Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

5. Be His Executive Assistant (1)

Chapter 5 :

Be His Executive Assistant (1)

******

Violette:

SETELAH mengucapkan kalimat itu, aku langsung pergi dari hadapannya begitu saja.

Aku tak peduli dengan apa pun yang akan dia katakan. Yang jelas, aku benar, 'kan? Dia itu menyebalkan! Dengan ekspresi datarnya itu, dia bisa menghinaku berpuluh-puluh kali hari ini. Dia bahkan tak merasa bersalah dan malah balik menyalahkanku. Apa-apaan? Justin dulu tidak seperti itu!

Aku keluar dari ruangannya, diam-diam ujung mataku melihatnya tengah mengangkat sebelah alis matanya padaku. Well, sialan! Dia masih saja bersikap seperti itu? Okay, mengapa ruangan ini mendadak terasa lebih panas daripada neraka?

Tatkala sudah keluar, aku menutup pintu ruangan itu kuat-kuat. Dalam hati aku puas karena telah menutup pintunya dengan sedemikian keras, soalnya kupikir mungkin dengan begitu dia akan bisa berpikir. Aku pulang ke rumah—tak peduli dia akan menghukumku atau apa—dan tak peduli dengan tatapan orang-orang di sini terhadapku. Keluar dari perusahaan, aku menuju ke tempat parkiran bagi karyawan dan akhirnya menemukan motorku. Bahkan rasanya ketika aku memutar kunci pun, uratku keluar semua. Aku memakai helm dengan tidak santai dan ketika motorku sudah menyala, aku berkendara dengan kencang. Gila! Mengapa tempat kerjaku menjadi tempat yang paling kubenci?

Ketika aku sampai di depan rumah, aku langsung memarkirkan motorku di halaman dan masuk ke dalam rumah dengan langkah yang lebar. Jonathan, Pamanku, memandangiku seraya melongo.

"Kau bolos kerja?" tanyanya. Dia berdiri dari sofa tempat dia biasa menonton televisi.

"Aku kabur," ujarku asal dan aku berjalan dengan mengentakkan kakiku; aku langsung masuk ke dalam kamarku. Dia sepertinya ternganga, tetapi entahlah, aku tak begitu melihatnya. Aku hanya langsung menutup pintu kamarku dan berbaring tengkurap di atas kasurku. Menenggelamkan wajahku di kasur dan berharap bahwa aku takkan bertemu dengan iblis itu lagi.

Tiba-tiba pintu kamarku terbuka.

"Ceritakan padaku apa yang membuatmu kabur dari tempat kerjamu hari ini."

Oke, itu suara Jonathan. Aku mengangkat wajahku dan langsung duduk di pinggir kasur. Dia masih bersandar di kosen pintu, tangannya tengah memegang kenop pintu.

"Aku disuruh pindah jabatan menjadi executive assistant CEO, tetapi CEO itu ternyata adalah Justin."

Nathan mengerutkan dahi; dia tampak heran.

"Justin? I mean—kau yakin? Bagaimana dia bisa menjadi seorang CEO di sana?"

"Hm. Sudahlah, Nathan. Aku pusing."

Nathan menghela napas. "Baiklah, tetapi berjanjilah padaku besok kau akan kembali bekerja. Jika tidak, aku akan menahan makan siangmu."

Mataku membelalak. Oh please. Makan siang adalah yang terbaik! Aaarrgh! Mengapa Nathan seolah menekanku untuk kembali bertemu dengan pria itu, sih? Sial.

Nathan menutup kembali pintu kamarku dan aku membanting tubuhku ke atas kasur lagi. Ini adalah hari terburuk sepanjang sejarah hidupku dan kurasa hari ke depan akan jauh lebih buruk.

******

Well, kurasa aku butuh topeng untuk menutupi wajahku.

Yang benar saja? Aku kemarin telah meninggalkan Justin di ruangannya dengan kata-kata kasar seolah merasa hebat. Jadi, akan kutaruh di mana wajahku kalau aku kembali menemuinya dan meminta pekerjaan padanya? Setelah kupikir-pikir, mana mungkin aku meninggalkan pekerjaanku hanya karena satu pria yang sangat menyebalkan seperti Justin. Banyak yang harus lebih kupedulikan ketimbang pria itu.

Namun, aku malu sekali! Aku yakin pria itu akan mencercaku habis-habisan.

Aku turun dari motorku, lalu masuk ke dalam perusahaan dengan tangan yang gemetar dan dingin. Bibirku kering dan wajahku memanas. Aku sadar kalau aku malu sekali. Aku yakin seyakin-yakinnya kalau pria itu akan menghinaku yang bersikap sok hebat kemarin. Akan tetapi, ya sudahlah. Rileks, Vio. Jika dia menghinamu, kau punya high heels yang siap untuk dilemparkan ke kepalanya.

Aku berlari ke dalam lift dan langsung menuju ke lantai tiga belas. Aku merasa sangat gusar selama berada di dalam lift. Bunyi 'ding' dari lift itu terdengar seperti gong kematian di telingaku.

Aku keluar dari lift dan berjalan dengan pelan menuju ke pintu CEO yang sangat mengesankan itu. Right, mengesankan sekali.

Langkahku terasa berat sekali tatkala berjalan mendekati pintu itu. Ketika aku sampai di sana, tubuhku langsung bergetar. Aku meneguk ludah dan mencoba untuk meredakan gemuruh yang muncul di dadaku. Aku menarik napas dalam dan mengeluarkannya, begitu terus selama beberapa kali. Setelah merasa sudah tenang, aku pun mengepalkan tanganku dan mengangkatnya ke udara, ke depan wajahku.

"Sip," gumamku—menyemangati diriku sendiri—lalu aku mengetuk pintu CEO itu sembari memejamkan mataku karena takut. Aku mengetuknya sebanyak tiga kali.

"Yes, come in."

Mataku terbelalak. Okay, sekaranglah saatnya.

Aku membuka pintu, menundukkan kepalaku karena malu, lalu menutup pintu itu kembali. Ketika aku berbalik, aku kontan terlompat ke belakang karena melihat bahwa ternyata pria itu sudah berdiri di depanku!

Dia berdiri sejauh dua meter di depanku. Dia menyipitkan matanya; tatapannya terlihat sangat tajam.

Aku meneguk ludahku.

"H—Hai," sapaku, lalu aku langsung menyadari bahwa aku terdengar seperti orang tolol. Sialaaaan!!!

"Mengapa kau kembali? Bukankah aku bukan Justin yang kau kenal? Selain itu, kalau aku tidak salah, kau juga berkata seperti ini, 'Dengar, Mr. Sok Mengatur. Kau. Bukan. Justin. Yang kukenal. Titik.'

...Am I right, Nona?"

Aku menggigit bibir bawahku. Matilah aku!

"A—Aku... Maaf, aku err—"

"Apakah sopan berkata seperti itu pada atasanmu, Nona?" ujarnya, dia memiringkan kepalanya seraya tersenyum sarkastis. Dia sedang menyindirku.

Aku mendengkus, lalu tanganku terkepal. "Tidak, sir."

"Well, jika kau mengerti, mengapa kau tidak keluar?"

Dia memancing emosiku lagi, seperti biasanya. "Karena aku membutuhkan pekerjaanku. Ma—maafkan aku."

Dia lantas menatapku dengan tatapan menyelidik.

"Kau butuh, tetapi kau sendiri yang membuangnya. Bukankah begitu?”

Aku menghela napas, membuang segenap amarahku yang sebenarnya menuntut untuk dikeluarkan.

"Aku—ARGH!! BAGAIMANA LAGI CARANYA UNTUK MEMINTA MAAF, HAH?!!" teriakku dan damn! Aku gagal menjaga emosiku. Dia menaikkan sebelah alisnya.

Dia hanya terus diam dan memandangiku, menunggu reaksiku selanjutnya. Oh Tuhan, aku sudah berteriak, tetapi dia tetap tak menggubrisku? Dia benar-benar sialan.

"Okay, katakan padaku bagaimana caranya agar kau memaafkanku. Sudah cukup dengan semua ini," ujarku, mulai aku mulai jemu. Aku menggelengkan kepalaku dan mengedikkan bahu. Dia menaruh kedua tangannya di dalam saku celananya, lalu memandangiku dari atas sampai ke bawah dengan mata yang menyipit. Dia kira aku ini tong sampah, eh? Mengapa dia memperhatikanku seperti itu?

Aku mendengkus, mencoba untuk menahan amarahku.

"Kelilingi ruangan ini dengan jalan cepat, tiga kali."

WHAT?

"Hah?"

Dia memiringkan kepalanya.

"Keluar dari ruanganku dan jangan kembali jika kau menolak."

Oh shit. Ancaman ini lagi.

Aku menghela napas, lalu memejamkan mataku sejenak. Ketika kubuka mataku, aku menggaruk dahiku sembari memutar bola mata, lalu akhirnya aku mengedikkan bahu. Ya sudahlah. Terserah saja.

Aku pun berjalan dengan cepat, mengelilingi ruangan superbesar ini. Dia tersenyum miring dan kembali ke mejanya, berkutat dengan laptopnya lagi.

Aku terus berjalan dengan cepat, tetapi diam-diam aku terkadang berhenti. Dia tidak melihatku, 'kan? Ini kesempatanku untuk bisa beristirahat sebentar.

Huah. Ruangan ini lebar sekali.

"Jangan berhenti, Ms. Morgan," ujar Justin tiba-tiba.

SHIT! Oh, God, tolong aku...

Dia itu punya enam mata, ya? Mengapa dia tahu bahwa aku berhenti, sedangkan matanya tengah fokus ke laptopnya? Oh Tuhanku. Memang susah jika berlawanan dengan iblis.

Aku kembali berjalan dengan cepat dan setelah selesai, aku pun berjalan ke mejaku dengan napas yang terengah-engah. Sial, aku harus rajin-rajin berolahraga setelah ini.

Aku langsung duduk di kursiku. Masih terengah-engah, tiba-tiba aku mendengar Justin bersuara lagi, memecah konsentrasiku saat sedang mengatur pernapasanku.

"Ini." Dia berdiri dari kursinya, menyodorkan sebuah kertas padaku. Aku sedikit menyipitkan mataku tatkala melihat ke kertas itu, lalu aku pun mendongak dan menatap Justin. Aku akhirnya meraih kertas itu.

"Itu adalah seratus peraturan yang kubicarakan kemarin padamu. Bacalah dan patuhi semuanya. Aku hafal semuanya, jadi jangan coba-coba untuk melanggar salah satunya."

APA? DIA HAFAL SEMUA PERATURAN UNTUKKU? PADAHAL, KAN, INI BARU SAJA DIA BUAT? []

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel