Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

4. Tuan Muda

Di tempat lain, di dalam mansion mewah, tepatnya di dalam kamar bernuansa maskulin. Trista Nathaniel Wilfred baru saja membuka mata elangnya. Tubuh kekar nan atletis nya menggeliat manja di atas tempat tidur berukuran king size berseprei putih.

"Tuan."

Suara panggilan dari pintu kamar pribadi.

"Masuk," jawab Trista serak, ciri khas orang bangun tidur.

Pintu didorong dari luar. Pria paruh baya berjas hitam masuk membawa segelas air putih di atas nampan kecil yang dibawanya. Pak Bowo, kepala asisten rumah tangga keluarga Wilfred.

"Tuan, ini sudah siang."

Tristan melirik jam dinding. "Kenapa tidak bangunkan saya dari tadi?"

"Semalam tuan pulang sangat larut malam, saya tidak tega membangunkan," jelas Pak Bowo.

"Siapkan mandi untuk saya."

"Baik, tuan."

Trista menatap langit-langit kamar. Mengingat kembali kejadian semalam. "Gue hampir saja terjebak rayuan si Amel. Sialan! Dasar wanita ular!"

Trista mengambil ponsel di atas nakas samping tempat tidur. Banyak pesan masuk, tapi tidak satupun yang dibaca apalagi dijawab.

"Tuan, kamar mandi sudah siap," Pak Bowo datang membawakan batrobe.

Dreeet!

Ponsel Trista bergetar, nama sang sahabat tertera di layar ponsel.

Trista :

"Hallo."

David :

"Hallo bro."

Trista :

"Ada apa loe pagi-pagi sudah ganggu gue?!"

David :

"Minggu depan, saudara gue ulang tahun."

Trista :

"Apa urusannya dengan gue?!"

David :

"Yaelah, dengerin dulu gue bicara! Temani gue datang ok!"

Trista :

"Ogah!"

David :

"Memangnya loe tidak tertarik melihat cewek-cewek cantik?!'

Trista tidak bicara. Pikirannya langsung membayangkan pesta penuh orang dan suara musik yang berdentum keras. Sejujurnya, Trista tidak menyukai suasana seperti itu.

David :

"Ok, bro! Pokoknya, gue tidak mau tahu. Loe harus ikut! Titik!"

Sambungan telepon terputus. Tristan melempar ponsel ke atas tempat tidur.

Di dapur, Pak Bowo sibuk menyiapkan sarapan untuk Tuan mudanya, Trista Nathaniel Wilfred.

"Jangan sampai salah," tegur Pak Bowo pada salah satu maid perempuan.

"Tenang saja, Pak Bowo. Saya sudah tahu selera Tuan Trista. Telur mata sapi ini harus setengah matang dan roti bakarnya harus dalam keadaan masih hangat."

"Lalu bagaimana dengan kopinya?!" tanya maid perempuan satunya lagi.

"Kopinya jangan terlalu manis," jelas Pak Bowo. "Pastikan takarannya kopinya pas."

Selagi mereka bertiga sibuk di dapur, Trista telah selesai dengan ritual mandinya. Dan tidak membutuhkan waktu lama bagi Trista untuk menyiapkan diri berpakaian formal seperti biasanya kalau mau bekerja.

"Tuan muda, sarapan telah siap," lapor Pak Bowo saat melihat Trista keluar dari lift rumahnya.

"Saya sarapan di kantor saja. Satu jam lagi ada meeting."

Pak Bowo hanya bisa menghela napas tanpa mengeluarkan sepatah katapun melihat kepergian tuan mudanya pergi begitu saja tanpa menyentuh sarapannya.

Tidak membutuhkan waktu lama bagi Trista sampai ke perusahaan yang telah dibangun orangtuanya saat masih hidup. Langkah lebar dan tegas tanpa ragu menapaki lantai marmer mengkilap satu demi satu.

"Pak Trista sudah datang! Cepat! Cepat! Rapikan ini semua!" seru asisten pribadi Trista yang juga merangkap sebagai sahabatnya, David. "Jangan sampai ada yang terlihat berantakan apalagi kotor!"

Empat orang langsung merapikan meja. Satu membuang box bekas sarapan, satu orang mengelap meja, satu orang membuang sampah. Meja resepsionis tempat nongkrong mereka seketika menjadi rapi kembali.

"Bos!" David datang menghampiri Trista di ikuti ketiga orang tadi.

"Jam berapa kita meeting?!" tanya Trista.

"Setengah jam lagi bos," jawab David.

"Ok!"

Trista melanjutkan lagi langkahnya yang terhenti. Masuk ke dalam lift di ikuti David dari belakang, sementara tiga orang karyawannya yang lain pergi ke ruang kerja masing-masing.

Ruang kerja luas dan mewah dengan segala pernak pernik hiasan simple namun elegan menjadi pilihan Trista dalam menghabiskan waktunya dalam bekerja. Walau usianya tergolong masih muda, tapi jangan dikira pikirannya masih kekanakan. Tidak! Cara berpikir Trista jauh lebih dewasa dibandingkan dengan umurnya karena dari usia muda, Trista sudah dibebani tanggung jawab yang cukup besar semenjak kedua orangtuanya meninggal dalam kecelakaan pesawat.

"Bos, ini beberapa dokumen yang harus ditanda tangan, tapi sebelumnya bos periksa lebih teliti lagi."

David menaruh beberapa map biru di atas meja kerja Trista.

"Kan ada loe, ngapain gue periksa lagi," ujar Trista.

"Siapa tahu gue ada salah."

Trista mengambil air putih yang selalu ada di atas meja kerjanya. Diteguknya sampai habis.

"Bos sudah sarapan?" tanya David.

"Belum," jawab Trista. "Gue tadi cepat-cepat berangkat, takut terjebak macet di jalan."

David melihat jam di tangan. "Masih ada waktu, apa mau gue bawakan sarapan?"

Trista mengangguk. "Boleh. Gue juga lapar."

***

Sementara itu, Linzy baru saja sampai di kantor.

"Semoga bos belum sampai di kantor," gumam Linzy saat masuk ke dalam lift yang akan membawanya ke lantai paling atas di mana ruang kerja bosnya berada.

"Liiin ,,,"

Suara cempreng menghentikan langkah Linzy saat akan melangkah masuk ke dalam lift.

"Tunggu, Lin."

"Ada apa?!" tanya Linzy.

Teman kerja Linzy, Reni datang mendekat. "Gue mau ngomong sesuatu."

Linzy melihat arloji di tangan. "Gue sudah terlambat. Nanti saja dijam makan siang."

"Ok! Nanti gue ke atas."

Sementara itu, diruang pemilik perusahaan dimana Linzy bekerja sedang terjadi perdebatan alot.

"Pokoknya saya tidak mau tahu, tender ratusan triliun itu harus kita dapatkan!" perintah tegas dari Mr. Robert.

"Saingan kita banyak bos," keluh Pak Yakob, wakil Presdir Mr. Robert.

"Lalu apa gunanya kau di perusahaan saya kalau begitu saja tidak becus!"

Pak Yakob hanya bisa menghela napas, berdebat dengan Robert adalah hal sia-sia. Walau Robert adalah kakak sepupunya, namun urusan pekerjaan sudah beda cerita, tidak ada saudara ataupun teman.

Linzy keluar dari lift, langkahnya sangat terburu-buru menuju meja sekretaris.

"Sepertinya Mr. Robert sudah datang," gumam Linzy. "Aku harus segera menemuinya sebelum terkena ceramahnya yang sering memekakan telinga karena aku datang terlambat."

Tok ,, tok ,,, tok ,,,

"Masuk!"

Linzy menghirup udara dalam-dalam untuk menenangkan hatinya kemudian dihembuskan perlahan sebelum masuk ke ruangan Mr. Robert.

"Kenapa kau datang terlambat?!" semprot Mr. Robert begitu melihat Linzy masuk.

"Macet bos," jawab Linzy.

"Sudah tahu macet, seharusnya kau berangkat dari rumah lebih pagi."

"Iya, bos."

Pak Yakob bangun dari duduk. "Linzy, apa dokumen yang saya kasih kemarin sudah kamu perbaiki?!"

"Sudah pak," jawab Linzy.

"Nanti antarkan ke ruangan saya."

"Baik, pak."

Pak Yakob langsung pergi meninggalkan Mr. Robert dan Linzy.

"Apa ada meeting hari ini?!" tanya Mr. Robert.

"Tidak ada," jawab Linzy. "Tapi ini ada beberapa dokumen yang harus bapak tanda tangan."

"Taruh saja di meja."

Linzy mengikuti keinginan Mr. Robert. Semua berkas ditaruh di atas meja setelah itu pergi keluar dari ruangan.

"Sebelum gue kerja, lebih baik ke kantin cari sarapan. Perut gue lapar," gumam Linzy melangkah pergi ke arah lift yang akan membawanya turun ke lantai bawah di mana kantin kantor berada.

"Tumben pagi-pagi sudah ada di kantin," tegur pria berkaca mata tersenyum manis saat melihat Linzy.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel