Antara Logika dan Hati
Cahaya matahari musim gugur masih menyelinap masuk, namun ruangan itu tetap terasa dingin. Bukan kerana cuaca, tapi kerana suasana hati Ryne yang semakin berat. Pikirannya melayang kepada kontrak pernikahan yang dulu ia tandatangani tanpa banyak bertanya. Saat itu, ia fikir semua ini hanya akan berlangsung enam bulan. Mudah, jelas, tanpa emosi. Tapi kini, hanya dua bulan berlalu dan hatinya sudah mulai bergetar dalam diam.
Dia menatap layar laptop, mencoba fokus pada dokumen yang seharusnya ia sunting untuk kuliahnya. Tapi satu kalimat pun tak masuk ke kepala. Sebaliknya, bayangan Jude terus muncul—tatapan kosongnya, kalimat singkatnya, dan langkah-langkahnya yang menjauh.
Apa dia menyesal?
Atau... sudah bosan?
Ketika hatinya mulai memunculkan spekulasi, nada notifikasi dari ponselnya memecah kesunyian. Sebuah pesan muncul di layar:
> Jude: Aku mungkin pulang agak larut malam. Ada dinner meeting.
Ryne menatap pesan itu lama. Tiada emotikon, tiada kata maaf, hanya pemberitahuan dingin yang terasa... profesional. Seperti sekadar mengabari rekan kerja. Bukan istri.
Tangannya menggetar sedikit saat membalas.
> Okay. Hati-hati di jalan.
Pesan itu terkirim, tapi tidak dibaca. Seketika, dada Ryne terasa sesak. Ia bangkit, berjalan ke jendela, memandang keluar. Orang-orang lalu-lalang, mobil berseliweran, dunia terus bergerak. Tapi hidupnya terasa seperti diam di tempat.
Dia menarik napas dalam-dalam. "Ini hanya sementara," bisiknya pada diri sendiri. “Ini cuma perjanjian. Jangan terlalu berharap.”
Namun hatinya, seperti biasa, tidak mendengarkan logika.
Sementara itu, Jude melangkah masuk ke sebuah restoran hotel lima bintang di jantung kota London. Tempat itu bukan hanya glamor, tetapi juga penuh dengan orang-orang berpengaruh. Ia tak suka keramaian, tapi malam ini ia harus hadir. Makan malam bisnis ini terlalu penting untuk dilewatkan—begitu kata asistennya.
Ia tiba beberapa menit lebih awal. Meja yang dipesan berada di sudut dengan pencahayaan hangat dan musik jazz lembut mengalun dari sudut ruangan. Ketika ia hampir duduk, suara lembut namun tajam menyapanya dari belakang.
“Long time no see, Jude.”
Tubuhnya kaku seketika.
Jude menoleh pelan dan mendapati seorang wanita dengan gaun satin berwarna burgundy berdiri di sana, bibirnya melengkung dalam senyum misterius. Rambut hitam legamnya digelung rapi, dan kalung berlian kecil menghiasi leher jenjangnya.
“Celeste,” katanya pelan, nyaris seperti desahan.
“Still remember me?” Dia duduk tanpa diundang. Gerak-geriknya masih anggun seperti dulu—terlalu percaya diri.
Jude menyandarkan tubuh ke kursi, mencoba menguasai ekspresinya. “Apa yang kamu lakukan di sini?”
“Bukankah ini makan malam bisnis? Aku salah satu investor baru perusahaanmu, Jude.” Dia mengedipkan mata. “Kau seharusnya lebih teliti membaca daftar tamu.”
Jude memijat pelipisnya perlahan. Celeste Moreau. Wanita yang dulu nyaris ia nikahi. Mereka pernah menjalin hubungan penuh gairah dan ambisi, sebelum semuanya runtuh kerana pengkhianatan dan kebohongan. Dan sekarang, dia muncul semula—di saat Jude sedang bergelut dengan perasaan yang tak seharusnya ada… terhadap Ryne.
“Aku datang untuk urusan profesional,” kata Jude akhirnya, tegas.
Celeste tersenyum lebih lebar. “Kau selalu terlalu serius. Tapi… itu yang membuatmu menarik, bukan?”
Jude mendengus pelan. Ia tahu Celeste bukan tipe wanita yang muncul tanpa alasan. Ada sesuatu yang ia inginkan. Dan instingnya mengatakan, ini lebih dari sekadar investasi.
“Sudah dengar kabar, kamu menikah,” ujar Celeste sembari memainkan gelas anggurnya. “Cepat sekali. Aku bahkan tak sempat dapat undangan.”
Jude menatapnya tajam. “Itu bukan urusanmu.”
“Oh, Jude…” Dia menyandarkan dagu ke tangannya. “Segalanya tentangmu adalah urusanku.”
Sisa makan malam itu berlalu seperti kabus yang menyelubungi kesadaran Jude. Ia duduk di meja dengan postur sempurna, menanggapi setiap percakapan bisnis, tapi pikirannya melayang jauh. Celeste terlalu dekat. Terlalu nyaman. Terlalu… familiar.
Setiap kali dia tertawa—dengan nada yang menggoda dan sedikit menuntut—ia mengingat masa lalu yang ia sendiri ingin kuburkan. Tetapi lebih dari itu, ia merasa tidak enak. Bukan karena Celeste, tapi karena Ryne.
Selama ini, ia tak pernah merasa perlu memberi penjelasan pada siapa pun. Tapi Ryne berbeda. Entah sejak bila, perempuan muda itu berhasil menyelinap ke celah hatinya yang paling keras. Dan setiap kebohongan, sekecil apapun, kini terasa seperti pengkhianatan.
Selesai makan malam, Jude menolak tawaran Celeste untuk minum di lounge hotel. “Aku sudah lelah. Besok ada meeting pagi,” katanya datar.
Celeste hanya tersenyum, seakan tahu bahwa penolakan itu bukan hanya soal waktu. “Tentu. Tapi kita akan sering bertemu mulai sekarang, Jude. Aku tak akan pergi ke mana-mana.”
Ketika Jude melangkah keluar dari hotel, udara dingin menerpa wajahnya. Tapi dinginnya tidak mengusir rasa bersalah yang mulai menyelimuti dadanya. Ia tahu, Ryne mungkin sudah tidur. Tapi malam ini, ia ingin melihat wajah itu. Ingin tahu, apakah matanya masih menyimpan rasa percaya itu.
---
Di apartmen, Ryne masih terjaga. Ia duduk di ruang tamu, dengan lampu redup, dan secangkir teh yang sudah dingin di meja. Buku di tangannya terbuka tapi tidak dibaca. Begitu mendengar suara kunci di pintu, jantungnya melonjak.
Pintu terbuka. Jude masuk dengan langkah hati-hati.
“Kau belum tidur?” tanyanya, sedikit terkejut melihat Ryne masih bangun.
“Tak bisa tidur,” jawab Ryne sambil berdiri. “Aku kira kamu takkan pulang malam ini.”
Jude melepas jasnya, menggantungnya di belakang pintu. Dia mendekat dan duduk di sofa. “Maaf. Tadi makan malamnya lebih lama dari yang diperkirakan.”
Ryne menatapnya lama. “Kau bertemu seseorang?”
Pertanyaan itu membuat Jude menoleh. Ada jeda sesaat sebelum dia menjawab, “Ya. Seorang investor. Namanya Celeste.”
Ryne mengangguk pelan, mencoba menyembunyikan reaksi. Tapi dadanya terasa menegang. Dia tak tahu kenapa nama itu membuatnya tak nyaman, walau Jude menjawab dengan jujur.
“Dia wanita?”
“Ya.”
Dan di situ, sunyi mencair seperti es yang meleleh. Jude tahu dia harus menjelaskan lebih. Tapi ia ragu—haruskah ia menceritakan bahwa Celeste adalah masa lalunya? Atau haruskah dia membiarkan Ryne percaya bahwa itu hanya urusan bisnis?
Namun yang ia tidak tahu, Ryne sudah merasakannya. Ada jarak yang perlahan muncul. Ada sesuatu yang Jude sembunyikan—bukan melalui kata-kata, tapi melalui tatapan yang makin menjauh.
Malam itu, selepas Jude masuk ke kamar, Ryne tetap tidak berganjak dari ruang tamu. Teh di cangkirnya sudah benar-benar dingin sekarang, seperti hatinya yang perlahan mulai membeku. Tangannya mengambil telefon yang tergeletak di atas meja. Dia buka aplikasi pencari maklumat, jari-jarinya gemetar sedikit saat dia menaip: Celeste Moreau, London.
Sekejap kemudian, wajah wanita itu muncul di layar. Foto-foto yang terlalu mewah. Artikel-artikel tentang warisan keluarga Moreau, keterlibatannya dalam perusahaan teknologi besar, dan—yang paling menyesakkan dada Ryne—artikel lama tentang hubungannya dengan Jude Calloway.
Ex-lovers reunited after business summit in Zurich, tajuk salah satu artikel berbunyi. Di bawahnya, foto Celeste mencium pipi Jude dengan sangat akrab.
Ryne menelan ludah. Dia tahu dia tidak berhak cemburu. Pernikahan mereka bukan atas dasar cinta. Tapi bukankah perasaan manusia tak mengenal logika? Hatinya menjerit—lebih keras dari apa yang bisa ia ungkapkan pada Jude.
Dia tak pernah ingin jatuh cinta padanya. Tapi setiap hari, setiap senyum yang tidak disengaja, setiap sentuhan kecil saat tangan mereka bersentuhan—semuanya perlahan menanamkan rasa yang tak bisa dia kikis.
---
Keesokan paginya, Jude keluar dari kamar dengan ekspresi letih. Ia menghampiri meja makan, melihat Ryne sudah duduk di sana dengan wajah tenang namun mata yang tak bisa berbohong.
“Kau tidur?” tanya Jude sambil menuang kopi.
Ryne mengangguk. “Cukup.”
Jude duduk di depannya. “Tentang semalam… Aku rasa aku harus jujur. Celeste bukan hanya investor. Kami pernah… bersama. Lama dulu.”
Ryne mengangguk pelan. “Aku tahu.”
Jude terdiam. “Kau cari tentang dia?”
“Ya,” jawab Ryne, langsung dan jujur.
Sunyi menggantung di antara mereka. Tapi Jude merasa sesuatu dalam dirinya meleleh. Mungkin karena kejujuran Ryne. Mungkin karena ia tak marah—dia hanya… kecewa. Dan itu lebih menyakitkan.
“Aku tidak akan kembali pada masa lalu,” kata Jude perlahan. “Tapi aku juga belum sepenuhnya tahu ke mana kita akan pergi, Ryne.”
Ryne tersenyum pahit. “Mungkin karena kita tak pernah benar-benar mulai.”
