoona-a, kau harus makan yang teratur. Tidur tepat waktu. Sekolah yang rajin dan jangan lupa belajar lalu mengerjakan tugas. Setelah appa pergi, kau bisa bermain bersama teman-temanmu tanpa harus menjaga appa setiap waktu. Kau sudah mengorbankan hidup berhargamu padaku, sekarang saatnya untuk melakukan semua keinginanmu.
Hmmp!
Isak tangis yang hendak keluar dengan cepat ia ditahan. Yoona tidak menyangka kalau dirinya akan larut sedalam itu. Tadinya ia hanya berniat mengamati kebersamaan seorang ayah dan putrinya yang berjalan melewatinya, hingga membuat Yoona memutar tubuhnya untuk mengamati mereka lebih lama. Ternyata hal itu membuatnya larut dan masuk ke memori masa lalunya. Dimana banyak kenangan yang ingin ia lupakan, karena terlalu menyedihkan untuk dikenang. Namun, kini ia mendadak merindukan ayahnya.
Tangan kirinya segera menutup mulutnya—yang mulai bergetar karena menahan tangis. Sedangkan tangan kanannya masih menggenggam payung dengan erat. Tidak bisa, aku tidak boleh menangis. Ia merasa harus segera pulang kerumah untuk beristirahat, mungkin semua itu dikarenakan ia sudah sangat kelelahan. Yoona langsung berbalik dan siap melangkah. Tapi ia mematung disana.
Tangan kirinya yang sedang menutup mulutnya reflek terkulai lemas. Memperlihatkan airmatanya yang akhirnya mengalir diwajah manisnya. Dalam ekspresi kaget dan cemas—tidak ingin pria itu melihat airmata diwajahnya—Yoona tepis dengan cepat airmatanya. Segera ia paksakan dirinya agar terlihat santai.
Dengan debaran jantungnya yang mulai berdebar ekstra, ia langkahkan kaki menghampiri pria itu. Yang entah kapan sudah berada disana. Tidak jauh dari Yoona berada, Sehun berdiri disamping mobil yang masih menyala dengan sebuah payung berwarna hitam polos miliknya.
Selama kakinya melangkah mendekati Sehun, pandangan mereka terus bertemu. Sehun sama sekali tidak melepas tatapannya dari mata Yoona. Sorot matanya bahkan tidak bergetar sedikitpun. Membalas tatapan Yoona dengan tenang. Tetap dengan ekspresi wajah datarnya. Langkah terakhir yang Yoona lakukan semakin mengacaukan debaran jantungnya. Dihadapan pria itu, berusaha bersikap santai seakan tak terjadi apa-apa.
“Masuklah.” Sehun memintanya untuk masuk kedalam mobil. Biasanya Yoona tidak setegang itu, tapi tadinya ia telah memperlihatkan airmata yang sudah puluhan tahun tidak mengalir diwajahnya. Ia tidak suka akan itu.
Sehun sudah masuk kedalam mobil. Meninggalkan Yoona yang mulai melangkah ragu menuju pintu lainnya. Setelah melipat payung, Yoona masuk kedalam mobil dan kembali menikmati ketegangan didalam sana. Mobil itu tidak pernah membuatnya merasa tenang.
-
-
-
-
Continued..
