Pustaka
Bahasa Indonesia

CONTRACTED HEARTS

33.0K · Tamat
Abby yebie
27
Bab
55
View
9.0
Rating

Ringkasan

Ryne Morgan, gadis berusia dua puluh tahun dengan masa lalu yang penuh luka, tidak pernah membayangkan bahwa kehidupannya akan berubah drastis hanya karena satu kontrak. Terlempar dari dunia yang ia kenal, Ryne dihadapkan pada tawaran yang sulit untuk ditolak — menikah secara kontrak dengan Jude Blackwell, pria kaya dan terpandang berusia dua puluh dua tahun yang tengah menghadapi tekanan dari keluarganya. Jude tak percaya cinta, tapi ia butuh pasangan untuk menyelamatkan reputasinya. Sedangkan Ryne hanya ingin satu hal: kesempatan untuk memulai hidup baru. Namun ketika batas antara kontrak dan kenyataan mulai memudar, keduanya harus memilih antara perasaan yang tumbuh diam-diam atau mempertahankan kesepakatan dingin yang mereka buat. Sebuah kisah tentang cinta pura-pura yang perlahan menjadi nyata, dengan luka lama, rahasia keluarga, dan mimpi-mimpi yang hampir padam.

RomansaDramaDesainerBillionairePlot TwistWanita CantikKepribadian GandaBaik HatiSweet

LUKA RYNE DAN TAWARAN MISTERIUS

Langit kota itu kelabu, diselimuti kabut tipis yang membuat segala sesuatu terlihat suram dan asing. Ryne Morgan berdiri di depan stasiun bus dengan koper tua dan tas duffel yang sudah mulai koyak di sudut. Langkah-langkahnya terasa berat di trotoar yang basah oleh hujan semalam. Setiap suara klakson, derap kaki, dan obrolan orang-orang di sekitarnya seperti menggema dalam ruang kosong di dadanya.

Dia baru saja meninggalkan segalanya — rumah kecil yang sudah rapuh, ibunya yang masih terbaring sakit di rumah sakit daerah, dan impian masa kecil yang kini tampak seperti cerita fiksi belaka. Ryne pernah bercita-cita menjadi perancang busana terkenal. Sejak kecil, ia suka bermain dengan potongan kain, membuat baju-baju boneka dari sisa bahan yang ibunya kumpulkan. Ibunya, seorang penjahit kampung, adalah segalanya bagi Ryne. Tapi hidup tidak pernah adil. Ayahnya menghilang saat Ryne berusia dua belas tahun. Dan sejak itu, ibunya mulai sakit-sakitan, hingga akhirnya divonis menderita penyakit jantung kronis yang memerlukan pengobatan rutin dan biaya yang tidak sedikit.

Ryne tidak pernah sempat menyelesaikan kuliahnya. Ia terpaksa putus sekolah demi mencari pekerjaan. Menjadi pelayan kafe, menjadi pengantar barang, apa saja yang bisa menghasilkan uang. Ia selalu mengirimkan sebagian besar penghasilannya ke rumah untuk biaya pengobatan ibunya. Namun di balik semua kesulitan itu, satu hal yang terus membuatnya bertahan adalah mimpinya. Meskipun redup, api kecil itu belum sepenuhnya padam.

Hari itu, seperti hari-hari sebelumnya, ia sedang menjalani rutinitas barunya sebagai kurir dokumen. Ia bekerja untuk sebuah agen pengiriman kecil yang bermitra dengan banyak perusahaan di kota besar ini. Pagi itu ia menerima tugas untuk mengantar dokumen penting ke sebuah gedung pencakar langit bergaya modern, tepat di jantung kota. Gedung itu menjulang tinggi, dengan lapisan kaca berkilau yang memantulkan cahaya mentari pagi yang redup.

Setibanya di sana, Ryne disambut oleh lobi marmer yang luas dan dingin, penjaga keamanan dengan setelan rapi, serta aroma kopi mahal dari kafe kecil di sudut. Ia menunjukkan ID pengiriman dan diarahkan ke lift menuju lantai paling atas.

Di dalam lift, jantungnya berdetak lebih cepat. Ia belum pernah berada di tempat semewah ini sebelumnya. Setiap dinding lift terbuat dari kaca yang memantulkan bayangan dirinya — wajah pucat, rambut cokelat yang diikat asal, dan mantel lama yang terlihat kontras dengan lingkungan di sekitarnya. Ia merasa seperti pecahan kaca yang tak sengaja terjatuh di antara permata.

Pintu lift terbuka dengan suara lembut. Ia melangkah keluar, menatap lorong panjang dengan karpet abu-abu dan lukisan-lukisan abstrak di dindingnya. Ia hampir mencapai pintu yang dituju saat seseorang keluar dari ruangan lain, dan tanpa sengaja mereka bertabrakan.

Dokumen di tangan Ryne jatuh berserakan.

“Oh maaf! Saya tidak lihat...” Ryne buru-buru membungkuk, memunguti dokumen satu per satu.

Pria yang ditabraknya berdiri diam. Ia tidak segera membantu, namun matanya tertuju langsung ke wajah Ryne — seolah sedang membaca halaman-halaman tersembunyi dari buku hidupnya. Pria itu tinggi, berpakaian jas hitam sempurna, dengan rambut gelap yang disisir rapi ke belakang. Aura dingin dan berwibawa terpancar darinya. Ia tidak mengatakan apa-apa, hanya menatap, dalam dan lama.

Ryne merasa tubuhnya membeku. Tatapan pria itu seperti menembus lapisan-lapisan yang selama ini ia jaga rapat. Namun ia buru-buru mengalihkan pandangan, merapikan dokumen di pelukannya dan menunduk sopan.

“Maafkan saya,” ulangnya.

Pria itu akhirnya mengangguk kecil, lalu berjalan pergi tanpa sepatah kata pun.

Ryne menatap punggungnya yang menjauh dengan alis mengernyit. Ada sesuatu yang aneh. Bukan hanya cara pria itu menatapnya, tapi juga suasana di sekitarnya yang mendadak terasa berubah.

Ia menyerahkan dokumen ke resepsionis lantai itu dan segera meninggalkan gedung. Namun bayangan pria tadi terus melekat di pikirannya sepanjang hari.

Malam itu, Ryne duduk di atas kasur busa tipis di kamar kecilnya yang terletak di lantai tiga sebuah bangunan tua. Dindingnya berjamur, dan jendela kayunya sulit ditutup rapat, sehingga angin malam kerap masuk dan membuatnya menggigil. Ia menyewa kamar itu dari sepupu jauhnya, Lina, yang bersedia menampungnya sementara sampai ia cukup mapan untuk mencari tempat sendiri. Meski sempit dan berisik, tempat itu satu-satunya yang bisa ia sebut rumah sekarang.

Ia membuka buku sketsanya, yang sudah mulai kusam dan penuh lipatan. Di sana, ia menggambar gaun — sederhana, anggun, dengan sentuhan renda di bagian pinggang. Setiap goresan pensil adalah cara Ryne melarikan diri dari kenyataan. Ia membayangkan seorang wanita berdiri di atas runway, mengenakan gaun ciptaannya, dengan kilauan lampu menyinari setiap detail desain yang ia kerjakan dengan sepenuh hati.

Tiba-tiba, ketukan terdengar di pintu. Ryne menoleh. Sudah hampir jam sepuluh malam. Siapa yang datang malam-malam begini?

Dengan langkah hati-hati, ia membuka pintu. Seorang kurir berdiri di sana, mengenakan jaket hitam dan helm yang masih dikenakan.

“Kiriman atas nama Ryne Morgan,” katanya singkat, menyerahkan amplop putih tebal dan meminta tanda tangan.

Ryne menerimanya dengan heran. Ia menatap amplop itu—berwarna putih bersih, tanpa logo perusahaan, hanya namanya tertulis di bagian depan dengan huruf cetak rapi. Begitu kurir pergi, ia menutup pintu dan kembali ke tempat tidurnya, lalu perlahan membuka amplop tersebut.

Di dalamnya, terdapat selembar kertas berkepala surat resmi: Blackwell International Holdings.

Alisnya terangkat. Ia membaca dengan cepat:

> Kepada Nona Ryne Morgan,

Atas permintaan langsung dari Tuan Jude Blackwell, Anda diundang untuk menghadiri pertemuan pribadi pada hari Kamis, pukul 09.00 pagi, bertempat di kantor pusat Blackwell Tower, lantai 72.

Pertemuan ini bersifat penting dan pribadi. Mohon hadir tepat waktu.

Jantung Ryne berdebar kencang. Jude Blackwell. Nama itu… Pria di lift. Wajah dingin, mata tajam, sikap penuh rahasia. Kenapa dia mengundangnya? Apa karena kejadian tabrakan itu? Tidak mungkin. Ia hanyalah seorang kurir biasa. Tidak ada alasan pria seperti itu — yang dari penampilannya saja sudah jelas seorang CEO atau semacamnya — ingin bertemu dengannya.

Malam itu, Ryne hampir tidak bisa tidur. Pikirannya dipenuhi dugaan-dugaan gila. Namun rasa penasaran jauh lebih kuat dari rasa takut. Ia tahu, jika ada kesempatan untuk mengubah hidupnya, mungkin inilah saatnya.

---

Keesokan harinya, Ryne mengenakan pakaian terbaik yang ia miliki — blus putih bersih dan celana panjang hitam yang sempit di pinggang karena sudah lama tidak dipakai. Rambutnya ia ikat rapi, dan sepasang sepatu hak rendah berwarna abu-abu, satu-satunya sepatu formal yang ia miliki, ia poles hingga mengilap.

Ia tiba di Blackwell Tower lima belas menit lebih awal. Resepsionis menyapanya dengan sopan dan mengarahkan ke lift yang akan membawanya ke lantai 72. Jari-jarinya dingin saat menyentuh tombol lift. Kali ini, tidak ada tabrakan. Tapi suasana yang menyambutnya tetap sama: megah, sunyi, dan mengintimidasi.

Seorang wanita berpakaian serba hitam menyambutnya di depan pintu kaca besar.

“Ryne Morgan?”

“Iya, saya.”

“Silakan ikut saya.”

Ia dibawa masuk ke dalam sebuah ruangan luas dengan dinding kaca transparan yang memperlihatkan panorama kota dari ketinggian. Di tengah ruangan, duduklah pria itu — Jude Blackwell — di balik meja hitam mengilap. Ia mengenakan setelan jas yang berbeda dari kemarin, tapi tetap sempurna dan tak bernoda. Ia menatap Ryne seolah ia sudah mengenalnya sejak lama.

“Silakan duduk,” ucapnya tenang.

Ryne duduk perlahan, menjaga posturnya agar tidak terlihat gugup. Tapi tangannya sudah mulai berkeringat.

“Saya yakin kamu bertanya-tanya kenapa saya memanggilmu kemari,” kata Jude tanpa basa-basi.

Ryne hanya mengangguk.

“Aku mengamati kamu,” lanjutnya. “Kemarin bukan kebetulan. Dan sebelum kamu berpikir macam-macam, tidak, aku bukan semacam penguntit. Tapi aku butuh seseorang dengan karakter tertentu. Dan kamu… punya itu.”

Ryne meneguk ludah. “Karakter?”

“Aku butuh seseorang yang bisa dipercaya, bukan dari lingkaran sosialku, dan cukup berani untuk menerima kesepakatan yang tidak biasa.”

Ia merogoh laci mejanya dan mengeluarkan map. Ia mendorong map itu ke arah Ryne.

Ryne membukanya dengan tangan gemetar. Di dalamnya, terdapat sebuah dokumen berjudul: Perjanjian Pernikahan Kontrak.

Matanya membesar. Ia menatap Jude, bingung.

“Ini… lelucon?”

“Tidak,” jawab Jude cepat. “Aku ingin kamu menikah denganku. Secara hukum. Kontrak selama satu tahun. Dengan syarat dan ketentuan yang jelas. Setelah itu, kamu bebas pergi. Tapi kamu akan mendapatkan imbalan yang setimpal.”

“Kenapa saya?” Ryne nyaris berbisik.

Jude menatapnya, matanya tajam tapi tidak mengancam. “Karena kamu tidak akan menjual cerita ini ke media. Karena kamu butuh uang, tapi tidak haus akan popularitas. Dan karena… kamu tidak seperti orang-orang lain yang pernah aku kenal.”

Ryne memejamkan mata sesaat, mencoba mencerna semua ini.

Kontrak. Pernikahan. Uang.

Dan pria asing yang tampaknya melihat dirinya lebih dalam dari siapa pun sebelumnya.

Ruangan itu mendadak terasa lebih sempit. Bunyi detak jarum jam di dinding terdengar semakin nyaring di telinga Ryne. Ia menatap kembali dokumen itu — ada banyak pasal di dalamnya. Tentang kewajiban, batasan privasi, larangan membocorkan hubungan kepada publik, dan tentu saja: masa berlaku kontrak. Satu tahun.

“Kamu boleh bawa pulang dokumen ini dan memikirkannya. Aku tidak minta jawaban hari ini,” kata Jude, suaranya tenang seperti biasa. “Tapi ingat, kesempatan ini hanya datang sekali. Aku tidak akan tawarkan dua kali.”

Ryne menatapnya lama. Ia ingin bertanya banyak hal — kenapa pria seperti dia perlu pernikahan kontrak? Kenapa tidak memilih seseorang dari dunia glamor yang pasti lebih cocok? Apa yang sebenarnya dia sembunyikan?

Tapi bibirnya kelu.

Ia hanya mengangguk perlahan. “Baik. Saya akan baca ini.”

Jude mencondongkan tubuh ke depan, menyilangkan jemarinya di atas meja.

“Ryne,” katanya, nada suaranya berubah lebih dalam. “Ini bukan tentang cinta. Aku tidak menjanjikan apa-apa kecuali stabilitas dan imbalan finansial. Kamu harus benar-benar siap dengan konsekuensinya.”

Ryne mengangguk lagi, kali ini lebih tegas. “Saya mengerti.”

Ia bangkit dari kursi, menyelipkan map ke dalam tasnya, dan pamit dengan hormat. Ketika keluar dari ruangan itu, langkahnya masih goyah. Tapi dalam hatinya, satu hal mulai tumbuh: harapan. Peluang. Dan mungkin, perubahan.

Sesampainya di jalanan, ia menatap langit yang kini mulai cerah. Awan abu-abu telah bergeser, memberi ruang pada sinar mentari yang malu-malu menembus celah gedung.

Tangannya menggenggam tas erat-erat.

Ini mungkin gila. Tapi dalam hidup Ryne, kegilaan kadang-kadang adalah satu-satunya jalan keluar dari kenyataan yang pahit.

Dan mungkin… dari sinilah kisah yang sebenarnya akan dimulai.