Bab 12
Hal pertama yang ia temukan disana adalah sebuah kuil. Hamparan salju putih menyelimuti atap kuil dan itu membuat pemandangan disana menjadi semakin menakjubkan. Meski suhu udara sangat dingin namun tidak menurunkan antusiasnya untuk berkeliling disana. Ia juga mengabadikan beberapa foto kuil menggunakan ponselnya. Indahnya.. Batinnya tak kuasa menahan airmatanya—karena seumur hidup tak pernah merasa sebahagia itu—keindahan disana tak main-main. Warna bangunan yang keemasan sangat kontras dengan putihnya salju.
Kakinya lanjut mengikuti jalan kecil yang sepertinya akan membawanya ke tempat lainnya. Jalan yang tengah ia injak terbuat dari bebatuan yang disusun serapih mungkin—walau tampaknya hampir keseluruhan dari bebatuan itu nyaris tertutupi salju. Kini dirinya mendadak merasa takjub bahkan sampai tak menyadari bahwa ia telah termenung sesaat pada posisinya.
Seakan berada di negeri lain. Dirinya kini berada diantara hutan bambu yang sudah memutih karena tumpukan salju. Bambu-bambu disana menjulang sangat tinggi hingga kedua sisi puncak bambu tersebut hampir bertemu dan terlihat seperti memayungi. Tak heran jika disana sangat banyak didatangi wisatawan. Pemandangan yang disungguhi benar-benar menakjubkan.
Ia menyinggahi sebuah gerobak makanan yang menjual Taiyaki—jika di korea mirip dengan Bungeoppang(Kue Ikan). Ia santap dalam keadaan hangat lalu lanjut melangkah. Keindahan hutan bambu kini tergantikan dengan keberadaan sebuah danau yang membeku. Danau itu dikelilingi dengan pepohonan. Tampak es-es yang mengkristal di setiap ranting pohon, sungguh mempesona. Ia tersenyum puas. Pengorbanannya menahan suhu minus tidaklah sia-sia.
Ketika itu ia melihat seorang gadis kecil tengah duduk diatas bebatuan menghadap danau. Dia menangis? Walau jarak antara dirinya dan gadis kecil itu terlampau jauh, tetapi ia masih bisa melihat dengan jelas. Airmata yang sudah membasahi wajah manis itu dan jemari mungil yang menyeka airmata penuh dengan kesedihan. Kenapa dia menangis di tempat seindah ini?
Seorang pria dewasa menepuk punggung gadis kecil itu—seakan memberinya intruksi untuk segera mengikuti pria itu. Benar sekali, usai itu mereka melangkah pergi. Gadis kecil itu tampak kesulitan mengikuti langkah pria itu. Dengan sepatu bootnya yang kebesaran juga dengan jaket musim dingin berwarna coklat yang kebesaran, ia berusaha menyamakan langkah. Ia bahkan berlari agar tidak tertinggal.
Syal tebal yang melingkari lehernya nyaris menutupi bibir pucatnya. Dari penampilan menyedihkannya, hanya sebuah kalung yang tetap bersinar meski disana sudah minim cahaya—karena malam akan segera tiba. Kalung itu berada dibalik syal dan masih dapat terlihat walau terkadang tetutupi syal yang terjatuh dari lilitan.
Mereka berhenti sejenak di sebuah gerobak yang terletak diluar area kuil. Keduanya menyantap ubi bakar dengan lahap. Tunggu. Lalu dimana Eujin? Tanpa sadar dia mengikuti mereka. Entahlah, ia merasa ada yang aneh pada gadis kecil itu. Wajah imut itu tampak ketakutan namun berusaha terlihat tenang ketika si pria dewasa melihat kearahnya. Siapa pun yang mengamati mereka pasti akan berpikiran sama dengannya.
Mereka makan dengan terburu-buru. Membuat Eujin yang juga sedang menyantap ubi bakarnya tak sempat menghabiskan sisa santapannya—itu karena mereka sudah meninggalkan gerobak dan kini tengah melangkah ke suatu tempat. Cepat-cepat Eujin masukan sisa ubi bakarnya kedalam saku jaketnya lalu diam-diam mengikuti mereka.
Yang kutahu selama ini naluriku selalu tepat. Jadi, jika aku berpikir bahwa gadis kecil itu merupakan korban penculikan, apa kali ini aku juga harus mempercayai naluriku?
Trrrt! Trrrt! Trrrt!
Ponselnya terus bergetar. Tentu ia sudah bisa menduga panggilan dari siapa itu. Tetapi kini situasi tidak memungkinkannya untuk menerima panggilan itu. Ia merasa tidak boleh lengah dari pergerakan mereka. Karena nada getar ponselnya terlalu mengganggu, Eujin non-aktifkan ponsel itu.
Ternyata mereka menuju parkiran mobil. Pria dewasa itu menyuruh si gadis kecil menaiki sebuah mobil pickup berwarna hitam. Sementara si gadis kecil sudah berada didalam mobil, pria dewasa itu pergi ke sebuah mini market yang teletak di sekitar parkiran mobil. Sesuatu mendadak memburu Eujin, yang hingga kini masih mengintai mereka dari jauh. Aish! Bagaimana ini? Aku hampiri saja? Tapi, aku tidak bisa bahasa jepang. Itulah kendala yang membuatnya ragu untuk menghampiri gadis kecil itu—yang masih setia menunggu didalam mobil. Aku sudah tidak tahan lagi!
Ia segera berlari menghampiri mobil itu. Dengan matanya yang sesekali mengawasi pintu mini market, kakinya terus bergerak cepat. Tampak si gadis kecil sedang duduk didalam sana dengan ekspresi, takut? Jelas sekali! Gadis ini sedang ketakutan!
Tok! Tok! Tok!
Ia ketuk kaca mobil itu, membuat gadis kecil yang berada didalamnya kaget bukan main. Eujin memberi kode agar gadis kecil itu segera keluar dari dalam mobil, tetapi gadis kecil itu malah menatapnya dengan sorot mata yang semakin tampak ketakutan. Merasa geram karena tidak ada reaksi, Eujin buka pintu mobil itu.
“Konichiwa! Aaa..” Aish, seharusnya aku belajar bahasa jepang! “are you okay?” Eujin meringis penuh penyesalan—menyesal karena dirinya tak sepintar itu dalam bahasa asing. “mmm.. Begini.” Ia pun menyerah dan kembali berbahasa dengan normal. “Aku berharap kau mengerti perkataanku.” Ia genggam kedua tangan gadis kecil itu. “Kau terlihat tidak tenang. Apa pria itu menculikmu?” mata gadis kecil itu bergetar mendengar pertanyaannya—seakan ia mengerti bahasa yang Eujin gunakan. “Dia benar menculikmu?” Eujin mendesaknya. Dan kini mata gadis kecil itu berkaca-kaca.
“Eonni, kau siapa?”
“Aku? Aku hanya—“ Eujin terdiam saking kagetnya. Anak itu bisa bahasa korea! “Yak, kau bisa bahasa korea?”
“Saya orang korea.”
“Heee?” pikirannya kacau sejenak sebelum ia kembali tersadar bahwa ia harus segera menyelamatkan anak itu. “jadi benar? Dia menculikmu?” anak itu terlihat ragu. “cepat jawab, kita tidak punya banyak waktu! Sebelum dia—“ Oh Tidak! Pria dewasa itu sudah keluar dari mini market dan saat ini sedang melangkah menuju mobil. Dalam situasi itu, mata Eujin tak sengaja melihat ke bagian belakang mobil pickup itu—yang kebetulan berisikan banyak barang. Tak sempat untuk memikirkannya, dengan gerakkan cepat ia menaiki bagian belakang mobil itu lalu bersembunyi dibalik tumpukan kotak besar yang tersusun acak disana.
Meskipun ia telah mengenakan pakaian berlapis—seperti sebuah kaos tebal lengan panjang, ditambah sweater tebal dan dilapis lagi dengan jaket musim dingin yang jauh lebih tebal. Untuk celana, Eujin mengenakan dua lapis legging wol, sarung tangannya juga berbahan wol—cukup menghangatkannya. Untuk kaos kaki, ia hanya mengenakan satu lapis dikarenakan boot yang ia kenakan sudah cukup menghangatkan kakinya. Tetapi, perjalanan yang entah kapan berakhirnya itu membuat semua yang ia kenakan tidak lagi berarti.
Ia tidak tahu berapa jam tepatnya, tetapi jarak yang sudah ditempuh sangat jauh. Ia bahkan sudah tertidur dan terbangun beberapa kali. Mereka meninggalkan Kyoto dimalam hari—sekitar satu jam setelah matahari tenggelam, dengan begitu kemungkinan mereka berangkat pukul 6pm. Kini yang terlihat dilangit, tampak cahaya diujung kegelapan. Jika mendefinisikan dari perubahan suhu udara dan pemandangan langit, bisa dikatakan pagi akan segera tiba.
-
-
-
-
Continued..
