Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

6. Be His Executive Assistant (2)

Chapter 6 :

Be His Executive Assistant (2)

******

WOW, give him some applause.

"Wow. Kau...hafal semuanya? Hebat," pujiku, tanpa sadar mulutku menganga. Aku juga menggelengkan kepalaku karena tak menyangka.

"Hmm," dehamnya, lalu dia duduk kembali di kursinya. Ia kemudian kembali fokus pada laptopnya. Mataku mulai menyelisik satu per satu peraturan yang sudah dia buat. Well, tidak memperhatikan kata-kata pembukanya lagi, aku langsung saja pada urutan peraturannya.

1. Sampai di kantor pada pukul 06.30 pagi. Harus lebih dulu sampai daripada CEO yang bersangkutan.

2. Memakai seragam yang rapi dan bersikap disiplin.

3. Tidak merokok.

4. Tidak meminum minuman beralkohol, kecuali dengan izin CEO yang bersangkutan.

5. Menggantikan sebagian pekerjaan para assistant CEO yang bersangkutan untuk mengantarkan berkas-berkas ke direktur dan manager yang berwenang.

6. Harus menghadiri janji temu yang ditentukan oleh CEO yang bersangkutan.

7. Mengiringi CEO yang bersangkutan ke mana pun beliau pergi.

8. Hanya mengerjakan hal-hal yang CEO perintahkan dan tidak melalaikan satu tugas pun yang telah diberikan.

9. Jam makan siang atau jam istirahat kerja ditentukan oleh CEO yang bersangkutan.

10. Berhak memberi saran atau masukan dan perbaikan terhadap apa yang CEO bersangkutan kerjakan.

11. Memiliki tata krama dan solidaritas yang tinggi, terutama kepada CEO yang bersangkutan.

12. Menjaga sikap pada jam kerja maupun di luar jam kerja.

Oh Tuhan—cukup, hentikan ini! Ini ada seratus peraturan dan membacanya sampai dua belas saja sudah membuat kepalaku pusing! Apa-apaan ini? Mengapa tugas executive assistant ini jadi seolah mengorbankan hidup kepadanya? Apakah sedari dulu peraturannya memang seperti ini? Mengapa semua harus dari perintahnya dan dari persetujuannya? Sampai jam makan siang pun harus dia yang menentukan? Ini tidak masuk akal. Mataku memelotot dan aku meremas kertas itu dengan geram.

"Hei!! Mengapa peraturannya tidak masuk akal seperti ini, sih?!! Apa-apaan, aku hanya harus mengerjakan apa yang kau perintahkan—oke, ini bisa kuterima, tetapi soal makan siang dan jam istirahat? Bagaimana jika kau mempersilakanku istirahat ketika hari sudah malam? Aku bisa pingsan!!! Selain itu, aku harus mengikutimu ke mana pun kau pergi? Jangan bilang aku juga harus mengikutimu saat kau sedang pergi karaoke atau semacamnya?!"

Aku menggelengkan kepalaku, kemudian aku mengoceh lagi, "Yang ini juga: 'Tidak merokok'. Kau tahu aku tidak merokok!!! Selain itu, menggantikan sebagian pekerjaan assistant? Mengapa jadi aku yang menggantikan? Apa kerja mereka? Tugasku mengabdi padamu seperti ini sudah sangat berat dan kau membuatnya jadi semakin rumit! Ini namanya bukan executive assistant, tetapi pengawal setia! Kau benar-ben—"

"Ini, tolong antarkan berkas ini kepada manajer perindustrian yang ada di lantai dua belas, oke? Pintu yang paling ujung."

Apa?! Dia tak mendengarkanku?!

"Just—ERGHHH!!!" Aku berteriak. Namun, aku sadar kalau matanya mulai menatapku dengan tatapan yang tajam.

"Fine," ujarku pada akhirnya, setelah mengembuskan napas penuh amarahku berkali-kali dan melepaskan kepalan tanganku. Beribu kata yang keluar dari mulutku hangus begitu saja karena satu kata dari mulutnya. Hebat sekali. Hebat, sampai-sampai aku ingin menendang wajahnya sekarang juga.

Dia meminggirkan sebuah map ke bagian ujung mejanya dan aku pun mulai mengambilnya dengan ekspresi yang ogah-ogahan. Dia bahkan tak menoleh padaku!! Sialan sekali ekspresi datarnya itu. Harus kuapakan biar ekspresi wajahnya tidak datar lagi? Kutampar menggunakan panci? Kuali?

Aku berjalan ke luar dengan kaki yang dientakkan, tetapi aku menutup pintu ruangan itu dengan pelan, setengah mati mencoba untuk menahan emosiku lagi. Oke, aku tahu aku belum bisa menahan emosiku dengan baik karena terkadang emosiku masih keluar juga.

Aku berjalan masuk ke dalam lift dan turun satu lantai. Ketika keluar dari lift, aku mencari ruangan yang paling ujung dan kutemukan plang 'International Industry Manager' di depan pintu ruangan itu. Aku pun mengetuk pintu itu dengan pelan. Setelah dipersilakan masuk, aku langsung merunduk hormat, memberikan map dari Justin itu dengan sopan, lalu aku kembali ke luar. Well, aku bersikap lebih sopan pada para manajer ketimbang pada CEO, padahal CEO adalah jabatan tertinggi di sini. Namun, hey! Salah siapa? Dia menyebalkan.

Ketika aku masuk kembali ke ruangan Justin dan menutup pintunya, aku pun menghela napas lega. Namun, ketika mataku melihat ke arah meja Justin, aku kontan membulatkan mata.

Dia tertidur.

Aku mendekatinya dengan pelan dan aku sekarang sudah berada di dekat mejanya, berada di sampingnya. Aku masih tercengang; dia tertidur dan kepalanya tertoleh ke samping, kedua tangannya menumpu kepalanya.

Dia terlihat sangat...polos.

Aku memiringkan kepalaku tatkala memperhatikan wajahnya. Wajahnya jadi seperti wajah bayi. Well, tetapi wajah ini tampak begitu menyebalkan ketika terbangun. Dia sangat imut ketika tidur; dia menggemaskan. Aku tak menyangka dia sekejam itu ketika dia terbangun. Aku lebih suka wajahnya ketika dia tertidur. Tertidurlah selamanya, kalau begitu.

Ups.

Aku tahu itu jahat. Namun, percayalah, aku tersenyum lembut ketika aku melihat wajahnya. Dia tampak begitu lucu, damai, dan tenang. Ah...andaikan dia seperti Justin yang dulu.

Aku menggeleng dan kembali ke mejaku. Lanjut membaca peraturan itu—kesal sendiri sementara yang memberikan peraturan sedang tertidur—lalu akhirnya mataku terasa berat dan aku ikut tertidur.

******

Aku tersentak, tubuhku ikut merespons rasa sakit. Ada sebuah impuls yang diberikan secara tiba-tiba saat ini; seseorang sepertinya baru saja menjentik kepalaku. Aku kontan terbangun, duduk tegap, dan menggeleng-gelengkan kepalaku agar aku benar-benar terbangun. Mataku sekarang telah terbuka sempurna. Ketika aku mendongak, mataku terbelalak dan aku nyaris salto ke belakang bersamaan dengan kursiku. Hampir, oh Tuhanku.

Ini yang sukses membuatku emosi seketika. JUSTIN! Ya, Justinlah yang membangunkanku. Hell! Tidak ada cara lainkah selain menjentik kepalaku? Shit.

"JUSTIN!!! JANGAN MENJITAK KEPALA ORANG LAIN SESUKA HATIMU!!" teriakku sembari mengusap bagian kepalaku yang terasa sakit. Dia hanya menaikkan sebelah alisnya dan mengedikkan bahunya samar. Aku menggeletukkan gigiku dan menatapnya dengan tajam.

"Well, lihat peraturan nomor 86. Tidak boleh tidur sebelum CEO yang bersangkutan memberikan jam istirahat."

Aku berdecak, lalu mendengkus tak keruan. Dia hanya terus menatapku dengan tatapan dinginnya.

"Ya, tetapi jangan menjitak kepala—"

"Ikut aku ke rumahku. Ini sudah senja dan sebaiknya kita selesaikan beberapa berkas lagi di rumahku."

Hah? Mimpi buruk lagi. Ke rumahnya. "Ke—ke rumahmu?"

"Hm." Dia berdeham singkat, lalu berbalik—mengambil beberapa map dari atas mejanya—lalu memberikan map-map itu padaku.

"Bawakan ini, ya?" ujarnya, lalu dia berbalik dan berjalan ke luar begitu saja. Aku tercengang, lalu aku langsung mengejarnya dengan terbirit-birit.

"Tunggu aku!!!!" teriakku. Aku berlari mengejarnya hingga ke mobilnya yang terparkir rapi di tempat parkiran khusus VIP.

Saat aku masuk ke dalam mobilnya, wow, Bugatti merah miliknya sangat keren dan sangat cepat. Aku merasa sangat nyaman dan terkadang dia meledekku karena aku bertingkah seperti tidak pernah naik mobil.

******

Violette hanya mengikuti langkah kaki Justin. Mereka masuk ke dalam sebuah gedung apartemen dan naik lift sampai ke lantai 23. Gedung apartemen itu luar biasa megah. Violette sudah biasa melihat yang seperti itu, apalagi mengingat dia dulunya sering melakukan aksi pencurian bersama Red Lion di gedung-gedung besar seperti itu. Namun, Violette tetap tidak bisa menjaga pandangannya; ia memutar pandangannya ke sekeliling seperti tengah memantau. Dia sampai beberapa kali tertinggal oleh Justin.

Ketika sampai di depan unit apartemen milik Justin, Justin mulai menekan nomor password-nya. Violette hanya diam ketika melihatnya. Tepat ketika mereka masuk, Violette langsung memperhatikan isi apartemen Justin. Wow, ini super elegan.

Tidak jauh berbeda dengan apartemen Justin sewaktu tinggal di Paris dahulu, hanya ini dominan berwarna abu-abu kehitaman. Kesan yang gelap dan elegannya membuat Violette meneguk ludahnya. Ada beberapa hiasan klasik di dinding-dindingnya dan ada juga lukisan-lukisan karya Michelangelo di sana. Banyak lampu kristal kecil yang tergantung di sudut ruangan dan sepertinya ketika malam di sana akan terlihat sangat...romantis. Namun, sebenarnya ruangan itu tak terlalu gelap. Itu cukup manis.

Justin mengajak Violette masuk dan melewati sebuah lorong, kemudian mereka tiba di sebuah ruang tamu. Ada empat buah sofa yang berhadapan, dua sofa besar dan dua sofa kecil. Di tengah-tengah sofa-sofa itu ada sebuah meja yang terbuat dari batu pualam. Di depannya ada sebuah televisi.

"Duduk di sini. Aku akan mengambilkan minuman untukmu." Justin berkata dengan santai dan Violette hanya bisa mengangguk. Justin pergi ke meja dapur dan mengambilkan satu botol besar Sprite, lalu mengambil dua buah gelas tangkai. Toleransi Violette terhadap alkohol sangatlah buruk, jadi Justin takkan memberikannya wine atau sejenisnya. Pria itu lalu mengambil puding yang ada di dalam kulkas dan menempatkannya di dalam dua buah piring kecil, lalu dia ke luar. Dia mengantarkan itu pada Violette dan Violette tersenyum.

"Thanks," ujar Violette. Justin ikut duduk di sebelah Violette dan menuangkan Sprite ke dalam gelasnya. Setelah itu, Justin meminum minuman tersebut dan menaruh kembali gelasnya ke atas meja. Violette menaruh map-map itu di sebelahnya.

"Mana berkas yang kusuruh agar kau bawa tadi? Ayo kita kerjakan. Bantu aku mencari berkas-berkas mana yang harus kutandatangani," kata Justin. Violette mengangguk, lalu mulai membolak-balikkan kertas itu dan Justin menghidupkan rokoknya. Ketika suara korek api itu terdengar di telinga Violette, Violette langsung menatap Justin dengan tatapan tajam.

"Aku tak suka melihatmu merokok." []

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel