Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

3. Uang Yang Berkuasa

"Tapi apa nona?!" tanya Mirna serak.

Linzy menghela napas. "Kamu tahu mereka anak orang kaya?!"

Mirna mengangguk. Air matanya kembali berderai, teringat Toni yang telah menghinanya karena anak kampung dan gadis miskin.

"Orangtua mereka sangat berpengaruh, tentunya mereka tidak akan membiarkan anak-anak mereka masuk penjara yang akan mencoreng nama baik mereka," sambung Nyonya Dewi.

Mirna tertunduk. Air mata semakin deras keluar dari kelopak mata. "Sudah dipastikan mereka akan bebas. Dan aku tentunya tidak mendapat keadilan. Tuhan, seperti inikah keadilan yang harus aku terima setelah penghinaan yang telah mereka lakukan padaku?" rintihnya dalam hati.

"Tapi jangan khawatir ,,," Linzy meraih tangan Mirna, menggenggamnya seakan memberi kekuatan. "Kejadian seperti itu tidak akan terjadi lagi. Ada kami yang akan menjaga mu."

Mirna mengangguk. "Iya, nona."

"Sekarang, saya ingin tahu cerita yang sebenarnya. Kenapa kamu bisa bersama mereka?" tanya Nyonya Dewi.

Mirna menghapus air mata. Mengambil napas yang terasa sesak menghimpit rongga dada. "Semuanya berawal dari keinginan saya yang tidak tahu diri," ucapnya pelan. "Hanya gadis kampung miskin berharap punya teman dari kota biar orang-orang melihat ku hebat."

Linzy menarik napas, menghembuskannya perlahan. "Terus."

"Mereka datang ke rumah ku," lanjut Mirna. "Mengajak aku main ke sungai. Aku sangat senang karena bisa keluar dengan mereka bertiga. Apa nona tidak melihat kalau mereka bertiga itu sangat tampan?"

"Wajah mereka memang lumayan sih," jawab Linzy mengakui ketampanan Toni, Willy dan Alex.

"Selain tampan, penampilan mereka sangat berbeda dari penampilan pemuda yang ada di kampung ini. Tentu saja aku sangat senang diajak main oleh mereka bertiga," jelas Mirna menjeda cerita untuk menghapus air mata. "Awalnya, aku dan mereka main hanya di sekitaran sungai kemudian Toni minta diajak keliling sekitar kebun."

"Pantas, saat Linzy mencari mu kemana-mana tidak ketemu," ujar Nyonya Dewi. "Untung saja, ada pria tua yang melihatmu sedang bersama mereka."

"Iya, aku mencari kamu kemana-mana, karena tidak kunjung ketemu akhirnya aku menghubungi polisi," sambung Linzy. "Untung saja, aku datang tepat waktu. Kamu hampir saja ,,,"

Nyonya Dewi menyenggol lengan Linzy agar tidak meneruskan ucapannya.

"Saat itu, harga diriku sedang di injak mereka," ucap Mirna lirih. "Mereka sangat jahat, jahat."

Air mata kembali berderai membajiri pipi mulus Mirna. Isak tangis Mirna kembali mengisi udara ruangan sehingga membuat iba siapa saja yang mendengar.

"Sudah, sudah, lupakan kejadian itu!" Nyonya Dewi menenangkan Mirna. "Anggap itu sebagai pelajaran buat kamu agar lebih berhati-hati dalam memilih teman."

Linzy mengambil air putih dan diberikan pada Mirna. "Minum ini agar kamu tenang. Jangan mengingat kejadian itu lagi, biar Tuhan yang balas semua kejahatan mereka pada kamu."

Mirna mengambil air minum dari tangan Linzy. Aliran air putih segar di tenggorokan sedikit bisa menenangkan hati Mirna yang sedang dilanda kesedihan.

"Tapi Mir ,,," ucap Linzy, wajahnya diliputi rasa penasaran. "Mereka belum ,,,"

Mirna menggeleng lemah. "Belum nona. Saya masih suci."

Linzy dan Nyonya Dewi bernapas lega. Inti dari pembicaraan terjawab sudah.

***

Liburan Linzy telah usai. Pagi itu, Linzy harus kembali lagi ke kota untuk melakukan aktifitasnya. Meninggalkan desa tempat neneknya tinggal memang berat, tapi sebagai seorang pegawai yang bekerja di perusahaan orang lain tentu saja Linzy harus memenuhi kewajibannya.

"Sayaaang ,,," seruan panggilan dari luar kamar menyadarkan Linzy dari lamunan.

"I,,iya ma!"

"Kamu sedang apa?" tanya Nyonya Mela, ibunda dari Linzy Anavella Putri.

Linzy membuka pintu. "Ada apa, ma?!"

"Sayang, mau ikut mama tidak?!"

"Kemana?"

"Mall," jawab Nyonya Mela.

"Shopping?"

Nyonya Mela mengangguk. "Iya. Kamu mau ikut?!"

"Aku tidak ikut," jawab Linzy masuk ke dalam kamar.

"Eh, kenapa?" tanya Nyonya Mela mengikuti dari belakang.

"Aku malas! Terakhir ikut mama ke mall, kaki ku pegal banget. Hampir seluruh isi mall, mama jejaki."

"Namanya juga shopping," ujar Nyonya Mela.

"Mama sendiri saja pergi shopping nya. Aku mau tidur. Besok, aku harus kerja."

Nyonya Mela menghela napas kecewa. "Kamu, anak mama satu-satunya, tapi tidak mau temani mama. Ya sudah, mama pergi sendiri saja!"

Linzy tidak menghiraukan mama nya yang pergi dengan menggerutu, tubuh kecil mungilnya dibaringkan di atas tempat tidur berseprei warna merah muda.

"Satu Minggu lagi, si Silvi ulang tahun. Aku kasih kado apa untuk dia," gumamnya menatap langit-langit kamar.

Dreet ,,, dreet!

Ponsel warna silver bergetar di atas nakas samping tempat tidur.

"Panjang umur nih bocah!"

Nama Silvy tertera di atas layar ponsel.

Linzy :

"Hallo."

Silvi :

"Hai, hallo. Kamu sudah pulang?!"

Linzy :

"Sudah."

Silvi :

"Good! Kirain kamu masih di kampung halaman nenek mu."

Linzy :

"Memangnya ada apa?!"

Silvy :

"Aku hanya ngingetin, Minggu depan jangan lupa kamu datang ke ulang tahun ku! Harus dan wajib!"

Linzy :

"Maksa."

Silvy :

"Kamu itu teman dekat ku. Tentu saja, kamu wajib datang! Titik! Awas saja kalau tidak datang!"

Linzy :

"Kalau tidak datang?!"

Silvy :

"Akan ku hapus nama kamu dari dunia ini!"

Linzy tertawa terbahak :

"Ha-ha-ha. Konyol banget."

Silvy :

"Eh, ngomong-ngomong, kamu tahu berita terupdate dan terpercaya tentang si Toni, Willy dan si Alex tidak?!"

Linzy :

"Berita apa?!"

Silvy :

"Mereka bebas! Gilaaa! Aku tadi bertemu mereka di cafetaria tempat kita nongkrong."

Deg!

Linzy tertegun. Tidak menduga, ternyata secepat itu mereka bertiga bisa keluar hanya dalam hitungan hari dalam kasus pelecehan pada Mirna. Uang memang sangat berkuasa di alam jagad raya ini.

Silvy :

"Hallo ,,, hallo! Linzy, kamu masih dengerin aku, kan!"

Seruan di ujung telepon membuyarkan lamunan Linzy :

"Iya. Aku masih di sini."

Silvy :

"Kamu harus hati-hati dengan mereka. Tadi saja mereka tanya tentang kamu pada ku. Beritahu si Mirna, hati-hati kalau keluar rumah!"

Linzy :

"Iya."

Setelah itu Linzy menutup sambungan teleponnya.

"Aku harus beritahu nenek," gumam Linzy.

***

Pagi cerah, Linzy telah bersiap berangkat ke kantor.

"Ma, aku berangkat!"

"Ini masih pagi. Kamu tidak sarapan dulu?!" tegur Nyonya Mela melihat putrinya.

"Di mobil saja!" jawab Linzy.

Tuan Karim Darmawan, ayah dari Linzy baru saja menuruni anak tangga.

"Pa, aku berangkat duluan!"

Tuan Karim melihat jam di tangan. "Ini masih pagi."

"Takut terjebak macet," jelas Linzy langsung pergi keluar dari pintu rumah utama.

Hiruk pikuk serta macetnya jalan raya merupakan pemandangan hakiki setiap hari di kota besar ibukota tercinta kita ini.

"Berangkat pagi ternyata tidak menjamin selamat dari macet," keluh Linzy duduk di belakang setir.

Satu menit, dua menit bisa bersabar, tapi menit-menit berikutnya kesabaran Linzy habis juga. Dilihatnya ke belakang, samping kiri dan kanan.

"Bagaimana ini, mobilku tidak bisa keluar," gumam Linzy.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel