KEPUTUSAN YANG SULIT
Pernikahan tanpa cinta. Sebuah kalimat yang terus berputar di benak Ryne setiap kali ia menatap wajah Jude. Perasaan yang datang begitu pelik. Ia sering bertanya-tanya, apakah ini akan menjadi hidupnya yang sesungguhnya—sebuah rutinitas kosong tanpa gairah, tanpa perasaan? Ia tak tahu. Yang ia tahu, setiap langkah yang ia ambil, setiap keputusan yang ia buat, semakin menjauhkannya dari kehidupan yang ia impikan.
Setelah beberapa minggu menjalani kehidupan sebagai istri dari seorang pria kaya, Ryne mulai merasa seakan dunia di sekitarnya hanya berputar di sekitar Jude dan dunia bisnisnya. Pagi-pagi, dia sudah pergi untuk rapat bisnis atau perjalanan dinas yang entah berapa lama. Ryne sendiri lebih sering menghabiskan waktu di rumah besar mereka yang kosong. Rumah itu, meskipun mewah, terasa sepi dan sunyi. Tidak ada tawa, tidak ada suara yang menenangkan. Hanya hening, dan itu semakin menekan perasaan Ryne.
Hari ini, seperti biasa, Jude sudah pergi lebih pagi dari biasanya, meninggalkannya sendirian di rumah. Ryne berjalan ke taman belakang, tempat yang sedikit lebih hidup dengan tanaman hijau dan bunga yang baru saja mulai bermekaran. Ia duduk di bangku taman yang menghadap ke kolam kecil, membiarkan udara pagi yang segar mengalir melalui rambutnya. Ada sesuatu yang menenangkan tentang tempat ini, meski perasaan cemas dan kesepian tetap menghantuinya.
Beberapa hari terakhir, Ryne merasa cemas. Kehidupannya, yang dulunya penuh dengan mimpi dan harapan, kini terasa begitu terperangkap dalam kontrak pernikahan ini. Tak ada kebebasan untuk meraih apa yang benar-benar diinginkannya. Bahkan, pernikahan ini yang seharusnya memberi kenyamanan, malah membuatnya merasa semakin jauh dari dirinya sendiri. Ia hanya menuruti apa yang dikehendaki oleh Jude, mengikuti jalur yang telah ditentukan, namun tanpa arah.
Saat ia termenung, ponselnya bergetar di atas meja taman. Ryne mengambilnya dengan ragu, melihat nama yang tertera di layar. Itu adalah panggilan dari Miranda, asisten pribadi Jude. Miranda jarang menelepon langsung, hanya mengirim pesan jika ada hal yang perlu dibereskan. Ryne merasa sedikit cemas, tapi ia mengangkatnya.
"Ryne, saya ingin memberitahumu sesuatu," suara Miranda terdengar di ujung sana, tegas namun sedikit terburu-buru. "Ada pertemuan yang sangat penting untuk Tuan Blackwell. Saya tahu kamu di rumah, dan kami butuh kamu untuk ikut hadir."
Ryne terdiam sejenak, matanya menatap ke depan. "Pertemuan apa?" tanya Ryne, mencoba untuk tetap tenang.
"Itu terkait dengan keputusan besar yang harus diambil oleh perusahaan," jawab Miranda. "Tuan Blackwell ingin agar kamu ikut serta, meskipun hanya sebagai formalitas. Kamu tahu, sebagai istri."
Ryne bisa merasakan ketegangan dalam suara Miranda, dan sejenak ia merasa dirinya hanya dianggap sebagai perhiasan, bukan sebagai seseorang yang dihargai dalam dunia ini. Tapi ia tahu, ini adalah bagian dari permainan yang harus ia ikuti. Keputusan ini, seperti keputusan-keputusan sebelumnya, bukan untuk dirinya sendiri. Melainkan untuk menciptakan citra yang sempurna bagi perusahaan dan kehidupan yang telah ditentukan oleh Jude.
"Baiklah, saya akan siap-siap," jawab Ryne akhirnya, meskipun hatinya terasa berat.
Setelah menutup telepon, Ryne berdiri dan melangkah kembali ke dalam rumah. Ia melihat ke arah ruang tamu yang besar, di mana berbagai lukisan mahal menghiasi dinding. Semuanya tampak sempurna. Terlalu sempurna. Seperti dunia yang tidak ada tempat untuk dirinya sendiri. Hatinya terasa semakin terperangkap.
---
Di ruang rapat besar yang terletak di lantai paling atas gedung milik Jude, suasana sangat formal. Beberapa eksekutif perusahaan berkumpul di sekitar meja panjang, masing-masing sibuk dengan dokumen dan laporan yang terhampar di hadapan mereka. Ryne duduk di sudut ruang rapat, merasa seperti orang asing di antara orang-orang penting yang begitu sibuk dengan dunia mereka.
Jude, seperti biasa, duduk di ujung meja, dengan wajah yang tenang dan tidak terbaca. Ia memimpin pertemuan dengan ketegasan yang luar biasa. Setiap kata yang keluar dari mulutnya diikuti dengan perhatian penuh dari semua orang di ruangan itu. Semua orang mendengarkan dengan seksama, mematuhi arahan-arahan yang diberikan, mengikuti keputusan-keputusan besar yang akan membentuk masa depan perusahaan mereka.
Ryne hanya duduk diam, merasa seperti barang yang tak penting. Ia mendengarkan perbincangan itu, meski hanya setengah hati. Setiap kali ia berusaha menyimak, pikirannya malah melayang ke hal-hal lain. Ke kehidupannya yang kosong. Ke perasaan yang ia coba sembunyikan di balik topeng ini.
Namun, saat rapat berlanjut, ia merasakan sebuah perubahan dalam atmosfer. Sesuatu yang tak terduga. Jude mengalihkan pandangannya ke Ryne di sudut ruangan, dan untuk pertama kalinya, ia berbicara langsung kepadanya di tengah rapat.
"Ryne," suaranya tenang namun penuh perhatian, "Saya ingin kamu mendengarkan ini. Keputusan yang kami buat hari ini bisa mempengaruhi masa depan perusahaan. Ini bukan hanya tentang bisnis. Ini tentang keluarga kita."
Ryne terkejut mendengar kata-kata itu. Tak biasanya Jude berbicara tentang keluarga di depan orang lain. Ia menatap suaminya dengan bingung, mencoba membaca ekspresi wajahnya, namun tak menemukan apapun selain ketenangan yang biasa.
"Apakah ini keputusan yang kamu rasa harus diambil?" tanya Ryne, meskipun ia tahu jawaban yang akan diberikan. Ini adalah permainan yang lebih besar dari dirinya, dan ia hanyalah bagian kecil dari itu semua.
Jude menatapnya, matanya yang tajam menyoroti Ryne dengan sesuatu yang berbeda. Sejenak, Ryne bisa merasakan ada sesuatu di balik sikap formal itu—sesuatu yang lebih manusiawi. "Keputusan ini bukan hanya tentang apa yang aku inginkan, tapi juga tentang bagaimana kita menjalani ini bersama," jawabnya. "Kita akan membuat keputusan yang membawa kita lebih dekat ke tujuan kita."
Namun, kata-kata itu hanya memperparah kebingungannya. Keputusan yang lebih dekat kepada apa? Tujuan mereka bersama. Ryne tidak bisa menahan rasa kecewa yang mulai menggerogoti hatinya. Mungkin, ini adalah semua yang akan ada dalam pernikahan mereka. Keputusan-keputusan yang ditentukan oleh dunia luar, bukan oleh perasaan mereka.
Setelah rapat selesai, Ryne kembali ke rumah, merasa lebih bingung daripada sebelumnya. Perasaan yang datang begitu tajam—perasaan bahwa ia hanya bagian dari sebuah permainan besar yang tidak ia mengerti. Ia ingin melarikan diri, tetapi di mana ia bisa pergi? Dunia ini, yang tampaknya penuh dengan kemewahan dan kekuasaan, justru semakin menambah rasa kesepian dalam dirinya.
Sesampainya di rumah, Ryne duduk di ruang tamu, menatap kosong ke luar jendela. Pikiran-pikirannya bertabrakan. Keputusan ini—pernikahan ini—semakin terasa berat. Tapi, di sisi lain, ia tahu tak ada jalan mundur. Tidak ada ruang untuk mundur. Kehidupan ini sudah ditentukan, dan ia harus menjalani apa yang telah ditetapkan.
