Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

KONTRAK YANG RETAK

Hari-hari setelah makan malam dengan Celeste terasa seperti badai yang tidak pernah reda, meskipun angin hanya sesekali berhembus. Jude berusaha keras untuk tidak menunjukkan ketegangan di wajahnya, tetapi Ryne—seperti biasa—dapat merasakannya. Rasa canggung yang muncul antara mereka tidak bisa disembunyikan lagi. Mereka berdua tahu, entah bagaimana, sesuatu yang tak terucapkan sudah mengubah segalanya. Kontrak ini, yang awalnya terasa seperti solusi praktis, kini terasa seperti perangkap.

Ryne tidak ingin mengakui perasaan yang tumbuh di dalam dirinya. Itu bukanlah bagian dari perjanjian mereka. Mereka tidak seharusnya terlibat perasaan. Tetapi bagaimana dengan kenyataan bahwa setiap kali mereka berdekatan, hatinya berdebar lebih cepat? Bagaimana dengan perasaan ketika tangan mereka secara tidak sengaja bertemu? Bagaimana dengan perasaan ketika dia memandang mata Jude dan merasakan kekosongan yang dalam di dalam dirinya?

Satu-satunya alasan dia bisa bertahan selama ini adalah karena dia tidak mau terlihat lemah. Dia tidak ingin tampak seperti orang yang tenggelam dalam perasaan yang tak seharusnya ada. Tetapi semakin dia mencoba untuk menjauh, semakin dia merasa terikat.

---

Hari itu, mereka berada di rumah, duduk di ruang tamu. Jude tengah memeriksa dokumen di laptopnya, sementara Ryne duduk di sofa dengan ponselnya. Tak ada kata-kata yang terucap. Tidak seperti dulu, saat mereka berbicara tentang segala hal—makanan, hobi, mimpi. Sekarang, hanya ada keheningan yang mengisi ruang.

Jude menutup laptopnya dan menghela napas. “Ryne, aku tahu ini sulit untukmu. Tapi kita tidak bisa membiarkan masa lalu menguasai kita.”

Ryne menoleh, menatapnya dengan tatapan kosong. “Aku tahu. Aku tak akan membiarkanmu terperangkap dalam masa lalu. Tapi… apakah kita benar-benar bisa terus seperti ini?”

Jude terdiam. Itu pertanyaan yang bahkan dia sendiri belum menemukan jawabannya. Mereka berdua terjebak dalam perjanjian ini—perjanjian yang mereka buat untuk alasan yang hampir semuanya berpusat pada kenyamanan, bukan perasaan. Tidak ada cinta yang seharusnya tumbuh. Tidak ada harapan yang harus muncul.

Tetapi kenyataannya adalah, perasaan itu sudah ada—terlebih lagi setelah pertemuan dengan Celeste.

---

Pagi keesokan harinya, Jude kembali keluar untuk rapat bisnis, sementara Ryne memutuskan untuk lebih banyak menghabiskan waktu di apartemen, mencoba menenangkan pikirannya yang kalut. Namun, tak lama kemudian, ponselnya berbunyi. Di layar, ada nama yang membuat darahnya mendidih—Celeste Moreau.

Dengan hati-hati, ia mengangkat telepon itu.

“Ryne,” suara Celeste terdengar di ujung telepon, lembut dan menggoda. “Aku ingin sekali bertemu denganmu. Kita perlu bicara.”

Ryne meneguk ludah. “Apa yang ingin kamu bicarakan?”

“Kau tahu, ada banyak hal yang belum selesai di antara kita,” Celeste melanjutkan, suaranya semakin dalam. “Aku rasa, kita berdua masih punya banyak yang ingin dibicarakan. Dan tentu saja, aku ingin mengobrol denganmu, tanpa ada campur tangan Jude.”

Ryne merasa perutnya terbenam ke dalam kekosongan yang dalam. Terkadang, suara Celeste bisa sangat memikat. Dan terkadang, ia hampir terjatuh ke dalam jeratnya. “Aku tak tahu, Celeste,” jawab Ryne, berusaha menjaga ketenangannya. “Aku sedang sibuk.”

“Aku tahu. Tapi aku bisa menunggumu. Jangan khawatir, aku tidak akan mengganggu.”

Ryne terdiam, merasa ada perasaan aneh yang mendorongnya untuk menerima ajakan itu. Namun, dalam hatinya, ia tahu bahwa pertemuan itu hanya akan memburukkan keadaan. Masalahnya, ia tidak tahu apakah dirinya cukup kuat untuk menolak. Ia merasa bimbang, tetapi lebih dari itu—ia merasa terjebak.

---

Jude kembali ke rumah sore itu dengan wajah lelah. Dia mengusap wajahnya dengan tangan, menyadari betapa beratnya perasaan yang ia sembunyikan. Mungkin ini bukan hanya tentang perasaan terhadap Ryne. Ini tentang perasaan terhadap dirinya sendiri, tentang keputusan yang dia buat tanpa benar-benar memikirkan konsekuensinya.

Ketika dia melangkah masuk, Ryne sudah duduk di meja makan, dengan wajah serius. Sesuatu yang tidak biasa. Jude duduk di seberangnya, mencoba membaca ekspresi Ryne.

“Ada apa?” tanya Jude pelan.

Ryne mengangkat wajahnya, tatapannya tegas. “Aku baru saja ditelepon oleh Celeste.”

Jude terdiam sejenak. “Apa yang dia inginkan?”

“Aku tidak tahu. Dia mengajakku bertemu.”

Jude merasa dadanya bergejolak. “Kenapa kau mau bertemu dengannya?”

Ryne mengangkat bahu, mencoba menahan perasaan yang mulai membanjiri dirinya. “Aku rasa, kita perlu tahu lebih banyak tentang siapa dia sebenarnya, bukan?”

Jude mengerutkan dahi. “Apa maksudmu?”

“Dia bagian dari masa lalu kamu, dan aku ingin memahami itu. Aku tidak ingin terjebak dalam ketidakpastian ini.”

Jude menggigit bibirnya, berusaha menenangkan dirinya sendiri. “Ryne, aku harap kau tahu. Semua ini… semua yang terjadi, aku tidak berniat untuk kembali pada masa lalu. Tapi aku juga tahu, kita tidak bisa terus hidup dalam kebohongan.”

Ryne menatapnya dengan tatapan yang sulit dibaca. “Aku tahu.”

Jude berdiri di depan jendela, menatap langit senja yang merona oranye, meskipun pikirannya jauh dari ketenangan. Ryne tidak bisa memendam rasa kecewa itu, dan itu membuatnya merasa semakin terhimpit. Setiap kata yang keluar dari mulutnya semakin terasa berat, seolah ada sesuatu yang mengikat hatinya dengan ketidakpastian.

Kembali ke pertemuan dengan Celeste, Jude merasa tersudut. Dia sudah berjanji pada dirinya sendiri bahwa masa lalu itu tidak akan mengganggunya lagi. Namun, bagaimana jika masa lalu itu datang mengetuk pintu tanpa diundang?

Sementara itu, Ryne duduk di meja makan, tangannya memeluk cangkir kopi yang sudah dingin. Kehangatan kopi tidak bisa mengalihkan pikirannya dari apa yang baru saja terjadi. Ketika Celeste menelepon tadi, hatinya merasa hampa. Kenapa ia merasa begitu terjebak? Bukankah ini hanya pertemuan biasa—sebuah kesempatan untuk menuntaskan urusan yang belum selesai? Lalu kenapa perasaan itu tidak pernah berhenti bergolak dalam dirinya?

Dia menatap Jude, yang sedang melamun di jendela. Pikirannya bercabang, tetapi satu hal yang pasti: mereka berdua tidak bisa terus berjalan seperti ini. Ada sesuatu yang harus dijelaskan. Tidak hanya untuk mereka berdua, tetapi juga untuk dirinya sendiri.

Jude akhirnya berbalik dan berjalan mendekat. “Ryne, kau tahu aku tidak bisa menahan masa laluku. Dan aku tidak ingin ada rahasia di antara kita.”

“Rahasia?” Ryne mengulang kata itu, suaranya terdengar tegang. “Apakah ini tentang Celeste? Atau ada hal lain yang kau sembunyikan dari aku?”

Jude terdiam. Rasanya seperti ada beban berat yang ingin dia ungkapkan, tapi di sisi lain, dia merasa tak siap untuk menghadapi kenyataan itu. Semua yang terjadi antara dia dan Ryne—kontrak ini, perasaan yang mulai tumbuh—semuanya terasa seperti teka-teki yang tak bisa diselesaikan.

“Aku hanya ingin agar kita bisa jujur,” lanjut Ryne, suaranya lebih lembut sekarang. “Aku tahu kita tidak bisa terus hidup dalam kebohongan ini, Jude. Aku juga tahu, ini bukan hanya tentang kontrak. Kita berdua mulai merasa sesuatu. Dan itu membuat semuanya rumit.”

Jude menghela napas panjang. “Aku tahu. Itu yang membuatku takut. Tapi aku tidak ingin berbohong padamu juga, Ryne. Aku tidak ingin kita terjebak dalam perasaan ini kalau itu hanya akan menghancurkan segalanya.”

Ryne menatap Jude, mencari ketenangan dalam mata coklat yang dalam itu. “Jadi, apa yang harus kita lakukan? Lupakan semuanya? Kembali seperti dulu, hanya berdasarkan kontrak?”

Jude merasakan hatinya terhimpit, dan ada rasa sakit yang begitu dalam di dadanya. “Aku tidak tahu. Tapi aku tahu, kita tidak bisa berpura-pura tidak ada apa-apa. Kita harus jujur pada diri kita sendiri.”

Seketika, Ryne merasa semuanya seperti berkecamuk dalam dirinya. Apakah ini benar-benar jalan yang ingin mereka tempuh? Untuk tetap bersama dengan perasaan yang terlarang ini, hanya untuk memenuhi apa yang telah ditulis dalam kontrak yang tidak pernah mereka pikirkan konsekuensinya?

Namun, di sisi lain, dia merasa sesuatu yang lebih dalam. Perasaan itu—yang terus tumbuh meskipun ia mencoba menahan diri—adalah kenyataan yang tidak bisa diabaikan.

Jude mendekat, menyentuh bahu Ryne, seakan mencari jalan keluar bersama. “Mungkin kita harus berbicara dengan lebih terbuka. Tentang perasaan kita, tentang apa yang sebenarnya kita inginkan. Kita bisa mulai dari sana, Ryne.”

Ryne menunduk, mengusap wajahnya, merasa kewalahan. "Apa yang aku inginkan... aku tidak tahu, Jude. Tapi aku tahu satu hal: aku tidak ingin kehilangan apa yang sudah ada. Tapi, aku juga tidak bisa terus hidup dalam ketidakpastian ini."

Jude mengangguk, merasakan betapa beratnya kata-kata itu keluar. "Aku tidak ingin kau merasa terjebak. Aku juga tidak ingin perasaan ini mengubah kita menjadi orang yang berbeda."

Mereka terdiam sejenak, hanya ada suara detak jam yang berdetak di ruang yang sunyi. Waktu berjalan begitu lambat, sementara perasaan mereka semakin dalam dan semakin membingungkan.

Setelah beberapa menit, Ryne akhirnya berbisik, “Mungkin kita perlu berhenti berpikir tentang kontrak ini untuk sementara. Dan berpikir tentang kita. Apa yang sebenarnya kita inginkan, tanpa beban apa pun.”

Jude menatapnya, menyadari bahwa kata-kata Ryne mengandung kebenaran yang sulit diterima. Tetapi dalam hatinya, ia tahu bahwa ini adalah langkah yang harus mereka ambil—untuk benar-benar mulai hidup tanpa batasan.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel