Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

3. Oh, God! That Shit CEO! (3)

Chapter 3 :

Oh, God! That Shit CEO! (3)

******

OH TIDAK. Jangan berpikir terlalu jauh, Violette. Kau hanya terlalu banyak membaca novel akhir-akhir ini.

Aku tahu aku pernah menjadi rekannya. Namun, tetap saja ini membuatku kaget. Dengan dia yang kejam seperti ini, aku bisa mampus hanya dalam satu hari. Mati kutu! Lagi pula, lihat saja apa yang sejak tadi dia lakukan. Aku menjawab dengan suara yang agak keras saja, dia sepertinya langsung ingin memecatku. Aku tahu kalau aku sepertinya kurang sopan tadi, tetapi hey, mengertilah! Dia yang memulainya duluan dengan menghinaku, 'kan?

Aku sudah enjoy di marketing. Lagi pula, apa tanggapan orang-orang di perusahaan ini nantinya ketika melihat aku yang dari divisi marketing—dan jabatan yang biasa saja—tiba-tiba naik menjadi executive assistant CEO? I mean, CEO, man! Dia agaknya juga merupakan pemilik perusahaan ini. Megan mungkin akan pingsan jika tiba-tiba aku menceritakan hal ini padanya.

Aku meneguk ludahku.

"T—Tapi...aku sudah merasa cukup dengan—"

Dia mendengkus. "Bukan kau yang membutuhkan pekerjaan itu, Violette, tetapi aku yang membutuhkanmu untuk menjadi executive assistant-ku. Aku merasa bahwa aku sepertinya butuh bantuan dalam menjalankan tugasku," ujarnya, mulutnya mengembuskan asap lagi. "dan saat mengetahui bahwa kau ternyata bekerja di sini, kurasa lebih baik kau saja yang mengisi bagian itu. Executive assistant-ku." Kali ini puntung rokok itu telah ia tekan ke dalam asbak dan sudah mati.

"Just—I mean, sir... Aku cukup kepikiran dengan apa yang nanti akan dikatakan oleh semua orang," kataku dengan tak nyaman.

"Mengapa kau memedulikan hal yang tidak signifikan seperti itu? Lebih baik kau undurkan dirimu jika kau menolak tawaranku," ujarnya dingin.

Pemaksaan!!

Apakah tidak ada ancaman lain selain 'undurkan dirimu' dan 'keluar dari ruanganku sekarang juga'? Apakah pria ini tahu bahwa aku sangat lemah dengan kata-kata itu? Aku butuh pekerjaanku!

Aku menghela napas, lalu mendengkus.

"Okay," kataku pada akhirnya. "tetapi…apakah aku...harus satu ruangan denganmu? Emm I mean... Aku...mungkin bisa mati."

Dia mengernyitkan dahi, matanya menyipit; ia memberikanku sebuah tatapan yang setajam dan setipis silet.

Aku bergidik.

"Memangnya kau pikir aku akan terus melihatmu? Aku punya banyak pekerjaan yang lebih penting dan aku juga memiliki banyak perempuan yang lebih menarik untuk dilihat," katanya dengan angkuh.

Aku tersentak. Hei! Aku tahu aku jelek, tetapi haruskah dia menghinaku seperti itu? Apa-apaan ini? Justin Alexander yang kukenal tidak sesombong ini! Justin Alexander yang kukenal adalah seseorang yang pendiam dan misterius, tetapi aslinya dia adalah orang yang sangat baik dan penuh dengan pengorbanan. Namun, siapa ini? Siapa pria ini? Dia seperti iblis. Lagi pula, sejak kapan Justin suka melirik banyak perempuan? Oh, berada di sini ternyata bukan hanya membuatku mati kutu, tetapi juga membuatku pusing.

"Kau tak perlu menghinaku, Mr. Alexander. Maaf," ujarku, suaraku mulai tegas. "Lagi pula, tetap jauhkan mejaku dengan mejamu meski kita satu ruangan," tegasku.

Dia semakin memandangku dengan tatapan tajam.

"Kau selalu protes padaku, Violette. Tidak berubah. Kau yakin kau akan tetap bekerja di sini dengan sifatmu yang seperti itu?" tanyanya lagi, memancing emosiku.

"Terserah Anda, sir. Aku hanya ingin itu saja, please?"

"Well, itu jelas. Tak mungkin tempat duduk bawahan dekat dengan atasan, 'kan? Kau tak perlu takut,” jawabnya dengan arogan.

Sialaaaan!!! Aku menggeram sendiri setiap mendengar kata-katanya yang santai, tetapi menyakitkan itu. Baiklah, yang penting permohonanku dikabulkan. Kurasa mulai hari ini aku harus mengasah kesabaranku. Bertemu orang ini setiap hari akan membuatku jadi tiga kali lipat lebih lelah.

"Terima kasih," kataku sembari menahan rasa jengkelku.

Dia mengangguk tak peduli.

"Itu saja. Keluarlah. Nanti aku akan memanggilmu kembali jika mejamu sudah kupersiapkan."

Aku mengangguk dan undur diri dari hadapannya. Dia hanya berkutat kembali dengan telepon—atau apalah itu yang ada di atas mejanya—aku kesal, jadi aku tak peduli. Ketika aku sudah berada di luar pintunya, sudah menutup kembali pintunya, aku mengepalkan tanganku. Aku menggeram dan kurasa semua uratku kini menegang. Aku sangat kesal! Bagaimana mungkin aku bisa bekerja dengan cara seperti ini?

Bertemu dengan teman lama bukannya membuatku senang, aku justru jadi kesal setengah mati.

Aku kembali berjalan menuju lift dengan langkah yang lebar bak orang kesetanan dan menuju ke lantai bawah (tempat di mana divisi marketing berada). Ketika pintu kubikel lift terbuka, aku keluar dari lift dan langsung pergi ke divisi marketing, lalu berjalan ke mejaku. Megan langsung berlari menghampiriku dengan penuh semangat. Wajahnya berbinar-binar; dia senyum-senyum tak jelas. Ah, mungkin dia kira tadi aku bertemu dengan orang yang berkarisma, berwibawa, sukses, dan menginspirasi. Well, jika dia mendengar ceritaku, pasti dia tak akan percaya.

Dia mengambil kursinya dan menempatkannya di seberangku. Dia menatapku dengan semangat dan menaruh sebelah telapak tangannya di rahang kirinya, menungguku untuk menjelaskan semuanya. Aku mengusap wajahku frustrasi.

"Jadi, apa katanya, he? Apa? Apa? Kau disuruh apa?" tanyanya dengan antusias. Oh, hell, Meg. Aku pusing. Demi Neptunus, aku pusing sekali sekarang.

"Entahlah, Meg. Aku juga tidak mengerti."

"Hei...jangan seperti itu. Apa kau dihukum? Cerita padaku, Vio!! Aku sangat penasaran! Lagi pula, apakah CEO kita itu tua? Muda? Tampan? Berkarisma? Atau bagaimana?"

Aku memutar bola mataku.

"Oh, please, Meg. Kau membuatku pusing," kataku, lalu dia mengerucutkan bibirnya.

"Ayolah...aku ingin tahu, please..." pintanya padaku. Matanya berkedip-kedip, dia mencoba untuk merayuku. Akhirnya aku menghela napas. Tatapan karyawan-karyawan di sini juga sudah mulai tajam karena Megan terus berisik, jadi aku tak mau memperpanjang masalah.

"Okay." Aku menghela napas. Megan langsung mengangguk dengan antusias bak anak kecil di depanku.

"Soooo, bagaimana wajahnya? Tampan? Sedikit tampan?" Aku memutar bola mataku dan mendengkus.

“Dia ternyata adalah teman lamaku,” jawabku singkat.

Mata Megan membelalak, dia menutup mulutnya dengan sebelah tangannya.

"Te—TEMAN LAMAMU?" Dia berteriak dengan kencang. Tatapan orang-orang di sini jadi bertambah tajam. Aku langsung menutup mulutnya dengan tanganku.

"Meg, santailah," rayuku.

Dia meneguk ludahnya dengan susah payah ketika aku melepaskan tanganku dari mulutnya.

"Ja—jadi, apa yang dia lakukan? Sejak kapan kalian berteman? Ceritakan, Vio! Demi Tuhan, aku penasaran sekali!"

Aku akhirnya menghela napas.

"Well, dia itu...tampan,” jawabku dan mata Megan mulai berbinar-binar. “Dia muda, hanya dua tahun lebih tua dariku. Maksudku, kupikir umurnya masih berkepala dua. Dia memang terlihat 'hotter than the sun', tetapi dia...dia sangat dingin. Aku berteman dengannya sejak kecil, tetapi sudah tiga tahun ini aku tidak bertemu dengannya. Aku akhirnya bertemu dengannya di ruangan CEO itu."

Megan terlihat kaget bukan main. Sepertinya, dia sangat takjub. Entahlah takjub pada ceritaku atau takjub pada sosok CEO itu yang diilustrasikannya sendiri di pikirannya.

"SE—SETAMPAN APA DIA? Ya Tuhan, aku tak menyangka kalau CEO kita berteman denganmu. Selain itu, aku sekarang mengerti mengapa dia memanggilmu ke ruangannya setelah menyurvei kita semua."

Aku mengangguk.

"Dia… Entahlah dia itu tampan seperti apa. Yang jelas, garis wajahnya membuatnya tampak kejam dan dingin. Aku tak tahu dia bisa bergaya cute atau tidak karena kupikir dia dominan kejam. Wajahnya maskulin."

Mata Megan semakin berbinar-binar seperti mengeluarkan bintang-bintang kecil.

"Ya ampun, aku bisa membayangkan ketampanannya dari sini... MY GOD!!" teriaknya. Aku memutar bola mataku.

"Well, bukan itu yang penting Meg," kataku. Dia tiba-tiba tersadar seolah-olah baru saja kutampar. Dia langsung antusias lagi.

"Apa? Apa? Ayo cerita!" desak Megan.

Baiklah, setidaknya aku tak akan cerita padanya bahwa aku adalah teman sekaligus rekan Justin di Red Lion. Aku dan Justin bisa ditangkap polisi sekarang juga.

"Dia menyuruhku untuk menjadi executive assistant-nya karena dia merasa lebih kenal denganku. Ya, mungkin begitu," kataku. Aku menggeleng, lalu mengedikkan bahu. "Aku pusing karena dia itu terlalu kejam. Ancamannya itu selalu—"

Aku berhenti karena kelihatannya semua orang mendadak terdiam. Tidak ada lagi yang bersuara di sini, hanya suaraku yang terdengar di ruangan. Aku merasa sangat heran, lantas aku berhenti dan melihat ke sekeliling. Megan juga sama. Hal yang kami dapatkan adalah: mata semua orang tertuju pada satu arah, mulut mereka terbuka lebar—menganga—dan tubuh mereka mematung. Apa yang sedang mereka lihat? Dewakah? Mengapa sampai seperti itu?

Aku dan Megan akhirnya mengikuti arah pandang mereka semua.

"I'm looking for a girl..."

Mataku kontan membelalak.

JUSTIN! []

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel