2. Selamat Dari Maut
"Lu lama banget!" sergah Alex pada Toni. "Waktu kita tidak banyak! Cepatlah atau gue yang mulai duluan!"
Willy tersenyum sinis pada Toni. "Dengar tuh, apa yang dikatakan si Alex!"
Kedua tangan Toni terkepal menahan marah, tapi apa yang dikatakan temannya memang benar, waktu yang mereka punya tidak banyak.
Air mata Mirna tak hentinya berderai dari sudut mata. Tubuh polosnya benar-benar tak berdaya di atas meja bagai hidangan yang siap disantap oleh ketiga orang tersebut. Hatinya hancur, sekuat apapun berusaha berontak, tetap tidak menghasilkan apa-apa.
Senyum Toni kembali terbersit disertai kilat mata yang telah diselimuti kabut gairah. Tatapannya sangat intens melihat surga dunia Mirna yang terbuka lebar sampai senjata andalannya yang telah berdiri tegak bak Monas semakin menjulang tinggi siap menghantam apapun yang ada di depan.
Detik berikutnya, kedua mata Mirna terbelalak lebar saat merasakan sesuatu masuk ke dalam aset pribadinya. "Mmm ,,, mmmm ,,," tolaknya dalam mulut yang tersumpal kain.
"Yaelah, bro! Ngapain lu masukin jari segala. Langsung saja masukin senjata andalan lu itu!" tegur Alex pada Toni.
"Gue hanya penasaran ingin melihat dalamnya. Hehehe," jawab Toni. "Bentuknya seperti apa, biar gue lihat dengan jelas."
"Semua punya perempuan bentuknya sama, hanya rasanya saja yang berbeda," ujar Willy. "Cepatlah! Gue sudah tidak tahan, senjata gue dari tadi sudah berkedut-kedut ingin masuk."
"Sabar, sabar ,,," Bukannya mengikuti omelan kedua temannya, Toni malah memainkan jari telunjuknya pada aset pribadi Mirna.
"Mmm ,,, mmmm ,,," Mirna menggelengkan kepala ke kiri dan kanan sebagai bentuk penolakan.
"Ha-ha-ha ,,,, Apa kalian tidak tertarik bermain dengan tubuh montok ini?!" tanya Toni pada Alex dan Willy.
Akhirnya, Alex dan Willy terpancing sehingga tangan-tangan nakal mereka bertiga mulai menjelajah di tubuh polos Mirna, bahkan kedua bukit kembar Mirna tak luput dari incaran.
"Sudah bro, sudah! Gue sudah tidak tahan!" Puas bermain dengan tubuh Mirna, Toni memposisikan tubuhnya di antara kedua kaki Mirna yang telah dibuka lebar-lebar.
"Kita bermain dengan permainan yang sesungguhnya," ujar Toni menatap intens bagian inti surga dunia milik Mirna. "Nikmati lah."
Bluuugh!
Pintu rumah tiba-tiba didorong kuat dari luar menghasilkan getaran di setiap dinding serta suara keras sehingga Toni, Alex dan Willy terperanjat kaget.
"Angkat tangaaan!"
Tiga orang pria berpakaian hitam menerobos masuk membawa senjata api di tangan.
"Angkat tangan! Jangan bergerak!" teriak salah satu dari mereka.
Willy dan Alex langsung melepaskan cengkeraman tangannya di kaki dan tangan Mirna, sementara Toni kebingungan melihat aset pribadinya masih terpampang nyata karena celana dalam serta celana panjangnya masih berada di antara kedua betisnya.
Toni dan Willy segera diamankan dua pria bertubuh tinggi tegap tersebut. Kedua tangan Toni dan Willy langsung dipelintir ke belakang tubuhnya tanpa perlawanan. Sementara yang satunya lagi mengamankan Toni yang sibuk menarik celana panjang untuk menutupi asetnya yang telah terkulai lemah.
Detik berikutnya, masuk gadis cantik berkulit putih langsung mendatangi Mirna.
"Ya Tuhan, Mirna!" serunya histeris bercampur kaget melihat kondisi temannya yang sangat mengkhawatirkan. Segera dibukanya jaket yang sedang dipakainya untuk menutupi tubuh polos Mirna.
Tangis Mirna meledak, dipeluknya erat tubuh gadis tersebut. "Nona Linzy, tolong aku," ucapnya serak di antara isak tangisnya.
Linzy balas memeluk erat tubuh Mirna. "Tenang, tenang Mirna. Jangan takut, kamu aman sekarang."
Tubuh Mirna terguncang dalam pelukan Linzy. Air mata bak air bah tumpah semua dari kedua kelopak mata Mirna. Tak hentinya dalam hati Mirna mengucap syukur telah selamat dari kebrutalan tiga orang pria yang hampir saja merenggut kehormatannya.
"Kamu aman, Mirna," bisik Linzy menenangkan Mirna, sementara sudut matanya melihat Alex, Willy dan Toni digiring keluar oleh ketiga pria yang datang bersamanya.
Tak lama kemudian, masuk satu pria tadi membawa kantung plastik dan diberikan pada Linzy setelah itu pergi keluar lagi.
"Mirna, pakai baju ini," bisik Linzy setelah melihat isi dari kantung plastik.
Mirna melepaskan pelukannya. Tubuh lemahnya masih gemetar.
"Aku bantu pakaikan," bisik Linzy, hatinya ikut tersayat melihat tubuh polos Mirna yang menggigil.
***
Setelah hari itu, hari di mana Mirna menjadi korban pelecehan Toni, Alex dan Willy, hari-hari Linzy diwarnai rasa bersalah karena biar bagaimana pun, semua berawal darinya yang telah memperkenalkan Toni, Willy dan Alex pada Mirna sang kembang desa.
"Hai, Mir ,,," sapa Linzy melihat Mirna sibuk di dapur keringnya.
"Hai ,,," senyum merekah tersungging di bibir Mirna.
Linzy menarik salah satu kursi untuk duduk. "Bagaimana kabarmu?" tanyanya.
"Kabarku baik," jawab Mirna. "Nona, mau minum apa? Susu atau teh?"
"Teh hangat saja tanpa gula."
Mirna salah satu orang yang bekerja di rumah keluarga Linzy. Saat ini, Linzy sedang berlibur menghabiskan waktunya tinggal di desa, tempat di mana kakek neneknya tinggal.
Tak berapa lama, datang seorang wanita sepuh, tapi masih nampak jelas terlihat garis-garis kecantikan di wajahnya. Beliau adalah neneknya Linzy, Nyonya Dewi yang terkenal dengan lemah lembutnya serta ramah pada siapapun bahkan telah menganggap Mirna bagian dari keluarganya.
"Nenek cari kamu ke kamar, ternyata ada di sini."
"Nenek mau apa mencari ku?!" tanya Linzy.
"Hanya mau ajak kamu duduk di sini," jawab nenek.
Mirna menaruh teh hangat di depan Linzy. "Teh nya, nona."
"Terima kasih, Mirna."
"Pekerjaan sudah kamu selesaikan semua?" tanya Nyonya Dewi pada Mirna.
"Sudah," jawab Mirna.
"Duduklah di sini sebentar. Saya ingin tahu cerita yang sebenarnya, kenapa kamu sampai bisa ikut dengan tiga pria bajingan yang hampir saja merenggut kehormatan mu."
Mirna diam, tatapannya jatuh pada lantai di bawah kakinya. Bayang-bayang kejadian beberapa hari lalu kembali menari di pelupuk matanya.
"Mir ,,," tegur Linzy melihat Mirna hanya berdiri saja.
Dengan berat hati, Mirna mengikuti permintaan Nyonya Dewi. Ditariknya kursi kosong depan Linzy agar bisa duduk.
"Kalau kamu keberatan ,,," ujar Linzy merasa kasihan melihat wajah Mirna yang terlihat sedih. "Lain kali saja kamu ceritanya."
"Tidak apa-apa, nona," jawab Mirna. "Saya baik-baik saja," lanjutnya pelan mulai berkaca-kaca.
Nyonya Dewi menghela napas, menatap intens pada Mirna. "Saya tahu, kamu pasti trauma dengan kejadian itu. Tapi saya juga tahu, kamu gadis kuat, kamu pasti bisa melawan trauma kamu itu."
Mirna menunduk. Air mata yang telah menggenang di kelopak mata, jatuh perlahan menyusuri pipi mulusnya.
"Mir, secara pribadi saya minta maaf. Biar bagaimanapun, saya juga ikut bersalah karena telah memperkenalkan mereka pada mu," tutur Linzy. "Saya tidak tahu kalau mereka ternyata bisa sejahat itu padamu."
Mirna terisak, wajahnya masih menunduk. Bayang-bayang ketiga orang pria tersebut semakin jelas tergambar di ingatannya.
Linzy memberikan tisu pada Mirna. "Mungkin sulit bagi mu untuk melupakan semua kejadian itu, tapi saya harap kamu bisa melupakannya. Lagipula, mereka bertiga sekarang sudah diamankan."
"Apa mereka akan dipenjara?" tanya Mirna lirih, diakhiri menghapus air mata di pipinya.
Linzy nampak ragu dalam menjawab. "Iya, tapi ,,, "
