
Ringkasan
Bagi para pebisnis dan pengamat ekonomi, Justin Alexander punya satu definisi: Nyaris sempurna. Tampan. Seksi. Billionaire muda. CEO dari Alexander Enterprises Holdings, Inc. yang jenius dan disegani. Ia adalah legenda di dunia korporat sekaligus teka-teki hidup yang tak bisa ditebak siapa pun. Bahkan, hampir seluruh karyawan di Alexander Enterprises Holdings, Inc. tak pernah benar-benar melihat wajah CEO mereka itu. Namun, di balik reputasi yang gemilang itu, beredar rumor bahwa Justin adalah seorang bajingan; dia nyaris tak tersentuh dan tak berperasaan. Dan Violette? Gadis itu hanyalah seorang pegawai yang baru tiga hari bekerja di perusahaan itu, tanpa tahu bahwa CEO-nya adalah Justin, teman lamanya. Teman masa kecilnya. Partner dalam organisasi gelap yang pernah mereka tinggalkan bersama di Prancis. Setelah organisasi itu runtuh, mereka pun terpisah. Violette tak pernah tahu ke mana Justin pergi. Namun, saat menemukan nama Violette dalam hasil survei internal, Justin mengenalinya seketika. Violette kaget bukan main, soalnya tiba-tiba namanya dipanggil ke lantai eksekutif! Dan sekarang? Violette bekerja langsung di bawah Justin. Menjadi asistennya. Sial. Bagi Violette, Justin bukan lagi pria yang ia kenal dahulu; Justin telah berubah menjadi pria dingin, penuh rahasia, dan mematikan dalam diamnya. Namun, hal yang lebih menyebalkan adalah: pria itu tahu persis bagaimana membuat Violette salah tingkah dengan satu kalimat saja. Dengan senyum miringnya, Justin bisa membuat Violette (yang cerewet, spontan, dan ekspresif itu) jadi blushing, salah tingkah, dan kehilangan kendali atas dirinya sendiri. Catatan penting dari Violette: berhati-hatilah! Justin Alexander ternyata adalah seorang perayu ulung yang mesum!
1. Oh, God! That Shit CEO! (1)
Chapter 1 :
Oh, God! That Shit CEO! (1)
******
Violette:
YA TUHAN, mengapa rambutku ini sulit sekali untuk dirapikan? Maksudku, aku sudah memakai seragam kerjaku dan meski tidak memakai seragam khusus dari perusahaan, aku memiliki beberapa baju kerja dengan jas dan rok selutut. Hari ini aku memakai setelanku yang berwarna cokelat kehitaman dan menurutku ini kelihatan lumayan manis. Aku tak peduli bila itu hanyalah pendapatku sendiri, tetapi aku senang memakainya.
Seragam sudah rapi, akan janggal bila rambutku tidak rapi.
Ini adalah hari ketigaku bekerja di Alexander Enterprises Holdings, Inc. Kuharap akan berjalan dengan lancar seperti di hari pertama dan di hari kedua aku bekerja di sana. Bekerja di bagian marketing ternyata tidak membosankan. Aku senang karena aku mulai membiasakan hidup mandiri meski aku masih tinggal bersama Jonathan, Pamanku. Alexander Enterprises Holdings, Inc. sebenarnya mengingatkanku pada seseorang. Well, temanku.
Aku pernah bergabung dengan suatu organisasi yang bernama Red Lion. Sejak kecil aku sudah diajak bergabung ke organisasi itu oleh ketuanya yang bernama Brian. Red Lion adalah organisasi perkumpulan pencuri kelas dunia yang bermarkas di Perancis. Bagiku Red Lion adalah organisasi yang sangat hebat. Ini disebabkan karena dunia awalnya tidak mengetahui identitas kami meski mereka sendiri telah mengalami kerugian yang sangat besar.
Sebelum akhirnya sesuatu terjadi.
Aku berada di sana sebagai rekan dari Justin Alexander, temanku yang tadi teringat di otakku ketika aku melihat nama perusahaan tempatku bekerja. Justin Alexander adalah orang kepercayaan Ketua Red Lion (Brian) dan aku ditugaskan untuk menjadi asistennya. Justin adalah orang yang misterius dan dingin, dia juga tidak suka dibantah. Namun, suatu hari dia bertemu dengan seorang wanita yang bernama Hillda Esdaquille atau Hillda Hoult. Hillda adalah istri dari seorang CEO muda asal Perancis—Martinous Hoult—yang kaya raya; CEO tersebut memiliki perusahaan multinasional yang cabangnya tersebar di banyak negara di dunia. Kami sempat melakukan aktivitas kami, mencuri di perusahaannya, meskipun itu hanya uang selundupan dari bawahan suami Hillda. Pertemuan itu membuat Hillda dan Justin jadi memiliki sebuah hubungan khusus yang sangat intim.
Namun, hubungan itu berakhir dengan tragis. Aku sebenarnya khawatir dengan Justin tatkala aku mengetahui soal hubungan terlarangnya dengan Hillda, tetapi berhubung Justin adalah temanku sekaligus orang yang kuhormati—I have a lot of respect for him—aku akhirnya hanya bisa mendoakan yang terbaik untuknya. Lagi pula, seiring dengan berjalannya waktu, aku akhirnya menyadari bahwa Hillda adalah orang yang baik. Dia benar-benar menyukai Justin.
Saat suami Hillda, Martinous—atau yang sering dipanggil Martin—mengetahui soal hubungan terlarang istrinya itu, peperangan pun pecah. Ini sudah bukan lagi soal Justin seorang, melainkan soal seisi Red Lion, karena Martin memiliki kekuasaan yang sangat besar. Ia tak ingin melepaskan istrinya.
Peperangan antara Justin dengan Martin berujung dengan jalan Red Lion dihabisi oleh Justin sendiri sebab Brian sama sekali tak mendukung Justin pada saat itu. Demi menghilangkan jejak Red Lion—agar kami tidak diketahui oleh banyak manusia di belahan dunia—maka Justin akhirnya memilih untuk menghancurkan segalanya. Dia juga menghancurkan markas Red Lion. Setelah berpisah dengan Hillda, dia ingin menghapus segalanya. Segala yang ada di masa lalunya, termasuk Red Lion yang tidak berada di pihaknya lagi. Tidak sejalan dengannya lagi.
Aku ingat saat Justin membicarakan tentang rencana penghapusan itu padaku. Dia menceritakan semuanya, lalu mengajakku untuk membantunya saat melaksanakan rencana itu. Dari kecil aku mengetahui banyak hal tentang Justin meskipun dia terbilang tak banyak bicara. Hubungan kami sebenarnya lebih seperti mutual respect, tetapi kami selalu saling membantu satu sama lain. Seperti bos dan asisten yang saling membantu dalam pekerjaan mereka…tetapi ujung-ujungnya malah jadi tahu cerita tentang satu sama lain.
Mungkin itulah sebabnya Justin sepercaya itu padaku dan memutuskan untuk mengajakku bekerja sama dengannya. Berhubung aku menyaksikan segalanya dan sering berada di sampingnya, aku jelas berada di pihaknya dan aku pun menyetujui keputusan yang telah ia buat itu. Dia memutuskan untuk menghapus segalanya dan mengajakku pergi ke negara lain. Kami sepakat untuk memulai lembaran yang baru tanpa bayang-bayang Red Lion. Kami berdua memutuskan untuk pergi ke New York.
Aku masih tak percaya sepenuhnya, tetapi itulah yang sebenarnya terjadi. Lagi pula, akulah yang menemani Justin di sepanjang misi itu. Aku tahu jalan pikiran Justin. Dia adalah orang tercerdas yang pernah kutemui.
Semenjak tiga tahun belakangan, aku tak pernah lagi bertemu dengan Justin. Terakhir kali aku dan Justin sempat bertemu dengan Hillda di Paris, lalu aku dan Justin kembali lagi ke New York. Satu bulan pertama, kami berdua masih sering bertemu. Akan tetapi, setelah itu sepertinya Justin menghilang. Entahlah, aku merasa agak berbeda ketika dia tak ada di sampingku karena aku terbiasa menjadi rekan kerjanya. Aku harap dia lebih sukses dariku, mengingat dia adalah orang yang sangat cerdas. Aku akan selalu mengingatnya. Dia benar-benar hebat.
Ah, akhirnya selesai. Rambutku sudah tertata rapi dan tidak mencuat ke sana kemari lagi. Rambutku sekarang hanya diurai begitu saja. Aku tersenyum, berdiri, lalu mengambil hand bag-ku dan pergi ke ruang tamu; aku berharap untuk cepat menemukan rak sepatu dan mengambil sepatu high heels-ku. Argh, sebenarnya high heels ini menyebalkan, tetapi aku harus memakainya karena sepatuku yang lain agak kurang cocok untuk dibawa ke perusahaan besar seperti Alexander Enterprises Holdings.
Aku berjalan ke luar dan melihat Pamanku, Jonathan, duduk di depan televisi.
"Kau sudah mau berangkat?"
Aku berhenti, memandangnya sekilas, dan kembali berjalan. Aku merunduk ketika aku sampai di depan rak sepatu yang ada di balik pintu.
"Uh-hm." Aku memakai sepatuku. "Aku pergi dulu, Nathan. Di mana motorku?"
Dia menoleh. Well, mobil Nathan sudah dijual karena kami mengalami sedikit krisis ekonomi selama beberapa bulan terakhir. Aku mencoba untuk berusaha keras dalam karirku agar keadaan ekonomi kami membaik. Diterima di perusahaan besar seperti Alexander Enterprises Holdings tentu adalah sebuah hal yang luar biasa bagiku; gajinya pasti lebih besar daripada perusahaan biasanya.
Namun, meski tidak ada mobil Nathan lagi, motor sudah membuatku nyaman. Ini motor Vespa dan aku menyukainya.
"Ada di luar. Ini kuncinya." Whoops. Dia melemparkan kunci itu dengan spontan di depanku. Aku menangkapnya, kemudian tersenyum. "Okay. Aku pergi!"
"Be careful," pesannya. Aku keluar dari rumah panggung yang tidak begitu besar itu, lalu mengambil motorku. Setelah memakai helm pink bergambar beruang milikku, aku akhirnya menaiki motorku dan pergi.
******
"Violette!" teriak Megan, suaranya memenuhi gendang telingaku ketika akhirnya dia sampai di depanku, langsung tertunduk dan terengah-engah. Dia bahkan terlihat seperti habis berlari beberapa kilometer. Dia kelihatan sesak napas. Aku hanya mengedipkan mataku berkali-kali dalam tempo cepat. "Hei, ada apa? Tarik napasmu," ujarku dan aku lantas menepuk-nepuk punggungnya. Akhirnya, dia berdiri dan berkacak pinggang di depanku.
"Huaaah! Aduh, astaga—tolong—huaah!!! Hoh! Aku capek sekali, ya ampun!!" Dia terengah-engah. "Ternyata diet dengan olahraga naik turun dari lantai dua sampai lantai tiga belas itu menyakitkan! Oh, sial. Aku tak ingin merasakan hal semacam itu lagi," katanya dan aku sontak tertawa.
"Kita punya lift di sini dan kau memilih jalan terburuk," ujarku. "Lagi pula, ada apa denganmu?"
Dia menatapku seraya tersenyum penuh semangat; dia seperti sedang mendapatkan pencerahan.
"Tahu apa? Sepertinya, kau dipanggil oleh CEO kita," ujarnya, matanya nyaris keluar dari soketnya. "Demi Tuhan, Vio. Walaupun aku sudah lama bekerja di sini, tetapi aku belum pernah sekali pun melihat CEO perusahaan ini. Dia sepertinya sangat sibuk dan sangat misterius. Sebegitu sibuknyakah seorang CEO?" ujarnya lalu dia tertawa kencang. Aku menggeleng, tak menghiraukan candaannya.
"Se—sebentar. Memangnya ada apa, ya? Sebegitu seramkah CEO itu? Jangan membuatku bergidik ngeri, Meg,” kataku dan Megan tertawa.
"Entahlah. Sepertinya, dia sedang mengadakan survei tentang seluruh karyawan di sini sampai bagian OB sekalipun. Aku kurang paham juga. Hmm…atau kau dipanggil karena kau adalah karyawan baru? Ah, rasanya tidak mungkin. Biasanya, yang menangani kita adalah bos marketing kita langsung, bukan CEO atau jabatan teratas seperti dia! Tak mungkin dia mau menemui karyawan seperti kita secara langsung, 'kan? Wah, apa kau telah melakukan sebuah kesalahan yang fatal, ya?"
Mataku membelalak. Tidak! Aku baru tiga hari bekerja di sini dan aku yakin otakku masih berfungsi untuk mengingat bahwa aku tidak pernah melakukan kesalahan apa pun selama tiga hari belakangan. Lantas ada apa?
"Ah—umm…sudahlah. Beritahu aku di mana ruang CEO kita," ujarku, memecah kebingungan di antara kami. Megan pun mengangguk.
"Lantai tiga belas, keluar dari lift lurus saja ke depan dan ruangannya ada di pintu ketiga di sebelah kanan lorong, yang pintunya paling besar. Lagi pula, kau akan menemukannya karena ada plang 'CEO bla-bla-bla' di depan pintunya."
CEO bla-bla-bla? Hell. Dia tak mengingat kalimat lanjutannya. "Baiklah. Aku pergi dulu," ujarku, lalu dia mengacungkan jempolnya padaku sembari cengar- cengir bak orang tolol.
Aku menggeleng dan langsung beranjak menuju ke lift.
Lantai tiga belas. Well, lumayan jauh.
Setelah terdengar bunyi 'ding', pintu kubikel lift itu pun terbuka dan aku menghela napas. Aku keluar dari lift dengan berhati-hati—agar tidak tersandung—lalu dengan cepat kucari pintu nomor tiga dari samping kanan lorong. Aku berjalan dengan kepala yang mendongak ke atas, mencari-cari plang CEO yang Megan katakan itu di depan pintunya. Ketika menemukannya, aku pun menghela napas. Pintu ini lebih besar daripada pintu-pintu yang lainnya. Aku mencoba untuk meredakan gemuruh di dadaku; akumencoba untuk rileks.
Kau tidak punya salah apa pun, Violette. Tidak perlu takut.
Lagi pula, ke mana assistant CEO-nya? Aku tak melihat keberadaan assistant-nya di sini. Ah, sudahlah.
Aku menggeleng dan menarik napas dalam, lalu mengeluarkannya lewat mulut. Aku pun mengetuk pintunya dengan pelan, tiga kali.
"Sir," panggilku.
"Masuk."
Aku mengedikkan bahu, mencoba untuk menampilkan senyuman terbaikku dan membuka pintu itu dengan sepelan mungkin. Ketika aku masuk ke dalam ruangan, aroma buah bercampur dengan aftershave mulai memasuki indra penciumanku. Ruangan ini ber-AC dan aromanya menyegarkan. Memang berbeda jika ini adalah ruangan orang yang penting. Gah, kapan aku bisa sukses seperti ini?
Aku menutup pintu ruangan CEO itu, lalu aku berbalik. Aku memicingkan mataku ketika aku melihat siluet tubuh seorang lelaki; dia membelakangiku dan hanya menghadap ke arah jendela. Well, sebenarnya bukan jendela, tetapi dinding di ujung sana adalah kaca. Seluruh bagiannya adalah kaca yang membentang. Dari tempatku berdiri pun, kota New York dan kepadatannya terlihat sangat jelas. Pria itu memasukkan tangannya di dalam saku celananya dan masih belum berbalik. Aku mengernyitkan dahi, kedua tanganku menyatu dan aku memainkan jemari-jemariku.
Kok...tiba-tiba suasananya...mengerikan?
"Err... Excuse me, sir—"
Dia, sosok CEO itu, membalikkan tubuhnya dengan anggun dan pelan. Aku agak memicingkan mataku. Meski wajahnya tertutupi oleh sinar matahari dari kaca yang kini ada di belakangnya—yang membuat sosoknya seolah terlihat bersinar terang dan membuatku silau—aku sepertinya mengenalinya. Aku memfokuskan mataku lagi dan hasilnya mataku membelalak.
"JU—JUSTIN?!!!" []
