PERNIKAHAN TANPA CINTA
Pernikahan mereka dimulai dengan keheningan.
Pagi itu, Ryne berdiri di hadapan cermin besar yang ada di kamar barunya, memeriksa penampilannya untuk yang kesekian kali. Gaun putih sederhana yang dia kenakan terasa ringan, namun semakin ia memandang dirinya, semakin ia merasa kosong. Gaun itu tak memiliki kilau yang indah seperti gaun pengantin yang sering dilihat di film-film — tidak ada elemen kejutan atau kebahagiaan yang terpancar dari dirinya. Sebaliknya, ia merasa seperti sedang mengenakan kostum untuk acara yang tidak pernah ia pilih.
Miranda datang dengan cepat membawa aksesori dan sepatu. Tanpa banyak bicara, ia membantu Ryne menata rambut dan merapikan penampilannya. Semua itu dilakukan dalam diam, seakan waktu menahan napas, menunggu sesuatu yang besar terjadi.
Ketika semua persiapan selesai, Miranda menyapa, “Tuan Blackwell sudah menunggu di ruang utama.”
Ryne mengangguk tanpa kata. Hatinya berdebar, tapi ia tidak tahu apa yang harus dirasakannya. Tidak ada perasaan gugup atau bersemangat seperti yang biasanya dirasakan orang yang menikah. Ia hanya merasa cemas dan bingung — apakah ini langkah yang benar ataukah hanya pelarian dari kenyataan hidupnya yang semakin sulit?
Sesampainya di ruang utama, di bawah chandelier besar, Jude sudah berdiri menunggunya dengan sikapnya yang khas: tenang, terkendali, hampir tak terlihat ada emosi di wajahnya.
Ryne menghampirinya, dan saat ia berdiri di sampingnya, ia merasa seperti dua orang asing yang dipertemukan oleh takdir. Jude mengenakan jas gelap yang rapi, dengan dasi yang pas dan kemeja putih yang terlihat sangat formal. Wajahnya tampak tegas, namun tidak ada kebahagiaan yang terpancar darinya. Seperti Ryne, ia juga hanya mengikuti prosedur. Masing-masing berdiri, menunggu sebuah langkah yang tak dapat dibalikkan.
“Siap?” tanya Jude, suara rendah dan tidak terburu-buru.
Ryne menatapnya sejenak, matanya yang tidak terlalu besar menyoroti wajah Jude yang sempurna — terlalu sempurna, seperti patung. Hati Ryne terasa semakin berat, dan ia hanya bisa mengangguk pelan.
“Saya siap,” jawabnya, meski dalam hati, ia tidak yakin.
Mereka berjalan bersama menuju altar sederhana yang sudah disiapkan di sudut ruang. Hanya ada pengacara dan beberapa orang dari pihak Jude yang hadir. Tidak ada keluarga besar, tidak ada teman dekat. Hanya saksi yang dibutuhkan untuk sahnya pernikahan ini.
Saat mereka berdiri berhadap-hadapan, Ryne merasa seperti dirinya adalah bagian dari skenario yang sedang dimainkan oleh orang lain. Bukan dirinya, bukan kehidupan yang ia inginkan. Tetapi kenyataannya, ini adalah jalan yang harus ia pilih. Tak ada yang bisa menghalanginya.
Proses pernikahan itu berlangsung cepat. Tanpa berbicara banyak, tanpa emosi. Pengacara membacakan janji pernikahan yang tidak berbeda jauh dari kontrak yang sudah mereka tanda tangani beberapa hari lalu. Semua berjalan tanpa henti, tanpa penyesalan, tanpa sorak sorai.
“Dengan ini, saya menyatakan bahwa pernikahan ini sah di hadapan hukum,” kata pengacara itu setelah membacakan segala yang diperlukan.
Ryne menatap Jude saat pengacara itu menyelesaikan kata-katanya, dan untuk sekejap, matanya bertemu dengan matanya Jude. Ada sesuatu yang berbeda. Mungkin hanya bayangan, atau mungkin ia yang membayangkan. Tetapi dalam sekejap itu, Ryne merasakan adanya sesuatu yang lebih dari sekadar kontrak di antara mereka.
Ketika mereka berdua menandatangani dokumen, Ryne merasa dunia seperti berhenti berputar. Satu tanda tangan, dan kehidupannya berubah.
Jude menghadapnya setelah itu. “Kita sudah resmi. Mari kita jalani ini dengan tenang,” katanya, suaranya datar dan hampir tidak terdengar perasaan.
Ryne tidak tahu apa yang ia rasakan. Semua perasaan itu terpendam jauh di dalam hatinya. Ia mengangguk dengan pelan, dan mereka berjalan keluar dari ruang itu, berdua, sebagai suami dan istri menurut hukum.
---
Malam pertama mereka, setelah pernikahan yang tanpa pesta, tanpa perayaan, terasa sunyi. Jude meminta agar mereka makan malam bersama di ruang makan besar, tetapi lebih banyak bicara formal daripada percakapan biasa. Hanya tentang jadwal, pengaturan rumah, dan persiapan bisnis yang harus dihadiri bersama.
Setelah makan malam selesai, mereka kembali ke sayap rumah yang terpisah. Jude masuk ke kamar tidurnya dengan tenang, sedangkan Ryne berjalan menuju kamarnya yang besar dan kosong.
Di balik pintu kamar, ia berdiri untuk beberapa saat. Langit malam terlihat gelap dari jendela. Angin sepoi-sepoi mengalir ke dalam kamar, memberikan sedikit rasa dingin. Ia duduk di tepi ranjang, menatap langit malam di luar jendela.
Pernikahan ini bukanlah tentang cinta. Bukan tentang perasaan. Ini adalah tentang bertahan. Tentang bertahan hidup di dunia yang penuh dengan ketidakpastian dan peluang yang tidak terlihat jelas. Ryne tidak tahu berapa lama ia akan mampu menjalani semua ini, tetapi satu hal yang pasti: hidupnya tidak akan pernah sama lagi.
Dengan perlahan, ia menarik selimut, menatap langit-langit kamar yang begitu tinggi, dan menutup matanya. Ini adalah awal dari sesuatu yang baru. Sesuatu yang ia tak tahu apakah akan baik atau buruk. Tetapi apa pun yang terjadi, ia harus terus berjalan, melangkah, seperti yang selalu ia lakukan.
Karena pernikahan ini mungkin tidak memberi cinta, tetapi memberi kesempatan.
Pagi berikutnya, Ryne terbangun dengan perasaan yang aneh. Seperti ada sesuatu yang menahan napas di dadanya, sesuatu yang membuatnya tidak bisa benar-benar merasa tenang. Dia menarik selimut yang menutupi tubuhnya, menatap langit-langit kamar yang luas dan tenang. Rumah ini, meski megah, terasa kosong. Sama seperti dirinya.
Pernikahan itu hanya awal, dan kini semuanya terasa lebih nyata, lebih permanen. Jude adalah suaminya, meskipun tanpa cinta. Itu yang selalu ia ingat setiap kali melihat wajahnya. Hanya sebuah kontrak yang mengikat mereka, bukan perasaan atau ikatan emosional yang biasanya ada dalam pernikahan.
Dia keluar dari kamar dan berjalan menuju ruang makan besar di lantai bawah. Ruangan itu sangat luas, dengan meja panjang yang mampu menampung dua puluh orang, meskipun hanya ada dirinya dan Jude. Miranda sudah menyiapkan sarapan dengan sempurna, segala sesuatu tampak elegan dan teratur, seperti yang diinginkan oleh Tuan Blackwell. Ryne duduk di meja, merasakan ketenangan yang lebih mendalam, namun keheningan itu terasa semakin menekan.
Tak lama, Jude datang. Pagi itu, ia mengenakan pakaian kasual: kaos hitam dan celana jeans biru yang sedikit robek di bagian ujungnya. Ini adalah tampilan yang lebih santai, lebih manusiawi. Namun, meskipun penampilannya lebih sederhana, aura kekuatan yang selalu ada pada dirinya tetap terasa. Ada kesan dominan yang tidak bisa disembunyikan, dan Ryne merasakannya meskipun mereka hanya duduk bersama di meja makan.
“Hari ini, kita ada beberapa pertemuan penting,” kata Jude tanpa melihat Ryne. Ia mulai menyantap sarapannya dengan tenang, seperti orang yang sudah terbiasa dengan rutinitasnya. “Kamu bisa memilih apakah ingin ikut atau tetap di rumah. Tapi jika kamu ingin lebih memahami peranmu, lebih baik kamu ikut.”
Ryne mendengus pelan, merasa sedikit terkejut. Ia tak tahu apa yang seharusnya ia lakukan, tapi entah kenapa ia merasa perlu menunjukkan dirinya lebih dari sekadar “penghias rumah”. “Tentu, saya akan ikut,” jawabnya, meskipun ada sedikit kebingungan dalam dirinya.
Jude meliriknya sejenak sebelum kembali fokus pada sarapan. “Bagus. Akan ada banyak orang penting yang harus kamu kenal. Berbicara tentang bisnis, lebih banyak ketimbang pernikahan.” Suaranya terdengar serius, seperti sebuah pernyataan yang sudah terencana dengan matang.
---
Setelah sarapan, mereka pergi bersama ke kantor Jude. Ryne duduk di kursi belakang mobil, menatap ke luar jendela tanpa berkata-kata. Tiba-tiba, dunia di luar mobil itu tampak sangat berbeda. Gedung-gedung tinggi dan jalanan yang sibuk menambah kesan bahwa kehidupan di sini, di kota besar ini, sangat jauh berbeda dari kehidupan yang ia kenal.
Mobil akhirnya berhenti di sebuah gedung bertingkat tinggi dengan desain modern dan canggih. Gedung itu adalah markas tempat Jude bekerja. Ketika mereka berjalan memasuki lobi, Ryne merasa seperti ikan kecil yang terdampar di lautan luas. Semua orang tampak sibuk, berlari dengan tujuan yang jelas, berinteraksi dengan sesama profesional, berbicara dalam bahasa dunia bisnis yang sangat jauh dari dunia yang pernah ia bayangkan.
Jude tampak seperti ikan besar di antara mereka. Semua orang menyapanya dengan hormat, bahkan beberapa dari mereka menghentikan langkah hanya untuk memberinya penghormatan.
“Ini dunia tempatku berada,” kata Jude, seakan-akan membaca apa yang ada dalam pikiran Ryne. “Tapi kamu akan terbiasa dengan semuanya. Ini bagian dari kehidupan kita.”
Ryne mengangguk pelan, mencoba mengingat apa yang baru saja dikatakan oleh suaminya itu. Sebuah dunia yang sama sekali berbeda dengan dunia yang ia kenal. Sejak pernikahan ini dimulai, hidupnya terasa seperti beralih ke dunia yang penuh dengan aturan yang tidak ia mengerti.
Jude membawa Ryne masuk ke ruang rapat yang besar, di mana beberapa orang sudah menunggu. Mereka adalah kolega dan mitra bisnis yang sangat penting bagi kesuksesan perusahaan Jude. Ryne memperkenalkan dirinya sebagai istri Tuan Blackwell dengan sedikit rasa canggung. Semua orang menyambutnya dengan senyum sopan, tetapi Ryne bisa merasakan ada ketegangan yang tersembunyi di balik senyuman mereka. Apakah mereka merasa bahwa ia bukan bagian dari dunia ini? Mungkin.
Pertemuan berlangsung selama dua jam, dan selama itu, Ryne hanya duduk di sudut ruangan, merasa seperti orang luar. Semua percakapan yang terjadi di sekitar meja rapat itu terdengar rumit dan penuh jargon bisnis yang tak ia pahami. Setiap kali seseorang berbicara, wajah Jude tetap tenang, matanya fokus pada apa yang mereka diskusikan. Ryne merasa seperti seorang penonton yang tak berdaya, duduk diam di ruang itu tanpa memiliki kontribusi apa pun.
Akhirnya, setelah pertemuan selesai, mereka berjalan keluar dari gedung itu dan kembali ke mobil. Ryne tidak bisa menahan diri untuk bertanya.
“Apa yang sebenarnya kita lakukan, Jude?” Suaranya terdengar sedikit gemetar, seakan bertanya pada dunia yang tidak ia mengerti.
Jude menatapnya sesaat, dan untuk pertama kalinya sejak pernikahan mereka, ada sesuatu yang lembut dalam pandangannya. “Kita menjalani kehidupan ini dengan cara kita masing-masing. Ada yang berfokus pada bisnis, ada yang berfokus pada keluarga. Ini dunia yang penuh dengan pilihan.”
Ryne menghela napas pelan, tidak yakin apa yang ia rasakan. Semua ini terasa asing. Kehidupannya yang dulu, yang sederhana dan penuh kebebasan, terasa sangat jauh. Kini, ia terjebak dalam dunia yang sangat besar dan sulit dipahami.
Namun, ada satu hal yang ia tahu dengan pasti: dunia ini milik Jude. Dan ia? Ia hanya mengikuti alur yang ada. Mencari cara agar bertahan hidup, dengan pernikahan yang lebih berfungsi sebagai jembatan daripada sebuah cinta sejati.
