2. Oh, God! That Shit CEO! (2)
Chapter 2 :
Oh, God! That Shit CEO! (2)
******
DIA memandangku dengan tatapan mengintimidasi. Dia hanya diam tanpa ekspresi; dia masih tak berubah. Namun…ini benar-benar mengejutkan. Ya Tuhan, apakah aku benar-benar bertemu lagi dengan Justin? Sudah lama kami tak bertemu dan tiba-tiba aku melihatnya berdiri di depanku. Bagaimana Justin bisa ada di sini? Jadi, dia CEO di sini, ya? Hah, tunggu sebentar. Justin…jadi…CEO?
"Ja—jadi, kau—"
"Apakah sopan memanggil atasanmu dengan namanya langsung?"
Gulp.
Argh! Bodohnya aku! Justin itu bukan tipe-tipe manusia ramah yang bisa berpelukan ketika bertemu lagi dengan teman lamanya! Dingin tetaplah dingin meski sifatnya dulu agak menghangat ketika menjalin hubungan dengan Hillda.
"Ah... Maafkan aku, aku hanya tidak menyangka kalau kau..."
"Alexander Enterprises Holdings, Inc. Apakah itu kurang jelas?" tanya Justin sembari memiringkan kepalanya.
Sialan. Mengapa dia selalu saja memotong ucapanku? Kok rasanya agak aneh, ya? Perasaanku Justin dulu tak searogan ini padaku; sifatnya kini jadi agak asing di mataku dan ini sedikit menakutiku.
Aku tertunduk dan menggigit bibir bawahku. Sialnya tatapan intimidasinya itu terus berlanjut.
"Y—Ya, tapi..."
"Duduklah."
Aku mengerjap. Dia sepertinya beranjak dan mulai duduk di kursi super besarnya itu dan aku hanya meremas jemariku. Tanganku terasa dingin. Bukan karena AC, tetapi karena suasana saat ini sangat…mengerikan. Mengapa aku jadi canggung dan takut begini saat berhadapan dengan Justin?
Apa karena dia jadi superdingin seperti itu?
Aku berjalan dengan pelan, menuju ke kursi yang ada di seberang Justin (terpisah oleh meja kerjanya). Aku mulai duduk dan bunyi kursi yang akan kududuki ini terdengar cukup mengganggu. Sial.
Aku merutuki diriku sendiri di dalam hati.
"Well, aku tak menyangka kalau kau ternyata bekerja di sini," ujarnya, dia terus menatapku seolah sedang menginterogasiku. Aku meneguk ludahku, lalu aku menatapnya dengan ekspresi canggung, agak takut-takut.
"Aku juga tak menyangka kalau kau adalah CEO di sini," jawabku.
Dia mengangguk. Setelan jasnya sangat rapi, by the way. Dia sangat tampan dan shit...dia hot.
"Aku terkejut, ngomong-ngomong," ujarnya, memiringkan kepalanya tatkala memperhatikanku. "Aku menyurvei seluruh karyawan dan kutemukan nama Violette Morgan di sana. Aku penasaran dan ternyata itu benar adalah kau."
Aku hanya bisa menelan ludahku. Mengapa aku jadi gugup begini, sih? Apa otakku berjalan dengan mengingat bahwa dia adalah 'president' alias CEO di perusahaanku? Bukan mengingatnya sebagai temanku?
"Y—Ya, begitulah, haha." Sial! Apa yang kulakukan? Kok aku gagap terus, sih?!
Dia menghela napas. "Well, kau tak banyak berubah. Duduklah di sofa yang ada di sebelah sana dan aku akan membicarakan sesuatu padamu setelah aku mengerjakan sebagian dari pekerjaanku."
Sialan. Yeah, yeah, yeah. Aku tak banyak berubah dan sepertinya kau menghinaku, Mr. Alexander.
Aku hanya mengangguk dan bangkit dari dudukku, lalu berjalan ke arah sofa yang ada di sudut ruangan. Aku pun duduk di sana.
Kupikir...wow. Ini nyaman.
Ruangan ini nyaman sekali dan aku harap aku tidak tertidur di sini atau mungkin si Dingin dan Kejam itu akan menendangku ke luar. Oh, aku sudah memberinya julukan, rupanya.
Dia banyak berubah, sepertinya. Namun, dia jadi semakin dingin...
Aku memosisikan diriku dengan lebih baik lagi di sofa yang sedang kududuki ini agar merasa nyaman.
Aku memperhatikannya dari sini, ia berkutat dengan laptopnya dan itu sepertinya merupakan pemandangan yang menarik. Dia tampan, demi apa pun. Aku sudah mengakuinya sejak dulu, tetapi sepertinya sekarang dia terlihat semakin dewasa dan tentu saja semakin tampan. Berapa umurnya sekarang? Setahuku dia dua tahun lebih tua dariku. Berarti…dia 28 tahun?
"Apakah menarik memperhatikan atasanmu diam-diam, Ms. Morgan?"
SHIT!!! AKU KETAHUAN!
Aku merona dan langsung menundukkan wajahku. Aku menggigit bibir bawahku kuat-kuat dan merutuk dalam hati. Sialan...
Lagi pula, Justin kok jadi seperti ini, sih?! Ah, entahlah. Tiga tahun sudah berlalu dan mungkin banyak hal yang terjadi. Sebenarnya, aku pun memiliki beberapa perubahan. Jadi, ya sudahlah.
Aku akhirnya hanya diam selama kurang lebih sepuluh menit. Udara di sini membuatku mengantuk, tetapi aku bersikeras untuk menahannya meskipun kelihatannya aku sudah terpejam beberapa kali.
Aku tersentak; mataku kontan terbuka ketika aku mendengar suara korek api yang dihidupkan. Aku langsung menoleh ke arah Justin dan aku membulatkan mataku. Dia menghidupkan satu batang rokok yang sudah tersangkut di mulutnya.
"Kau—tidak merokok," ujarku, mencoba menyiratkan suatu pertanyaan dari kata-kataku. Itu adalah pengetahuanku dulu tentangnya. Dia dulu tak merokok!
Dia kembali menatap laptopnya dan mulai mengembuskan napas berasapnya itu. Asap itu mengepul di sekitarnya.
"Sekarang aku membutuhkannya, Vio. Aku sering bergadang untuk bekerja dan kupikir rokok membuat tubuhku jadi sedikit lebih hangat."
Aku mengernyitkan dahi, lalu aku menggeleng dan tertunduk. "Oh."
Dia sepertinya memandangku dengan kernyitan di dahinya. Entahlah. Aku tak melihatnya, tetapi aku seperti punya…feeling? Atau sejenis itu.
“Sepertinya, lebih baik kita bahas sekarang saja." Aku menatapnya lagi dan kutemukan iris mata berwarna lelehan karamel itu telah mengunciku. Aku meneguk ludahku dengan susah payah dan aku akhirnya hanya bisa mengangguk.
"Hmm," dehamku. Dia mendengkus.
"Kau sepertinya kurang bagus di bagian marketing," tukasnya asal. Mataku kontan memelotot; aku merasa tak terima. I mean, hey! Aku yakin aku bekerja dengan serius. Aku juga selalu berusaha dengan keras agar aku tak membuat kesalahan apa pun!
"Memangnya apa yang kau tahu tentangku?! Aku merasa kalau aku bekerja dengan baik!" teriakku tak terima.
Dia mengernyitkan dahi, tatapannya agak sinis.
"Well, keluar dari ruanganku jika kau kemari hanya untuk membentakku. Urus surat pengunduran dirimu."
Aku merasa sesuatu seolah menohok jantungku hingga membuat tubuhku tiba-tiba jadi kaku. Napasku tertahan.
Aku hanya bisa membungkam mulutku, kemudian aku tertunduk lagi. Aku tak punya pilihan apa pun, kecuali diam. Aku tak mau kehilangan pekerjaanku. Sialan kau, Mr. Alexander! Mengapa dia jadi kejam sekali sekarang?
"Mengapa kau tidak keluar?" tanyanya lagi dan kurasa embusan napasku kali ini mulai berasap. Darahku mendidih.
"Aku masih butuh pekerjaanku." Aku berkata sembari menahan amarah; aku mendengkus. Kulirik dia hanya mengedikkan bahunya dengan tak acuh.
Gah, orang ini menyebalkan sekali!
"Baiklah. Maka dari itu, biasakan untuk sopan dan dengarkan aku terlebih dahulu. Ingat itu, Ms. Morgan?"
Aku mendengkus lagi.
"Ya," jawabku, setengah mati berusaha agar suaraku tidak terdengar ketus. Mendengar kami saling memanggil satu sama lain dengan nama keluarga seperti ini membuatku merasa kalau kami tidak pernah menjadi teman baik sebelumnya.
"Okay," katanya. Dia mengisap rokoknya kembali dan mengembuskan asap rokok itu. "Jadi, lebih baik kau bekerja di sini."
Aku menyatukan alis. "Aku memang sudah bekerja di sini, sir," jawabku dengan jemu.
Dia kemudian menghela napas.
"Di sini yang kumaksud adalah di ruangan ini. Kau akan kuangkat menjadi executive assistant-ku. Mejamu kupersiapkan hari ini juga jika kau mau berpindah jabatan. Kupikir kau sudah lama menjadi rekanku dan kau pasti bisa melakukannya."
EXECUTIVE ASSISTANT? HELL. APA INI? CERITA TENTANG CEO DAN EXECUTIVE ASSISTANT-NYA SEPERTI DI KEBANYAKAN NOVEL? []
