Bab 14 Kediaman Amira
Jakarta, Indonesia.
Hana menikmati udara Jakarta setelah turun dari kereta. Perjalanan dari Bandung menuju Jakarta ternyata cukup melelahkan, menghabiskan waktu sekitar tiga jam lamanya. Membuatnya kelelahan sampai titik dimana dia malas untuk bergerak. Namun, saat kereta yang di tumpanginya telah tiba di Kota tujuan, maka tidak ada alasan untuk dia tinggal lebih lama.
Menginjakan kaki di stasiun dengan langkah gontai. Sama sekali tidak ada semangat yang tersisa, semua semangat itu lenyap tak berbekas. Layaknya embun di pagi hari, sirna saat mentari menghantarkan kehangatannya.
Hana menarik sebuah koper dengan susah payah. Koper yang sama sekali tidak berat namun karena dia terlalu menghayati peran utamanya yang lemah, maka dia membiarkan dirinya termakan oleh egonya sendiri, meski harus melenceng jauh dari skenario yang semestinya.
Ingin meniru tokoh dalam serial drama yang sering dia tonton. Dimana pemeran utama akan jatuh dan terinjak sebelum bangkit dan berdiri lagi.
Mungkin siklus hidup memang seperti itu.
Setidaknya harus gagal terlebih dahulu agar bisa memaknai sebuah perjuangan, serta harus kehilangan terlebih dahulu sebelum bisa menghargai kata memiliki. Namun sayangnya, Hana tidak bisa. Dia masih terpuruk sampai sekarang, meski telah dua minggu di tinggalkan.
Terkadang, dia mentertawakan dirinya sendiri, lantaran kehidupan bodoh yang di jalaninya benar benar menipu.
Hana memutuskan naik taksi untuk melanjutkan perjalanannya. Tidak membutuhkan waktu lama, lima belas menit kemudian dia tiba di depan sebuah rumah dua lantai sederhana.
Hana menyeret kopernya memasuki gerbang Rumah Amira. Mengamati keadaan sekitar dengan pandangan luas.
Sebuah rumah bergaya modern yang tidak terlalu besar, namun terlihat imut dengan warna putih dan pink yang mendominasi. Siapapun yang melihat pasti tau jika pemiliknya adalah seorang wanita centil penyuka kucing berwarna pink bernama Hello Kitty.
Halaman Rumah itu sendiri tidak terlalu luas, hanya berjarak sekitar dua meter dari jalan raya. Itupun jauh dari tetangga baik di samping kanan maupun kirinya. Berdiri secara independen adalah kata yang tepat untuk menggambarkan keadaan rumah Amira.
Ada sebuah pohon apel dengan daun yang menguning, juga pot yang berisi beberapa jenis bunga yang sudah layu, jelas jika pemilik rumah tidak merawat tanamannya dengan baik.
Hanya ada dua kemungkinan, kemungkinan pertama adalah pemilik rumah seorang pemalas yang hanya gemar tiduran sepanjang waktu, atau kemungkinan keduanya adalah pemilik rumah sibuk sampai tidak punya waktu.
Tentu saja kemungkinan pertama tidak mungkin. Lagi pula, Amira bukan tipe wanita yang gemar bermalas malasan. Sejauh yang dia tau Amira adalah sosok pekerja keras dengan jadwal terbang menumpuk.
"Ra, apa rumah kamu terkena badai?"
Amira merengut. Jelas dia tidak menyukai ucapan sarkas Hana meski dia tau itu hanya candaan.
"Terima kasih, aku akan menganggap itu sebagai sebuah pujian." Ucapnya seraya membungkukan badan.
Hana tersenyum tipis. Jelas jelas dia tengah menyindir, tapi Amira justru mengabaikan makna yang sebenarnya. Dasar.. gadis sialan ini.
"Apa kamu berdiri di situ dari tadi untuk menyambut kedatanganku??" Hana berjalan mendekat ke arah pintu dimana Amira berdiri.
Amira mengerutkan kening. "Memangnya aku mau menyambut siapa lagi jika bukan kamu? Apa mungkin Robbert Pattinson datang ke sini?"
"Jangan marah! Santai, Ra? Tidak perlu sentimen seperti itu?"
Hana menepuk pelan bahu Amira seraya menyeret kopernya masuk ke dalam rumah. Sementara Amira mengikuti di belakang.
Hana berhenti sejenak. Mengamati ruang tamu Amira yang tidak berubah meski hampir satu tahun tidak di kunjunginya. Letak furniture sampai lukisan sama sekali tidak ada yang bergeser meski hanya satu inci. Juga masih boneka Hello Kitty yang sama yang memenuhi lemari. Bahkan tirai, sofa, karpet hingga walpaper dindingpun masih sama, yaitu Hello Kitty dan Hello Kitty hampir di semua sudut.
Hana melihat ke bawah kala kakinya menginjak sesuatu yang berbulu. Lalu dia menundukan pandangannya dan mengambil barang tersebut. "Sejak kapan Hello Kitty sakit cacar?"
Hana melemparkan boneka Hello Kitty bermotif polkadot ke arah Amira.
Meski mendelik, namun Amira berhasil menangkapnya dengan tangkas. "Mana ku tau." Jawabnya kesal.
Hana memutar bola mata dan menghentikan imajinasinya, "kamu sudah menyiapkan kamar untukku kan?" Tanyanya seraya melenggang ke lantai dua, mencari ruangan yang seharusnya sudah Amira siapkan jauh jauh hari sebelum kedatangannya kemari.
"Tentu saja, tapi.. tidak bisakah kamu berlaku sebagai tamu di sini?" Amira menghentikan langkah Hana dengan menarik lengannya.
"Aku seperti tidak ada wibawanya sama sekali, aku itu bosnya di sini, jadi jangan macam macam kalau tidak ingin ku lempar ke kolong jembatan," Amira mengambil alih dengan memimpin jalan.
Hana mengangguk, "okey."
Amira berhenti tepat di depan sebuah pintu berwarna putih di sisi kiri tangga. Ada dua buah pintu di lantai dua. Sebelah kiri dan sebelah kanan tangga. Jelas jika pintu berwarna pink di sisi kanan adalah kamar Amira. Terlihat dari nuansanya yang imut sangat cocok disandingkan dengan karakter Amira yang centil.
"Ini kamarmu."
Amira membuka pintunya. Mempersilahkan agar Hana memasukinya.
"Kamar ini sudah ku bereskan, ku bersihkan, ku beri parfum, sudah siap sedia untuk di huni. Ada yang ingin kamu katakan?"
"Terima kasih, Amira. Kamu yang terbaik."
Hana mengacungkan ke dua Ibu jarinya sebelum memasuki kamar barunya.
Tidak banyak barang di dalam ruang seluas tiga meter persegi ini. Hanya ada sebuah ranjang medium size, sebuah lemari pakaian, dan sebuah meja rias beserta kursinya. Masih nuansa yang sama, si kucing pink yang bertebaran dimana mana, tidak terkecuali langit langit kamar yang akan menampilkan kilau saat keadaan gelap.
Hana mendudukan diri di atas ranjang, mengetes tingkat keempukan kasur dengan menekan nekankan tangan di atas permukan kasur.
"Ini lumayan."
"Tentu saja, ini adalah kasur kualitas premium."
Amira menyombongkan diri. Menyombongkan sesuatu yang bukan miliknya, tapi milik Aruna alias pemilik rumah sebelumnya. Konon kabarnya, Aruna adalah seorang kaya raya nan dermawan. Jadi barang tinggalannya pasti bukan barang sembarangan yang bisa di beli di pasar loak.
Amira membuka tirai yang menutupi jendela, hingga ruangan tampak lebih terang dari sebelumnya, namun membuat kilau di langit langit kamar meredup.
"Kamu tidak membawa banyak pakaian kan? Karena lemarinya kecil, Na, tidak mampu menampung banyak pakaian."
"Santai saja, aku hanya membawa beberapa pakaian dan celana panjang."
Hana menunjuk koper melalui lirikan mata. Lagi pula dia bukanlah wanita yang akan ribut memikirkan baju ataupun penampilan. Bahkan riasan saja dia jarang menggunakannya. Dia akan memakainya kadangkala itupun kalau dia ingat.
Amira mendudukan diri di samping Hana.
"Kalau kamu hanya membawa sedikit pakaian, lantas.. koper yang kamu bawa berisi apa?"
