Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

PILIHAN SULIT DAN TITIK BALIK

Dini hari menjelang, dan Ryne masih belum tidur. Jam dinding di kamarnya telah menunjuk angka 3, namun matanya menatap kosong ke langit-langit yang mulai retak karena lembap. Di sebelahnya, map berisi kontrak pernikahan dari Jude Blackwell tergeletak terbuka. Lampu kecil di sisi tempat tidur memancarkan cahaya kuning yang temaram, menciptakan bayangan lembut di dinding — seperti bayangan dari keputusan besar yang tengah membayanginya.

Kertas-kertas dalam map itu sudah Ryne baca berulang kali. Setiap kalimat terasa seperti tantangan terhadap akal sehatnya.

“Kontrak akan berlaku selama satu tahun kalender sejak tanggal pernikahan resmi.”

“Tidak diperbolehkan menjalin hubungan romantis dengan pihak ketiga selama masa kontrak.”

“Kehadiran di acara-acara resmi sebagai pasangan sah Tuan Blackwell wajib dipenuhi, kecuali atas izin langsung.”

“Pembayaran akan dilakukan dalam dua tahap: lima puluh persen di awal dan sisanya setelah masa kontrak selesai.”

Dan bagian yang membuatnya tercekat:

> Tidak ada kewajiban hubungan fisik, kecuali atas kesepakatan kedua belah pihak.

Ryne menggigit bibir bawahnya. Ia tidak bisa menyangkal bahwa sebagian besar dirinya merasa takut. Ini bukan sekadar pekerjaan sementara, bukan sekadar gaji dari café atau penghasilan kecil sebagai pengantar paket. Ini pernikahan. Di atas kertas. Secara hukum. Dengan seseorang yang bahkan belum dikenalnya sepenuhnya.

Namun, di balik rasa takut itu, ada bagian kecil dari dirinya yang… penasaran. Tertarik. Bukan karena Jude Blackwell tampan atau misterius — meskipun itu tak bisa disangkal. Tapi karena untuk pertama kalinya dalam hidup, ada seseorang yang melihatnya, bahkan dalam keterpurukannya, dan tetap memberinya tawaran yang besar.

Apa mungkin orang seperti Jude menyembunyikan sesuatu?

Apa dia juga sedang berusaha menyelamatkan dirinya dari sesuatu — reputasi, keluarga, perusahaan?

Ryne menarik selimut, memeluk lututnya, dan menyandarkan kepala di lutut. Dulu, saat kecil, ibunya sering berkata: “Kalau kamu tidak ambil risiko, kamu akan tetap di tempat yang sama selamanya.”

Ibunya telah lama tiada. Tapi suara itu, nasihat itu, masih tertanam kuat dalam ingatannya.

---

Keesokan harinya, Ryne memutuskan untuk mengunjungi seseorang yang bisa memberinya pandangan lebih jernih — Lina, sepupu jauhnya yang tinggal satu lantai di bawahnya. Lina adalah wanita berusia awal 30-an yang terbiasa hidup keras sejak muda. Ia pemilik mini market kecil di ujung blok dan dikenal jujur serta blak-blakan.

Ketika Ryne mengetuk pintu apartemen Lina, wanita itu langsung menyambutnya dengan kaus longgar dan rambut acak-acakan.

“Pagi-pagi datang, pasti ada masalah,” katanya tanpa basa-basi.

Ryne tersenyum canggung. “Aku perlu bicara, penting.”

Lina mengangguk, membuka pintu lebar-lebar. “Masuk. Mau kopi?”

“Kalau ada, mau.”

Beberapa menit kemudian, mereka duduk di meja kecil, ditemani dua cangkir kopi hitam dan suara radio tua yang memutar lagu-lagu dari tahun 90-an.

Ryne lalu membuka map itu di hadapan Lina. Ia menjelaskan semuanya — dari kejadian di lift, surat undangan, hingga isi kontrak. Lina mendengarkan dalam diam, sesekali mengerutkan dahi, dan menatap Ryne seolah sedang mencoba membaca isi hatinya.

Setelah Ryne selesai, Lina bersandar di kursi, menyilangkan tangan.

“Ini gila,” katanya akhirnya. “Tapi hidup kita juga sudah cukup gila, kan?”

Ryne tertawa kecil, tapi matanya tetap serius. “Menurutmu aku harus terima?”

Lina menghela napas panjang. “Dengar, Ryne. Aku nggak bisa bilang ‘ya’ atau ‘tidak’. Tapi aku tahu satu hal. Kamu udah terlalu lama bertahan tanpa arah. Mungkin ini cara Tuhan bilang waktunya berubah.”

“Tapi… menikah? Sama orang asing?” Ryne berbisik.

Lina menatapnya tajam. “Kamu sendiri bilang, ini cuma setahun. Tidak ada paksaan fisik. Kamu butuh uang, kamu butuh waktu untuk bangkit. Kalau ini memberimu dua-duanya, mungkin kamu harus pikir ulang. Bukan tentang siapa dia, tapi tentang siapa kamu setelah ini selesai.”

Ryne terdiam.

Kata-kata Lina menamparnya — tapi lembut, penuh empati. Ia tahu, Lina tidak bermaksud memaksanya, tapi ia juga tidak ingin Ryne menyesal karena menolak sesuatu yang mungkin bisa mengubah hidupnya.

---

Sore itu, Ryne kembali ke kamar. Ia duduk di meja kecil dekat jendela dan mengambil pulpen. Di hadapannya, kontrak itu terbuka. Tangannya gemetar, tapi ia menarik napas dalam-dalam.

Satu tanda tangan. Satu goresan tinta. Dan hidupnya tidak akan pernah sama lagi.

Ia menunduk, menulis dengan hati-hati:

Ryne Morgan

Tanda tangan – Disetujui

Dan dengan itu, lembaran baru hidupnya pun dimulai — bukan dengan cinta, tapi dengan kontrak. Bukan dengan harapan, tapi dengan keberanian.

Namun ia tak tahu bahwa dari kontrak inilah, perlahan-lahan, hatinya akan dibuka kembali — oleh pria yang paling tak terduga: Jude Blackwell.

Tiga hari setelah Ryne menandatangani kontrak, ia menerima panggilan dari asisten pribadi Jude. Wanita itu bernama Miranda, suaranya tegas namun sopan. Ia memberi tahu bahwa mobil akan menjemput Ryne besok pagi, pukul sembilan, untuk bertemu kembali dengan Tuan Blackwell dan membicarakan detail lanjutan pernikahan serta “penyesuaian awal kehidupan baru.”

Ryne hanya bisa menjawab dengan suara pelan, “Baik.”

Tapi setelah panggilan itu berakhir, tangannya gemetar. Ia tak tahu apakah ini kegugupan atau antusiasme — mungkin keduanya. Ia berdiri di depan cermin, menatap bayangan dirinya sendiri. Seorang gadis dua puluh tahun, dengan kulit yang tak sempurna, rambut cokelat kusam yang mulai tumbuh bercabang, dan mata kelelahan karena terlalu lama menyembunyikan ketidakpastian hidup.

“Apakah ini benar-benar kamu, Ryne?” bisiknya pada bayangan di cermin.

Tapi tidak ada jawaban. Hanya pantulan seorang perempuan muda yang terlihat lebih dewasa dari usianya.

---

Keesokan harinya, tepat pukul sembilan, sebuah mobil hitam mengilap berhenti di depan apartemen tua tempat Ryne tinggal. Sopir mengenakan jas hitam, dan tanpa banyak bicara, ia membukakan pintu belakang untuk Ryne. Di dalam, interior mobil terasa seperti dunia lain — kulit lembut, parfum halus yang mahal, dan keheningan yang aneh.

Perjalanan itu tidak lama, tapi cukup untuk membuat Ryne merasakan seluruh ketidakpastian hidupnya kembali muncul. Sesampainya di rumah Jude — atau lebih tepatnya, mansion — Ryne terdiam. Bangunan bergaya Victoria berdiri megah di atas bukit kecil, dikelilingi taman yang rapi dan pagar besi hitam yang menjulang.

Jude sudah menunggunya di pintu masuk.

Ia mengenakan kemeja putih yang dilipat hingga siku, dan celana abu-abu yang membuat postur tubuhnya terlihat lebih tinggi dari biasanya. Wajahnya tetap tenang — dingin, tapi tidak kasar. Ketika Ryne keluar dari mobil, pria itu menghampirinya dan mengangguk singkat.

“Selamat datang,” katanya.

Ryne membalas dengan sopan. “Terima kasih telah menerima saya.”

Jude mempersilakannya masuk. Interior rumah itu seperti istana — marmer putih, chandelier menggantung, lukisan-lukisan klasik menghiasi dinding. Tapi suasananya sepi, nyaris tak ada suara, seperti rumah tanpa kehidupan.

“Rumah ini terlalu besar untuk satu orang,” kata Jude tiba-tiba, seolah membaca pikiran Ryne.

Ryne hanya tersenyum tipis. “Tapi indah.”

Mereka berjalan ke ruang kerja, ruangan yang sama seperti pertama kali mereka bertemu. Di sana, Miranda telah menyiapkan map baru berisi detail jadwal dan kewajiban yang lebih spesifik — tanggal upacara pernikahan sipil, baju yang akan dipakai, nama pengacara yang akan mengesahkan dokumen, hingga aturan kehidupan bersama.

Tapi yang paling membuat Ryne terdiam adalah satu kalimat di halaman terakhir: “Mulai hari ini, Tuan dan Nona akan mulai tinggal bersama.”

“Mulai hari ini?” Ryne mengulang pelan, matanya terangkat menatap Jude.

Pria itu menatapnya tenang. “Ada alasan hukum yang mengharuskan kita tinggal di alamat yang sama, untuk keperluan administratif. Ini bagian dari kesepakatan.”

Ryne menggigit bibir. Dunia terasa sedikit berputar. Ia tak pernah membayangkan akan tinggal di rumah sebesar ini… dengan seorang pria asing… yang sebentar lagi akan menjadi suaminya — meskipun hanya di atas kertas.

“Ada kamar khusus yang telah disiapkan untukmu,” lanjut Jude. “Kamu bebas menata atau menggantinya sesuai keinginan.”

Ryne mengangguk pelan.

Tak lama kemudian, Miranda mengantar Ryne ke lantai atas. Kamar yang dimaksud terletak di sayap kanan rumah, jauh dari kamar utama milik Jude. Luas, bersih, dan penuh cahaya alami. Di dalamnya ada lemari besar, tempat tidur putih berkanopi, dan balkon yang menghadap taman belakang.

Ryne berdiri di ambang pintu. Ia merasa seperti karakter dalam novel — gadis miskin yang tiba-tiba masuk ke dunia bangsawan. Tapi ini bukan dongeng. Ini adalah realita… yang dibentuk oleh kontrak.

Miranda meninggalkannya untuk beristirahat. Ryne duduk di tepi ranjang, matanya menatap keluar jendela.

Untuk sesaat, semuanya terasa sunyi. Tidak ada café bising. Tidak ada tetangga yang bertengkar. Tidak ada bunyi sepeda motor dari lorong sempit apartemen. Hanya angin lembut dan burung-burung kecil yang berkicau di taman.

Tapi di dalam dadanya, badai mulai bergemuruh. Ini awal dari sesuatu. Sesuatu yang belum pernah ia alami. Ia tak tahu akan berakhir di mana. Tapi satu hal ia tahu: jalan pulang sudah tidak ada lagi.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel